
(Resensi Buku Kumpulan Cerpen “Tuhan Mati di Biara: Kumpulan Cerita” karya Hans Hayon)
Artikel ini pernah terbit di Surat Kabar Harian Umum โFlores Posโ pada tahun 2016.
Oleh: Silvano Keo Bhaghi*
Sebenarnya, ada banyak tema yang digarap Hans dalam kumpulan cerpen “Tuhan Mati di Biara”, yaitu iman, agama, adat istiadat, politik, budaya patriarki, dan cinta. Akan tetapi, hemat saya, aksis yang menghubungkan semua tema itu adalah kematian. Kematian ibarat titik sentral, akhir, sekaligus jembatan bagi Hans untuk membincang pusparagam tema di atas. Jadi, apa yang mau Hans sampaikan?
Nosse Deum, Posse Mori. Saya sepakat dengan komentar Dedi Try Riyadi dalam buku tersebut, “โฆ Pepatah Latin itu mengatakan ‘mengenal Allah berarti mengenal kematian.’ Meskipun pada kenyataannya, yang disampaikan oleh Hans dalam karya-karyanya ini adalah kebalikannya; mengenal kematian adalah (cara) mengenal Allah. Betapa tidak, hampir semua cerita pendek yang ada dalam kumpulan cerita pendek ini punya kaitan dengan kematian” (Hans Hayon, Tuhan Mati di Biara, 2016: xii). Dari sekian banyak pesan, mungkin ini salah satu pesan utama Hans: kenalilah kematian, niscaya Allah akan dapat dikenal.
“Tuhan Mati di Biara” merupakan buku pertama Hans Hayon yang diterbitkan Penerbit Nusa Indah Ende pada Oktober 2016. Buku setebal 178 halaman itu terdiri atas 14 judul cerita yang dibagi ke dalam dua bagian besar. Bagian pertama memuat tujuh (7) judul cerita, sedangkan bagian kedua juga memuat tujuh (7) judul cerita. Judul cerita terakhir pada bagian kedua memuat delapan (8) buah cerita pendek dari Lamaholot. Buku yang menggunakan format kertas mungil itu memuat dua (2) komentar dari Vika Kurniawati dan Dedy Try Riyadi, satu (1) buah pengantar dari Pater Dr. Paul Budi Kleden, SVD dan sebuah catatan penulis. Desain sampul dan tata letak (layout) buku masing-masing dikerjakan oleh Gregorius Emilio dan Yohan Z. L. Wadu.
Tentang Penulis
Hans Hayon, lengkapnya Yohanes W. Hayon, lahir di Hokeng, 26 Juni 1990. Hans tamat dari SDK Nurabelen tahun 2003, SMPK Sanctissima Trinitas Hokeng tahun 2006, dan SMA Seminari San Dominggo Hokeng tahun 2009. Setelah meraih gelar S-1 Filsafat pada STFK Ledalero pada tahun 2016, ia melakukan praktik pastoral di Surat Kabar Harian Umum Flores Pos sebagai wartawan, editor, dan redaktur rubrik sastra. Ia kemudian melanjutkan studi dan meraih gelar Magister Sosiologi di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Hans menulis banyak karya, baik fiksi maupun non-fiksi. Namun, ia tampaknya lebih banyak menggandrungi karya fiksi dengan menulis esai, cerpen, dan puisi. Karya-karyanya malang melintang di beberapa media lokal cetak dan online seperti Majalah Loti Basastra, Pos Kupang, Flores Pos, Suara NTB, Jurnal Fiksi Basabasi.co, Jurnal Sastra Santarang, dan Victory News.
Mengapa Menulis “Tuhan Mati di Biara”? Hans sendiri menjawab, “buku ini lahir dari keraguan, kemungkinan, dan kebingungan. Dengan kata lain, ia ada karena cinta” (Ibid., p. xix). Pada tempat lain, ia menegaskan lagi, “sekali lagi, atas nama cinta dan kekesalan-kekesalan yang saya temukan sebelum ia menghilang, buku ini lahir” (Ibid.).
Bagi Hans, keraguan, kemungkinan, kebingungan, dan kekesalan adalah nama lain dari cinta. Dan inilah kata Hans tentang cinta, “Kalau bicara soal cinta, saya lebih sering memiliki referensi pada Paul Budi Kleden. Ia mengutip Fyodor Dostoyevski demikian ‘mencintai semua orang sama saja dengan tidak mencintai siapa-siapa. Karena mencintai semua orang adalah mencintai pengertian abstrak. Cinta itu konkret, membedakan, memberi identitas. Dia mulai dengan memberi nama, dan melebur dalam nama. Tidak ada cinta tanpa nama.’ Dengan kata lain, hanya melalui nama, pemberian identitas memungkinkan cinta” (Ibid., pp. xix-x).โโโโโโโโ
Jawaban Hans memang sangat puitis dan karena itu mesti ditafsir. Cinta menurut Hans adalah cinta yang mesti dikonkretkan. Kita hanya dapat mencintai seseorang atau sesuatu yang konkret karena kita tidak akan pernah sanggup mencintai sesuatu yang abstrak. Dan cinta hanya dapat dimengerti kalau ada aktivitas mencintai. Tanpa mencintai, cinta tak ada. Dan mencintai hanya dapat dilakukan dengan tindakan mencintai terhadap seseorang atau sesuatu yang memiliki nama. Namun, paradoksnya adalah justru karena ia membutuhkan nama, kita seringkali menghadapinya sebagai sebuah keraguan, kemungkinan, kebingungan, dan barangkali kekesalan. Mungkin itulah alasannya mengapa Yesus bersabda, “Barangsiapa melakukan sesuatu untuk salah seorang dari saudara yang paling hina ini, ia telah melakukannya untuk Aku.” Mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama dan segenap alam ciptaan yang ada di dalamnya adalah omong kosong. Cinta butuh nama, Sisilia misalnya. Atau pada seekor monyet yang menggelantung di dahan pohon.

Ikhtisar Buku
Bagian pertama buku Hans memuat tujuh (7) buah judul cerita.
Pertama, Hostia. Hostia adalah cerpen yang ditulis Hans untuk mengenang Alm. Pater Dr. Yoseph Suban Hayon, SVD. Hostia berisi kisah tentang pemberontakan sebuah hostia yang menolak dilahap oleh umat di Gereja karena ia tidak mau tubuhnya yang kurus kering dicerna oleh lambung manusia yang lapar dan gelisah. Namun, di akhir cerita, hostia justru mengalami pengalaman ‘dilahap’ yang sangat berbeda dari apa yang pernah dipikirkannya. Tubuh kurusnya tidak remuk, tetapi ia malah menjamah hati yang terluka karena cinta dari orang yang melahapnya. Hostia akhirnya diam pada dasar lambungnya yang letih. Hostia betul-betul merasakan arti Requiescat in Pace, mengaso dalam damai yang abadi. Cerpen itu meninggalkan pertanyaan yang tersisa, siapakah sang pelahap hostia? Atau Pastor yang saleh atau umat yang setia? Bagaimana nasib hostia selanjutnya?
Kedua, Rani. Setelah beberapa kali membaca cerpen “Rani”, saya tetap tak tahu, siapa itu Rani atau Nurani. Apakah Rani atau Nurani adalah ibu si tokoh Aku yang dibakar massa karena adat istiadat? Atau, bisa saja Rani dan Nurani adalah dua tokoh yang berbeda. Bisa benar pula jika Paul Budi Kleden menafsir matinya Rani sebagai kematian nurani dari orang-orang yang karena tradisi tega membakar Rani hidup-hidup. Spekulasi pembaca bisa bermacam-macam. Akan tetapi, ikhtisar cerpen Rani berpusat pada tokoh Aku dan ibunya. Tokoh Aku menceritakan alasan dan kematian ibunya yang tragis. Cerita berakhir pada saat tokoh Aku bertemu dengan seorang wanita berbusana kerajaan model tahun 80-an yang menuntunnya ke sebuah makam dengan nama “Nurani” pada batu nisannya.
Ketiga, Kinasih. Cerpen “Kinasih” merupakan kisah cinta yang amat memikat antara Heri dan Kinasih. Dua-duanya pekerja kantoran. Heri lebih dulu bekerja, sedangkan Kinasih baru dua hari bekerja setelah menamatkan pendidikan di Jurusan Administrasi Universitas Indonesia (UI) pada saat mereka jatuh cinta untuk pertama dan terakhir kalinya. Tempat favorit mereka memadu kasih adalah taman kota yang berdekatan dengan kantor. Taman kota itulah yang juga menjadi saksi bisu bahwa Kinasih telah hamil dan bayi yang dikandungnya bukan darah daging Heri. Heri baru mengetahui pemerkosa Kinasih ketika Kinasih memberikannya sepucuk surat melalui seorang dokter sesaat sebelum ia menghembuskan nafas terakhir pada saat melahirkan Kinasih, putri semata wayangnya. Apakah Kinasih junior akan mengalami nasib yang sama dengan ibunya? Diperkosa oleh kakeknya sendiri? Akhir Cerpen “Kinasih” juga menggemaskan.
Keempat, Jalan Mulus Menuju Surga. Cerpen ini memuat kisah tentang seorang pastor yang karena amat sangat merasa kehilangan seorang sahabat karibnya, seorang koster gereja, yang baru saja meninggal, menuntut agar umat membongkar kembali makam sahabatnya itu. Permintaan Pastor ditentang oleh ibu kandung almarhum karena menurutnya pembongkaran makam baru bertentangan dengan tradisi.
