
Sketsa Jakarta (Foto: Doc. HorizonDipantara)
Setahun lebih itu memang belum lama sih, tapi nggak apa-apa kan, kalau curhat? Apalagi yang sedang curhat ini, orang Flores. Ehem.
Saya pernah punya semacam janji pada diri sendiri: tidak akan ke Jakarta apalagi tinggal di Jakarta dalam durasi waktu yang cukup panjang. Ini pikiran saya, beberapa tahun lalu. Saat masih berputar-putar di sekitar NTT. Sempat ke Bali dan Lombok juga sih, tapi nggak lama.
Tidak suka Jakarta dan itu tidak salah
Dalam hidup ini, Bestie, tidak semua hal harus kita sukai. Ada orang yang tidak suka ke rumah ibadah, tapi suka ke tempat sabung ayam. Tidak suka mencium ibunya, tapi suka aroma bensin. Tidak suka makan sambil lari, tapi suka mencintai sambil sadar tak akan memiliki. Jakarta pun demikian. Tidak wajib disukai. Dan itu tak mengapa, tak salah, juga bukan dosa.
Pikiran lama saya itu beralasan. Korupsi: di Jakarta. Kolusi: di Jakarta. Nepotisme: di Jakarta. Kasus hukum: di Jakarta. Kriminalitas: di Jakarta. Pelanggaran HAM: di Jakarta. Pembunuhan demokrasi: di Jakarta. Macet: di Jakarta. Banjir: di Jakarta. Politisasi agama: di Jakarta. Judi: di Jakarta. Begal: di Jakarta. Termasuk Open BO: juga di Jakarta.
Rasa-rasanya, beberapa hal buruk yang tidak ada di daerah-daerah di luar Jakarta, semuanya ada di Jakarta. Jakarta seperti dikutuk sejak awal-mula: menjadi ibu kota negara sekaligus menjadi medan tempat segala yang buruk dipentaskan.
Jakarta pernah menjadi tempat yang sama sekali tidak saya impikan. Apalagi setelah tahu, untuk ke luar negeri, tidak harus lewat Jakarta. Apalagi setelah tahu pula, untuk lanjut kuliah di UGM, tidak mesti ke Jakarta dulu. Remeh yah? Emang bisa sangat remeh sih, kalau urusannya suka atau tidak suka, ya kan?
Harus ke Jakarta dan harus suka
Pikiran lama saya itu pada akhirnya menemui titik balik yang yah, rada-rada radikal gitu. Emang boleh, seradikal itu? Itu terjadi pada awal 2022. Ini juga akibat dari pikiran lama saya yang lain: tiga tahun setelah bekerja tetap di Flores, saya harus lanjut kuliah. 2019 saya mulai bekerja tetap. Sebelum 2019 sejak sehabis kuliah S1 yang juga di Flores itu, saya mengisi hari-hari dan tahun-tahun dengan menjadi freelancer. Ini jenis profesi atau pilihan hidup yang bagi kebanyakan orang Flores, tidak jelas maksudnya, tidak jelas pula ketika hendak dijelaskan. Pokoknya freelancer. Titik!
Melalui jalur beasiswa yang saya ambil dan ikuti proses seleksinya, saya batal ke UGM. Saya malah harus ke Jakarta. Saya malah harus tinggal dalam durasi waktu yang cukup panjang di Jakarta. Dan, mau tak mau saya harus suka itu.
Tibalah waktunya saya harus ke Jakarta, pada akhir 2022 lalu. Meninggalkan Flores, keluarga, dan pikiran lama saya. Lebay!
Yang menarik dari Jakarta dan saya suka itu
Saya tahu apa yang sedang Lo, Ente, Kowe, Sampean, Panjenengan, Situ, You, Antum pikirkan sekarang. Saya tahu, tapi bukan itu. Kejutan-kejutan saya tak mudah ditebak seperti itu. Lantaran Jakarta punya segalanya? Gedung-gedung mewah, banyak pilihan transportasi, mudah mendapatkan barang yang dicari, Monas, mall, bioskop, Sentra Kue Subuh, GBK, Mangga Besar, Kopi Bajawa, Nasdem Tower? Bukan semua itu dan nggak semudah itu, Joko!
So what? Well, ikuti terus.
Sebagai lulusan program filsafat dari sebuah kampus filsafat di Flores, mencurigai Jakarta adalah sah. Filsafat memang dari sononya itu soal curiga-curiga gitu. Makin bertambah keabsahan itu karena saya pernah sangat tidak menyukai Jakarta. Nggak salah dong! Dan nggak salah juga kalau saya tidak percaya semua orang yang ada di Jakarta.
Namun, ada yang menarik setelah setahun lebih saya tinggal di Jakarta.
Tebak, apa itu? Salah! Tebak lagi? Isnt it. Hmmm, piye toh, salah mulu. Nih dengerin: di Jakarta, kau boleh tidak percaya pada siapa pun, tapi kau harus percaya pada satpam! Satpam adalah satu-satunya jenis orang di Jakarta yang paling bisa kau percayai. Satpam tidak akan pernah berbohong. Satpam adalah orang yang pertanyaanmu akan dijawab dengan baik dan jujur. Jakarta yang begini wouw dan luar biasa, yang padat dan tak pernah mati, yang keras dan menggelisahkan ini, dapat dengan mudah ditaklukkan dengan satu kunci: satpam. Setelah setahun lebih tinggal di Jakarta, saya malah sudah dengan sangat percaya diri berpesan kepada siapa pun yang belum ke Jakarta: ke mana pun kau pergi di Jakarta ini, sekalipun kau berpikir bakalan tersesat dan bingung, panik dan keringatan, pegang kata-kata saya, selama satpam masih bisa kau temui, tenang saja, kau selamat!
Ente boleh sangat tidak percaya pada politisi, agak ragu pada elite agama, tapi pada satpam, Lo harus yakin sepenuh-penuhnya. Satpam di mana saja di Jakarta, percayalah. Satpam is our savior!
Saya pernah sih, coba-coba percaya pada Teman-teman saya, tapi semenjak mereka bilang “otw”, mereka jadi brengsek. Hahaha. Pernah juga terpaksa percaya pada mereka yang saya kenal, tapi semenjak mereka bilang “pinjam dulu, gajian baru saya kembalikan”, mereka berubah jadi bajingan. Hahaha.
Selain satpam, setelah setahun lebih tinggal di Jakarta, khususnya di sebuah pemukiman warga di Jakarta Timur, saya juga suka pada sikap berserah diri penduduk kelas menengah ke bawah pada Yang Kuasa. Sederhananya begini: apa pun tempat usaha yang dibuka, sesederhana apa pun itu, setidakstrategisnya tempat itu, pasti ada yang membelinya, pasti ada yang menjadi kliennya. Saya sering tuh, iseng-iseng mampir sekadar belanja atau ngopi di tempat-tempat usaha yang kalau di Flores, sudah pasti berumur pendek atau sepi pelanggan. But, wait, saya selalu tidak sendirian. Kalau bukan sudah ada orang lain sebelum saya di tempat itu, pasti akan muncul orang lain lagi ke tempat yang sama. Manusia di Jakarta ini kek nggak ada habis-habisnya.
“Mas, tugas kita berusaha, soal rezeki, udah diatur oleh Allah.” Sungguh, sikap pasrah yang dahsyat.
Setelah setahun lebih tinggal di Jakarta, lah kok saya tiba-tiba ingin mualaf. Hehehe. Tentang ini, nanti saya ceritakan detailnya. Kali ini, cukup di sini dulu.
Wabillahi taufik wal hidayah, wa ridho wal inayayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
*) Reinard L. Meo