
Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono*
Di suatu sore yang cerah, di sebuah taman bunga, di bawah pohon mangga yang rindang, Budi duduk dengan gaya sok gagah. Dia sudah dandan maksimal, parfum semprot tiga kali (plus nyolong parfum ibunya), dan baju baru dengan tulisan besar: “Number One: Handsome”. Budi menunggu Siti Jubaidah dengan wajah penuh percaya diri seperti baru menang lotre.
Akhirnya, Siti datang. Budi langsung memasang muka pahlawan, seperti baru pulang perang melawan israel di Palestina. Tanpa banyak basa-basi, dia langsung buka suara.
โSiti,โ katanya dengan suara berwibawa dan full percaya diri, โaku tahu banyak perempuan di kampung ini naksir aku karena ketampananku dan aku anak orang kaya, bapakku punya pabrik sepatu yang jumlah buruhnya lebih dari seratus. Aku tekankan sekali lagi, banyak perempuan yang naksir sama aku. Jujur, aku sangat kasihan sama mereka perempuan-perempuan enggak beruntung itu, tetapi aku hanya memilih kamu. Kamu beruntung banget, tau!โ
Siti mengerjapkan matanya, pura-pura kaget.
โBeruntung, Bud? Kenapa?โ tanya Siti polos sambil menahan tawa.
Budi mengusap rambutnya ala model iklan sampo di tv-tv borjuis, senyumnya seakan menembus langit ketujuh dan mengguncang benda-benda langit.
โYah, kamu kan tahu sendiri, Siti. Aku ini tampan, keren, kaya, dan nggak ada yang bisa nolak aku!โ jawab Budi sambil mencoba berkedip genit (tapi malah matanya terlihat seperti kelilipan). โJadi, kapan kita pacaran?โ
Siti diam sejenak, memandangi Budi dari ujung rambut sampai ujung sepatuโsepatu yang ternyata ada sobekan menganga di bagian jari kelingking.
Siti pun mendekatkan wajahnya ke wajah Budi, membuat Budi makin deg-degan. Hidung Siti tampak mengendus. Namun, tiba-tiba, Siti malah batuk-batuk kecil.
โBud, maaf, kamu ini pake parfum atau bensin sih? Hidungku kayak mau copot!โ kata Siti sambil mengibas-ngibaskan tangan ke arah hidungnya, berusaha menyingkirkan aroma menyengat yang entah dari mana asalnya. Bau yang sangat memuakkan.
Budi tertegun, tapi masih sok cool. โYah, biar lebih macho aja, Siti. Biar makin berkesan gituโฆโ
Siti tersenyum kecil, lalu berkata pelan, “tetapi menusuk.”
โBudi, aku mau jujur deh. Kamu memang tampan, banyak duit, dan banyak yang naksir. Tapi, satu hal yang bikin aku nggak bisa, Bud.โ
Budi mendekat penuh harap. โKenapa, Siti? Apa? Kamu butuh rumah baru? Mobil? Sepeda motor? Atau kamu mau bapakku gusur rumah-rumah kumuh yang menghalangi kamu melihat pemandangan indah di balik rumah-rumah kumuh itu; pemandangan rumah-rumah megah dan mobil-mobil mewah? Aku bisa kok kasih!โ
Siti ngakak sambil menepuk bahunya sendiri, kayak baru dengar lelucon paling lucu sejagad raya.
“Budiโฆ Budiโฆ” Siti menarik napas, mencoba menahan tawa. “Kamu pikir semua perempuan di kampung ini suka sama kamu karena wajah kamu? Atau duit kamu? Atau seringnya kamu melecehkan dan menghina orang-orang miskin?โ
Budi tersenyum semakin lebar, merasa kalimat Siti sebagai pujian. Hatinya semakin bedebar-debar kencang, dan dia pun semakin sangat-sangat yakin Siti akan menerima cinta borjuisnya.
โNah, itu dia! Aku memang berbakat bikin orang terpesona. Jadi, kapan kita jadian nih, Siti? Aku sangat ingin kamu jadi pacarku, sebagai perhiasan terindahku!”
Siti menahan tawa sampai perutnya hampir kram, dan dalam hati berkata, “Perhiasan? Properti?”
“Budi, dengarkan baik-baik,” kata Siti sambil berusaha keras untuk serius. “Aku nggak mungkin mau sama cowok yang hobinya menghina dan nindas kaum perempuan! Nindas orang miskin dan mengisap labour power kaum buruh! Kamu tau nggak? Kamu itu seperti tikus mati yang sudah mati beberapa hari, berbau busuk banget! Bukannya sok macho, malah ngeselin!”
Budi melongo, seperti baru disambar petir. “Apa? Akuโฆ seperti bangkai tikus?”
Siti pun melanjutkan dengan ekspresi penuh kesal.
โIya, Bud! Kamu pikir perempuan di sini akan ngejar kamu karena kagum sama sikap kamu? Oh tidak, Bud. Mereka semua akan lari karena baumu nyebar ke mana-mana! Kamu mungkin nggak sadar, tapi di balik ketampanan dan uang kamu, kamu adalah penguasa bau tai dan kelakuanmu nyebelin.โ
Budi kaget bukan main, seolah baru mendengar kabar bahwa parfum yang dia pakai sebenarnya pembersih toilet.
โSitiโฆ seriusan ini!?โ
Siti hanya mengangguk sambil berusaha keras menahan ketawa, sampai air matanya hampir keluar.
โIya, Bud, serius banget. Kau kayak paket lengkap: tampan di luar, bau busuk di dalam!โ ujar Siti sambil berdiri dan mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat ke arah Budi.
Melihat ekspresi Siti yang sepenuh hati mengusirnya, Budi terdiam sambil bingung mau marah atau malu. Di sekitar taman, beberapa orang yang mendengar percakapan itu ikut tertawa keras sampai hampir terkentut-kentut. Bahkan Pak RT yang kebetulan lewat sampai berhenti untuk mendengarkan.
Akhirnya, Siti meninggalkan Budi yang masih terpaku di taman dengan wajah memerah seperti buah tomat yang siap panen. Sambil berjalan pergi, Siti menahan tawa dalam hati, berpikir betapa asyiknya hari ini karena berhasil memberi Budi pelajaran yang tidak terlupakan.
“Aku tidak butuh laki-laki tampan, kaya, tetapi seksis, berotak borjuis, dan nindas. Aku hanya butuh pasangan hidup laki-laki Marxis, manis, gemar membaca buku, pejuang kelas, bukan penindas,” gumam Siti.
****
Di sisi lain, jauh dari Budi yang masih merenungi nasibnya di taman, di pabrik emping jengkol, suasana sedang panas. Buruh-buruh menuntut kenaikan upah yang sudah terlalu lama dijanjikan, tetapi tidak kunjung terealisasi. Di antara lautan massa buruh yang bersemangat, berdirilah Siti Jubaidah, mengenakan kaos lusuh bertuliskan, “Lawan Penindasan, Gulingkan Kaum Kapitalis!” Siti ikut berteriak bersama para buruh.
Di sanalah dia pertama kali bertemu Rudi Kliwir, seorang aktivis Marxis yang terlihat karismatik dengan rambut berantakannya dan kaos bertuliskan, “Hidupkan Marx, Remukkan Kapitalisme!” Rudi memimpin orasi dengan suara lantang, membuat para buruh semakin berapi-api.
Ketika aksi mulai memanas dan polisi datang, Siti, yang baru saja mengenal Rudi, malah tertangkap berdesak-desakan hingga terjepit di antara para buruh lainnya, tepat di samping Rudi. Saat itulah mereka saling memandang dengan ekspresi tegang sekaligus canggung. Siti melihat ada semangat revolusi yang berkobar dalam mata Rudi, membuatnya terkesima. Di tengah-tengah kericuhan, Rudi malah tersenyum dan berkata, “Kita akan bertahan bersama, Kamerad!”
Beberapa hari setelah aksi itu, secara tidak sengaja, Siti bertemu lagi dengan Rudi di perpustakaan umum. Kali ini, Siti melihat Rudi sedang serius membaca Das Kapital karya Karl Marx. Siti yang belum terlalu paham isi buku tebal itu, walau beberapa kali dia telah membaca bagian pengantarnya, mendekat pelan-pelan dan pura-pura membaca rak buku sebelah Rudi sambil melirik isi bukunya. Rudi, yang menyadari keberadaan Siti, menatap Siti dengan senyum geli.
“Aku lihat, kamu tertarik ya sama Marx?” Rudi membuka pembicaraan.
“Eh, iyaโฆ aku cuma penasaran ajaโฆ apa yang bikin buku itu tebal banget, isinya resep atau ramalan cuaca?” jawab Siti sambil cengar-cengir.
Rudi tertawa, “Bukan resep atau ramalan, tetapi senjata! Ini senjata teori buat menumbangkan kaum kapitalis!”
Mendengar itu, Siti semakin tertarik dan akhirnya mereka mulai sering bertemu di diskusi-diskusi organisasi buruh dan aksi-aksi massa lainnya. Mereka kerap berdebat panjang soal strategi perjuangan, hingga tidak terasa mereka semakin dekat dan akhirnya berpacaran.
Suatu hari, ketika sedang duduk bersama di kantin buruh, Rudi membawakan Siti bunga yang diikat dengan secarik kertas lusuh. Siti mengambil bunga itu sambil tertawa, โRudi, bunga ini dari kebun siapa? Dari taman ibu-ibu PKK?โ
Rudi menggaruk-garuk kepala, “Ehโฆ ini dari taman revolusi! Aku pungut pas jalan ke sini. Tahu nggak, Siti, bunga itu sama kayak perjuangan kita: sederhana tapi berani mekar di tengah kerasnya perjuangan kelas!”
Siti terkekeh, โBerani? Tapi kayaknya bunganya hampir layu deh, Rud. Mirip seperti kondisi kapitalisme yang mulai keropos, ya?โ
Mereka berdua tertawa lepas. Di sela-sela obrolan mereka, Rudi dengan gaya sok serius berkata, “Siti, kita ini pasangan ideal. Kamu tahu enggak, Marx bilang bahwa cinta sejati itu saling melengkapi, layaknya proletariat dan kepemimpinan revolusioner!”
Siti tertawa terbahak-bahak. “Aduh, Rudi! Kamu ini benar-benar. Kalau gitu aku proletariatnya, ya? Terus kamu pemimpin revolusionernya? Besok kalau kita jalan bareng dan ketemu polisi, kamu pasang badan buat proletariatmu ini, ya!”
“Kita berdua pemimpin revolusioner, dan proletariatnya adalah cinta antar kita berdua, cinta yang tidak hanya menyatukan antara aku dan kamu, tetapi juga menuntun kita berdua berjuang bersama kaum tertindas memenangkan sosialisme sedunia,” seru Rudi.
“Karismamu inilah yang membuat aku jatuh cinta padamu, Rud,” bisik hati Siti sambil mengembangkan senyum manis semanis kerlip bintang di langit.
Dan begitu, di antara canda dan tawa, Siti dan Rudi terus memperjuangkan mimpi mereka untuk masyarakat yang bebas dari penindasan, sambil tetap menjalani hubungan mereka yang kocak dan penuh kelakar khas kaum buruh pejuang.
****
Seiring waktu, kecintaan Siti pada pemikiran-pemikiran Marxis semakin mendalam. Dia mulai membaca semua buku dari karya-karya Marx sampai Leon Trotsky dengan cepat dan sangat serius, bahkan melampaui pemahaman Rudi. Kalau dulu, Siti hanya bisa tertawa-tawa sambil bercanda soal perjuangan, kini dia lebih sering terlibat diskusi serius dengan kaum buruh tentang eksploitasi daya kerja (labour power), alienasi manusia, dan kapitalisme yang semakin keropos. Untuk teori Marxis tentang hukum, Siti mendapat pemahaman teori itu setelah dia membaca buku karya Ismantoro Dwi Yuwono, Teori Hukum Pertukaran Komoditas Evgeny B. Pashukanis, yang diterbitkan oleh Red Book pada 16 Okteber 2024, di Yogyakarta.
Sampai suatu hari, saat mereka berdua duduk bersama setelah aksi buruh yang intens, Siti berkata, โRud, aku harus berterima kasih sama kamu. Karena kamulah, aku bisa membuka mata dan memahami kekejaman kapitalisme. Kamu yang menginspirasi aku menjadi pejuang kelas danโฆ Feminis Marxis!โ
Rudi menggaruk-garuk kepala dengan malu-malu. “Ah, Siti, kamu tuh yang pintar! Aku juga senang kalau perjuangan kita sama-sama terus berjalan.”
Tapi kemudian, dengan nada serius, Siti menatap Rudi sambil berkata, โOh iya, Rud, sekarang kamu harus siap menerima kenyataan. Aku bakal sering mengoreksi kamu kalau kamu salah paham soal teori Marxisme!โ
Rudi kaget, tapi hanya bisa tersenyum kikuk. โAhโฆ iya, iya, Siti. Siap, Kamerad!โ
Beberapa minggu kemudian, di tengah aksi buruh yang sedang panas-panasnya, Siti berdiri di depan massa dengan gagah berani, tangan terkepal, menyuarakan tuntutan buruh dengan penuh semangat. Dia mengutip Marx dan Trotsky tanpa ragu, menyampaikan bagaimana kapitalisme tidak hanya merampas hasil kerja buruh, tetapi juga menindas kaum perempuan.
“Kaum kapitalis ingin kita tunduk dan patuh,” seru Siti dengan suara lantang. “Tetapi, sebagai buruh dan perempuan yang sadar kelas, kita tidak boleh tunduk! Kita harus melawan penindasan ini. Jangan biarkan kaum borjuis menumpuk kekayaan di atas penderitaan kita!”
Di sela-sela orasinya, Rudi yang berdiri di dekatnya, hanya bisa bengong sambil mengangguk-angguk kagum. Dalam hatinya, dia merasa kalah telak. “Waduh, sekarang Siti lebih ngerti teori dibanding diriku,” gumamnya sambil tersenyum bangga.
Siti selesai berorasi dan turun dari panggung kecil darurat yang terbuat dari peti-peti bekas. Melihat Rudi menunggu, Siti tersenyum sambil melipat tangan di dada. “Nah, bagaimana? Sudah siap jadi kader feminis revolusioner?”
Rudi hanya bisa mengangguk cepat-cepat sambil nyengir. “Jelas! Apa pun kamu bilang, Kamerad Siti!”
Hari-hari berikutnya, Siti semakin giat mempelajari teori-teori perjuangan kelas dan mempraktikkannya dalam aksi-aksi nyata. Dia mulai mengorganisasi rapat-rapat buruh perempuan dan memimpin diskusi tentang bagaimana kaum perempuan bukan hanya bagian dari kelas tertindas, melainkan juga memiliki peran strategis dalam perjuangan melawan kapitalisme.
Suatu ketika, saat mereka sedang berkumpul bersama di sebuah ruang kecil penuh poster-poster perjuangan dan selebaran aksi, Siti berkata dengan mata berbinar-binar, โRudi, aku tidak lagi melihatmu hanya sebagai pacarku. Kamu itu sudah jadi kawan seperjuangan dalam arti yang sesungguhnya.โ
Rudi yang sempat terdiam sejenak hanya bisa terbahak kecil. โWah, Siti. Sejak kapan kamu jadi makin serius begini? Aku benar-benar kagum dengan semangatmu.โ
Siti tersenyum sambil menepuk bahunya. โKamu sendiri yang membimbing aku, Rud. Aku berutang besar sama kamu walaupun sekarang sepertinya kamu yang harus belajar lagi dariku!โ
Rudi mengangkat tangan tanda menyerah sambil tersenyum penuh arti. “Ya, ya. Sekarang aku yang jadi murid kamu, sayang. Jika kamu semakin pintar dan tegas, aku jadi semakin sayang!”
Mereka berdua tertawa lepas. Di balik tawa itu, mereka tahu bahwa cinta yang mereka bangun bukan hanya persoalan perasaan, tetapi juga soal keyakinan bersama untuk dunia yang lebih adil dan bebas dari penindasan. Cinta mereka adalah cinta berbasis perjuangan kelas, cinta yang tidak hanya memperjuangkan kebahagiaan mereka sendiri, tetapi juga kebebasan, keadilan bagi seluruh rakyat yang tertindas, dan kebebasan kaum perempuan dari segala bentuk penindasan.
Begitulah, di bawah bendera merah bergambar palu-arit, di tengah-tengah aksi massa, di rapat-rapat buruh yang penuh dengan semangat perjuangan, Siti dan Rudi terus berjalan beriringanโbukan sebagai sepasang kekasih biasa, tetapi sebagai kamerad yang berjuang di barisan paling depan.
Mereka memiliki satu dunia untuk dimenangkan
*) Yogyakarta, Rabu, 6 November 2024.