Finding God

Spread the love
Buku Finding God (Foto: Doc. Makinuddin Samin)

Oleh: Makinuddin Samin*

Bagi pembaca yang tidak memiliki minat terhadap ilmu fisika seperti saya, membaca buku karya Erianto Rachman berasa berat, khususnya pada bab 1-8. Betapa tidak, delapan bab dalam buku Finding God ini menyuguhkan penjelasan/elaborasi teori fisika yang renik dan sublim, mulai dari fisika klasik, fisika modern (mekanika quantum), fisika versus quantum dengan ragam madzab, plus teori dawai, holografis, dan lain-lain.

Beruntung pada bab 9 halaman 286 terdapat kalimat โ€œTuhan hanya bisa dipahami jika kita bertanya dan memikirkannya.โ€ Membuatku sepanjang bacaan terus bertanya, kapan selesainya?

Kalimat di atas memberikan landasan/menantang bagi para pencari Tuhan melalui ilmu pengetahuan, bahwa seseorang harus bertanya dan berpikir (menalar) agar menemukan โ€œtuhanโ€. Ini adalah jalan ilmu pengetahuan, Bung!

Menemukan, kata ini bisa berarti mendapatkan kembali โ€œsesuatuโ€ yang pernah hilang. Bisa juga bermakna mendapatkan/bertemu dengan โ€œsesuatuโ€ yang sama sekali baru.

Jika โ€œmenemukanโ€ di sini bermaksud mendapatkan kembali sesuatu yang pernah hilang, maka sesuatu itu harus digambarkan/didefiniskan/dikonseptualisasikan agar ilmu pengetahuan sebagai alat bisa mengidentifikasi. Apa โ€œtuhanโ€ itu?

Jika โ€œmenemukanโ€ bermakna mendapatkan sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak bisa digambarkan/didefinsikan/dikoseptualisasikan, lantas ilmu pengetahuan sebagai alat menemukan apa? Apakah setelah mengorek teori-teori fisika, quantum, dawai, dan holografis secara panjang lebar di delapan bab, โ€œtuhanโ€ bisa digambarkan/didefinisikan/dikonseptualisasikan?

Sejujurnya saya pesimis, lebih-lebih pada bagian awal buku, sebelum menjelaskan teori fisika, quantum, holografis, dll, penulis sudah membuat klaim bahwa realitas adalah ciptaan Tuhan (halaman 35). Lantas untuk apa mengelaborasi puluhan teori pada bab-bab berikutnya, jika โ€œtuhanโ€ sudah ditemukan identitasnya, sudah didefisiniskan bahwa dia adalah pencipta?

Pada bab 7 ditekankan kembali bahwa semua yang eksis ini makluk (halaman 222). โ€œKita dan seluruh makluk ini eksis di dalam Tuhan, tidak ada satupun yang eksis di luar Tuhanโ€ (halaman 287). Pertanyaannya, apakah Tuhan sendiri eksis?

Masih banyak isu dalam buku ini yang bisa didiskusikan. Misalnya disebutkan bahwa kesadaran akan Tuhan sudah muncul jauh sebelum ada negara, tapi kebutuhan keberadaan Tuhan semakin mendesak saat populasi manusia cukup besar (halaman 290). Benarkah semakin besar populasi manusia berbanding lurus dengan kebutuhan akan keberadaan Tuhan? Bukan sebaliknya?

Tuhan sesungguhnya pencipta realitas; ruang, waktu, materi, dan energi (halaman 35). Namun realitas/semesta ini sesunggunya tidak eksis, kesadaran terhadap eksistensi semesta ini yang membuat semesta eksis (halaman 256). Padahal kesadaran hanya muncul melalui pengetahuan/knowledge (halaman 220).

Mengikuti rumus pengetahuan-kesadaran di atas, jika Kalian tidak memiliki pengetahuan tentang motor, mobil, sepatu, sendal, tuhan, dan selingkuhanmu, sesungguhnya Kalian tidak memiliki kesadaran tentangnya. Jika Kalian tak memiliki kesadaran tentang semua itu, berarti semua itu tidak ada, meskipun setiap saat Kalian sebut namanya, cakar, jambak dan lain-lain.

Dah ah, baca sendiri biar Kalian bertuhan! Terima kasih Javanica yang telah menerbitkan buku keren ini!

*) Penulis novel dan cerpen, peminat kajian sejarah dan menulis. Tinggal di Tuban, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *