Komunio Pertama dan Kisah Pilu Burkina Faso (Bagian Pertama)

Spread the love
(Foto: Doc. SWI)

Oleh: Stefanus Wolo Itu*

Tahun 2025. Tahun kesebelas di negeri Alpen Swiss. Sekaligus tahun terakhir melayani komunio pertama. Tepatnya di wilayah atau ruang pastoral Mittleres Fricktal. Wilayah lembah tengah Frick. Sebuah lembah indah di sisi selatan sungai Rhein.

Berbatasan langsung dengan negara Jerman. Hampir setiap minggu saya ke sana. Berjalan kaki melintasi jembatan kayu. Holzbrücke namanya. Jembatan kayu terpanjang dan tertua di benua biru.

Sejak pertengahan September 2024 kami mempersiapkan komunio pertama. Diawali dengan Elternabend. Malam pertama para orang tua calon komunio. Mulai dengan perkenalan. Menyusul penjelasan tahap-tahap pendampingan. Juga keterlibatan dan tanggung jawab orang tua.

Tak mudah! Masyarakat majemuk. Latar belakang berbeda. Asal usul, bahasa, budaya, agama, keluarga, tempat tinggal, karakter, dan situasi sosial. Butuh waktu delapan bulan. Juga energi, pengertian, dan kesabaran.

Tahun ini saya melayani tiga kali perayaan komunio pertama. Hari Minggu 27 April di gereja paroki St. Sebastian Wallbach untuk ketigabelas anak dari Schupfart, Obermumpf, Mumpf, dan Wallbach. Minggu tanggal 18 Mei di St. Vinzenz Eiken untuk kesembilan anak dari Eiken dan Sisseln. Hari Minggu tanggal 25 Mei di gereja Bruder Klaus Stein untuk ketujuh anak dari Stein dan Münchwilen.

Gott sei Dank. Syukur kepada Allah. Semua berjalan dan berbuah baik. Hati gembira. Anak-anak menerima Tubuh Kristus penuh sukacita. Orang tua dan keluarga berbahagia.

Kisah Pilu Burkina Faso

Setiap perayaan komunio pertama kami mengumpulkan kolekte khusus. Tidak untuk mempertebal kas paroki. Tapi untuk karya-karya sosial kemanusiaan. “Die heutige Kollekte geht in eines der ärmsten Länder der Erde, in das afrikanische Land, Burkina Faso. Wir helfen Kinder in Burkina Faso (Kolekte hari ini akan dikirimkan ke salah satu negara termiskin di dunia, di bumi Afrika, Burkina Faso. Kita menolong anak-anak di Burkina Faso),” ajak Timea Blatter, salah satu penerima komunio pertama ketika membacakan peruntukan kolekte.

Sejak lama saya mendengar kisah pilu Burkina Faso. Awalnya bulan Juni 2020. Saya mendengar langsung dari Abbe André. Dia imam muda asal Burkina Faso yang bekerja di Murten, kanton Fribourg Swiss. Lembaga Kepausan Kirche in Not Swiss memfasilitasi Abbe André menggalang aksi dana untuk tanah airnya.

Kami menyambut gembira kehadiran Abbe André dan team Kirche in Not. Ia merayakan ekaristi di Eiken dan Stein serta men-sharing-kan situasi negaranya. Kami memberikan kolekte. Kami juga mendonasikan kolekte komunio pertama tahun 2021.

Tahun 2025 ini kami juga menerima permohonan dari Felix Fütterer. Ia teman kuliah rekan kerja saya Berthold Kessler di Universitas Freiburg am Breisgau, Jerman. Felix adalah imam Benediktin dari biara Melk Austria. Sejak tahun 2011 Felix setia mengunjungi Burkina Faso.

Ia prihatin dengan situasi di sana. Bersama seorang imam muda asal Burkina Faso, mereka mendirikan yayasan Wir helfen Kinder in Burkina Faso (Kami Menolong Anak-anak di Burkina Faso). Yayasan ini menggalang dana dan menyalurkannya untuk anak-anak Burkina Faso.

Saat ini Burkina Faso berpenduduk 23.286.000 juta jiwa. Abbe André dan Felix Fütterer bersaksi bahwa mayoritas mereka buta huruf. Ya, lebih dari 70 persen. Kita membantu mereka membeli makanan dan memperbaiki gizi. Selanjutnya bisa melanjutkan pendidikan. Juga biaya pembangunan sumur untuk lahan pertanian dan air bersih.

Sejak akhir abad ke-19, negara seluas 274.233 km2 ini dijajah Perancis. Tahun 1960 mereka merdeka. Dengan nama resmi Republik Volta Hulu. Disebut Volta Hulu karena terletak di hulu sungai Volta. Tanggal 4 Agustus 1984, Presiden Thomas Sankara mengganti Volta Hulu dengan nama baru: Burkina Faso.

Kata “Burkina” dan “Faso” berasal dari dua bahasa berbeda. “Burkina” berasal dari bahasa Moore yang berarti tegak lurus, berintegritas, dan jujur. Sementara “Faso” dari bahasa Dyula yang berarti tanah air atau rumah ayah. “Burkina Faso” artinya tanah air orang-orang jujur dan berintegritas.

Sejak kemerdekaannya, Burkina Faso mengalami banyak masalah. Kekeringan dan kelaparan melanda seluruh negeri. Korupsi merajalela. Demokrasi tidak berjalan. Situasi politik tak pernah stabil. Kudeta militer selalu menjadi jalan suksesi kepemimpinan nasional: 1966, 1980, 1982, 1983, 1987, 2014, dan 2022. Kudeta terakhir tanggal 30 September 2022 menghantar Kapten Ibrahim Traore menjadi Presiden. Tapi situasi keamanan semakin memburuk. Tindakan kekerasan meluas.

Jumlah serangan teroris terus meningkat. Mereka menyerang kantor pemerintah, kepolisian, dan militer. Sekolah dan rumah ibadat juga menjadi sasaran. Pemerintah telah kehilangan kendali atas lebih dari 40 persen wilayah negara itu.

Pada awal tahun 2025, Global Terrorism Index atau Indeks Terorisme Global (GTI) telah mengevaluasi dampak terorisme di 163 negara. Burkina Faso menempati peringkat pertama. Lebih dari 2.500 warga sipil terbunuh pada paruh pertama tahun 2024. Dua jutaan orang harus mengungsi.

Perubahan iklim secara dramatis memperburuk situasi pangan. Cuaca ekstrim seperti panas dan kekeringan mengakibatkan gagal panen. Para petani mengalami kesulitan keuangan. Mereka tidak bisa memasok makanan ke kota. Karena situasi keamanan mereka juga tidak bisa mengolah lahan pertanian. PBB memperkirakan 2,7 juta warga Burkina Faso menderita kelaparan akut.

PBB juga memperkirakan tahun ini 6,3 juta orang akan bergantung pada bantuan kemanusiaan darurat. Sayangnya, penyaluran bantuan kemanusiaan dari luar seringkali sulit. Pemerintah militer di Ouagadougou tidak mampu mengelola bantuan secara baik. Sering terjadi penyelewengan.

Uang bantuan digunakan untuk kepentingan junta militer. Karena itu, sejumlah negara Barat menggunakan jalur lain. Mereka menyalurkan bantuan melalui organisasi internasional, lembaga agama dan kemanusiaan yang dapat dipercaya.

Ada hal menarik lain. Tahun 2024 lalu, Burkina Faso bersama Mali dan Niger keluar dari Masyarakat Ekonomi Afrika Barat (ECOWAS). Mereka kecewa dengan ECOWAS. Kudeta militer di Mali tahun 2021, Burkina Faso tahun 2022, dan Niger tahun 2023, telah menciptakan ketegangan politik.

ECOWAS memberikan sanksi ekonomi terhadap ketiga negara. Mereka balik menuduh ECOWAS sebagai perpanjangan tangan Perancis dan Eropa. Ketiga negara ini kaya akan emas, uranium, minyak, mangan, batu kapur, marmer, batu apung, dan garam. Perancis dan Eropa hanya mengeruk isi bumi mereka. Sayangnya, mereka tak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan saat ini.

Tahun 2023, ketiga negara mendirikan AES atau Aliansi Negara-Negara Sahel. Istilah Sahel merujuk pada zona transisi antara gurun Sahara dan padang Sabana di Afrika tengah dan utara. Aliansi ini bertujuan mengatur keamanan dan kebijakan luar negeri bersama.

Mereka juga membuat bersama investasi Bank dan proyek infrastruktur. “Mali, Burkina Faso, dan Niger, membutuhkan aliansi baru untuk menampilkan diri mereka sebagai blok anti Barat,” kata Ulf Laessing, direktur program Sahel dari Yayasan Konrad Adenauer Jerman.

Apakah AES sendirian? Tidak! Mereka membangun mitra baru Kremlin di bawah kepemimpinan Vladimir Putin. Selama ini ketiga negara tersebut merupakan mitra terdekat Eropa. Mereka memiliki kepentingan strategis dan sentral bagi Barat. Namun semua itu sudah berakhir. AES mulai mengabaikan Barat dan beralih ke Rusia.

Mereka telah menandatangani perjanjian kerja sama di bidang militer, pertanian, dan pendidikan. Solusi Barat dianggap tak sesuai dengan sudut pandang Afrika. Sementara Rusia dan China menawarkan kebutuhan Afrika.

Akankah mereka menjadi lebih baik setelah bersekutu dengan Rusia? Mudah-mudahan! Takutnya keluar dari bahaya lama tapi masuk bahaya baru. Keluar dari mulut Harimau (Perancis dan Eropa) dan masuk ke mulut Buaya (Rusia dan China).

Bersambung!

*) Penulis adalah Imam Projo Keuskupan Agung Ende. Misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel-Swiss. Ditulis di Eiken AG Swiss, Rabu Malam 21 Mei 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *