
Oleh: Bonefasius Zanda*
Salah satu alasan yang paling mendasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih dan tetap berdiri kokoh hingga pada usianya ke-79 tahun ini adalah karena memiliki dasar, ideologi dan falsafah yang kuat yakni Pancasila. Oleh karena itu, memperingati serta merayakan hari lahirnya pada tanggal 1 Juni setiap tahunya, adalah sebuah keharusan. Bahkan lebih daripada itu, harus menjadi sebuah kebutuhan dasar hidup yang harus dipenuhi oleh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Sebab, sifat khas Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah terbuka, fleksibel dan universal, dan bukanlah ideologi yang kaku, feodal, tertutup dan eksklusif. Hal itu sangat jelas ditemukan dalam kelima sila Pancasila itu sendiri. Dari kelima sila itu, secara khusus dapat kita temukan pula dua aspek roh dan spirit utama, yakni aspek ketuhanan (religius) dan aspek kemanusiaan, sebagaimana termaktub dalam sila kedua-keempat. Kedua aspek ini mau melegitimasi kembali mengenai kekhasan Pancasila itu sendiri yakni bersifat terbuka dan universal.
Pertanyaannya, mengapa Pancasila tetap awet dan selalu dirawat oleh semua masyarakat RI hingga kini? Ya, kerena kelahiran Pancasila itu sendiri bukanlah segampang membolak-balik telapak tangan melainkan membutuhkan waktu dan perjuangan yang amat panjang. Dalam perjuangan panjang itu, lahirlah refleksi, air mata, darah, bahkan nyawa. Di mana, dalam situasi sulit dan pengasingannya, tidak membuat Bung Karno putus asa, justru sebaliknya dengan penuh kesabaran dan keyakinan yang teguh pada Sang Kuasa, ia duduk berefleksi dan bertapa.
Dalam permenungannya itu, Bung Karno menemukan butir-butir Pancasila. Kota Ende, Flores-NTT dan pohon sukun yang saat ini tetap bertumbuh subur telah menjadi saksi bisu dan sejarah yang tetap hidup, bahwa di tempat itulah Bung Karno memiliki daya untuk merakit dan membingkai Pancasila. Dan bingkaian nilai-nilai Pancasila itu pun tetap awet dan kuat hingga kini.
Di pihak lain, saat ini kita hidup dalam dunia globalisasi. Kemajuan global kian deras dan telah menimbulkan berbagai perubahan hampir pada semua aspek kehidupan manusia. Ada yang positif namun tak sedikit pula yang negatif. Salah satu yang positif dan patut kita rawat serta syukuri adalah bahwa hingga detik ini Pancasila tetap menjadi ideologi bangsa Indonesia. Walaupun pada kenyataannya, nilai-nilai Pancasila sedang dan selalu terluka.
Mengapa terluka? Pertanyaan ini selain menggugat nurani kemanusiaan kita sebagai warga NKRI, namun juga menjadi salah satu pengakuan bahwa kemajuan globalisasi telah berdampak buruk bagi perilaku dan cara pandang sebagaian manusa. Darinya, perilaku-perilaku buruk itu telah merongrong kesaktian nilai Pancasila itu sendiri. Itulah sebabnya jika saat ini nilai persaudaraan, persatuan, keadilan serta perdamaian, selalu mengandaikan adanya perpecahan, percecokan, permusuhan, peperangan, perbedaan pendapat, ideologi, budaya dan perbedaan lainnya. Terhadap fenomena ini, seluruh masyarakat Indonesia harus dengan penuh sportivitas mengakui bahwa nilai-nilai Pancasila sedang terluka.
Lebih parah lagi, rahim Pancasila itu terluka bukan karena mempertahankan hal-hal positif tetapi justru sebaliknya karena kerakusan, jabatan dan juga uang. Untuk ini, kita patut berkaca pada Pemilihan Umum Presiden dan Cawapres, juga Pemilu-pemilu yang sudah berlalu. Di mana politik sebagai seni menjelma seperti ular naga yang memagut serta meracuni semua tatanan nilai sosial. Agama sekalipun tunduk pada kepentingan politik itu sendiri. Sungguh sebuah ironi yang memilukan hati. Otak dan hati para generasi muda yang seharusnya ditaburi dengan nilai-nilai yang baik-justru sebaliknya diracuni oleh tingkah laku tak bermoral yang tak pernah berakhir dipertontonkan oleh para pejabat negara dan politisi-politisi tanah air kita.
Alhasil nilai-nilai Pancasila pun terus mengalami degradasi. Nilai ketuhanan dan kemanusiaan pun menjadi semakin jauh dari tatanan hidup praksis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampaknya, Negara Kesatuan RI yang religiusitas dan berkemanusiaan itu, hanya sebatas slogan tanpa roh. Siapa yang salah? Ya, saya, Anda, dan kita semua patut berefleksi dan mengintrospeksi diri.

Pancasila adalah Rumah Kita
Kehidupan manusia dalam suatu bangsa tidak akan pernah terlepas dari dinamika dan dialektika kehidupan. Ini adalah keniscayaan. Begitu pun dengan kehidupan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Bahwa dalam kehidupan berbangsa kita sering bertentangan satu sama lain, itu adalah suatu kewajaran.
Namun harus digarisbawahi bahwa perbedaan atau pertentangan itu haruslah bermuara pada usaha untuk mempertahankan atau memperjuangkan kepentingan umum atau negara itu sendiri. Sehingga harapan bahwa di balik perbedaan seringkali kita mengalami sebuah integrasi sosial untuk melahirkan solusi-solusi humanis, haruslah semakin sering terjadi. Ini bukan berarti bahwa untuk melahirkan solusi humanis itu harus berbeda atau konflik terlebih dahulu.
Sebaliknya, untuk mencapai kemakmuran bersama atau untuk merawat nilai-nilai Pancasila itu sendiri, hindari sejauh mungkin pemakaian cara-cara yang destruktif, yang berpeluang terjadi permusuhan dalam waktu yang lama atau berkelanjutan. Sebab pada saat yang sama, selalu ada opsi baik untuk menyelesaikan persoalan tanpa menyisakan luka.
Untuk itu, sudah selayaknya kita mesti banyak dan terus belajar dari Bung Karno, bahwa dalam pengasingan dan situasi yang sulit saja, Ia dapat menemukan butir-butir nilai Pancasila. Menjadi benar, bahwa dalam situasi sesulit apa pun selalu ada peluang baik yang ada di sana. Nah, itu berarti untuk menjadi warga negara yang tahan-banting, maka hindari selalu sikap cengeng, dendam, pasrah, adu domba, apalagi sikap-sikap yang mau menghancurkan nilai-nilai Pancasila demi kepentingan โsempitโ. Itu tak pernah boleh dirawat, sebaliknya harus segera dihancurkan.
Hemat saya, agar semua harapan dan cita-cita baik sebagaimana sudah saya paparkan di atas dapat terwujud secara berkelanjutan dalam tataran perkataan maupun praksis, maka budayakan sikap dan cara pandang untuk menjadikan Pancasila sebagai Rumah Kita. Jika pemahaman ini terus dibudayakan, maka tak seorang pun warga Indonesia akan merasa asing atau benci dengan rumahnya sendiri. Rumah selalu identik dengan kedamaian. Kedamaian yang dalam artian ada percecokan, namun percecokan itu akan selalu dikalahkan oleh kedamaian. Sebab roh dasar rumah adalah kedamaian.
Agar Pancasila tetap menjadi rumah kita dan menjadi sumber kedamaian, maka segeralah kita berfleksi diri. Jadikan momen perayaan hari lahir Pancasila setiap tahun itu, untuk berbenah diri. Jika ada kesalahan beranilah untuk meminta maaf terlebih dahulu. Jika ada hal atau sesama yang melukai hatimu, lekaslah memberi maaf dengan tulus. Jika revolusi mental itu masih merasa berat paling kurang evolusilah secara perlahan-lahan namun pasti.
Dalam rumah Pancasila kita akan mengalami evolusi mental itu untuk menuju kebaikan bersama baik bagi diri, sesama, negara dan Tuhan sendiri yang adalah sumber kebaikan yang kekal. Pancasila adalah kita dan kita adalah Pancasila. Pancasila adalah Rumah kita. Tentang kita. Bukan tentang saya, Anda dan mereka. Walaupun sudah berlalu, namun masih pantas jika saya mengucapkan; Selamat merayakan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2024.
*) Penulis adalah pendidik di lembaga pendidikan SMAK Regina Pacis Bajawa, Ngada.