Kelima, Dalima. Akhir kisah “Dalima” membuat pembaca geram mengapa seorang laki-laki tega meniduri istri yang tidak lain tidak bukan adalah putri semata wayangnya sendiri? Dan sudah sejak awal, nasib sang putri tragis, lebih dari sekadar sepotong kawat berduri tersangkut di tenggorokan: Dalima bunuh diri.
Keenam, Grace. Seperti Dalima, akhir kisah Grace juga tragis: dibunuh oleh penjabat publik yang menghamilinya. Akan tetapi, menurut Ikal, tokoh Aku dalam kisah itu, hal yang paling menyedihkan bukanlah kematian Grace, gadis pemilik ribuan idealisme, melainkan kenyataan bahwa manusia hidup dituntun oleh moral yang mati. Kematian moralitas kian tragis pada saat pengadilan dan penjara tak lebih dari sebuah tempat rekreasi.
Ketujuh, Tuhan Mati di Biara. Ini adalah kisah yang rumit. Memosisikan tokoh pada tempat yang semestinya pun sulit. Sebut saja Grace, Ratih, terdakwa, seorang anak kecil dan seorang ayah. Yang pasti, Grace mati dibunuh karena sebuah kisah cinta yang terlarang. Dan terdakwa didakwa dengan hukuman penjara seumur hidup. Hadirnya tokoh si anak kecil pada bagian akhir cerita sepertinya adalah kunci yang bisa membuka tabir misteri mengapa cerita ini berjudul “Tuhan Mati di Biara”. Hanya saja, ketika dikonfirmasi, Hans menjawab, kisah itu diinspirasi oleh kasus nyata mantan pastor, Herman Jumat, yang heboh beberapa tahun lalu. Itu pun belum sanggup membuka selubung misteri cerita ini.
Sementara itu, bagian kedua buku Hans juga memuat tujuh judul cerita.
Pertama, Matinya Sang Tukang Roti. A Ming, seorang tukang roti di Maumere memutar memori tentang pembunuhan sadis terhadap saudari bungsunya Lintang pada tahun 1997. Rusdi, anak semata wayangnya menulis kembali kisah ayahnya itu hingga pada akhirnya ia disalibkan di atas sebuah bukit.
Kedua, Aroma Kopi dan Sisilia. Seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, Sam menjalani kuliah kerja nyata di Colol, Manggarai. Di Colol, ia tinggal bersama sebuah keluarga yang memiliki putri semata wayang bernama Sisilia. Dari mulut Sisilia, Sam kemudian tahu, Rustam, tunangan Sisilia tewas gantung diri di pohon kopi di perkebunan kopi keluarga karena menolak kebijakan pemerintah daerah setempat untuk melakukan konservasi dengan cara membabat isi kebun kopi. Hingga akhirnya Sam menerima sepucuk surat dari orang tua angkatnya bahwa Sisilia sudah meninggal dua tahun lalu sejak kunjungannya ke Colol.
Ketiga, Kewisek. Kewisek adalah pemuda usia 30-an tahun yang lahir dari seorang perempuan lanjut usia, Rina. Kelahiran Kewisek bukan saja membebaskan Rina dari cibiran keluarga, termasuk suaminya Goleng dan tetangga tentang betapa mandul dan tak berarti dirinya sebagai perempuan, tetapi juga membawa berkah bagi penduduk kampung karena Kewisek terlahir sebagai pemuda tampan bak titisan dewa yang memiliki kemampuan gaib untuk menyembuhkan pelbagai penyakit. Hingga pada suatu ketika, Kewisek menderita penyakit yang tak tersembuhkan. Sarabiti, dukun kampung paling kondang mendiagnosis Ibu Kewisek, Rina, sebagai penyebab sakitnya Kewisek. Maka, dibakarlah Rina di tanah lapang. Namun, seperti tak tahan menyaksikan penderitaan ibunya, Kewisek pun ikut membakar diri. Kewisek dan Rina wafat bersamaan dengan kondisi tubuh yang gosong. Sarabiti? Ia juga diteriakki massa kampung kerasukan arwah leluhur.
Keempat, Pegawai Pajak. Semua orang tampak menjauhi pegawai pajak hanya karena pemuda itu seorang pegawai pajak, tak terkecuali kekasihnya, Sisilia. Situasi berubah ketika seorang pemuda karismatik mengunjungi kampungnya dan memberi tahu bahwa ia akan menumpang di rumah pemuda si pegawai pajak itu. Semua orang tentu saja mencibir, mengapa justru rumah si pegawai pajak, pemuda yang memiliki banyak pengikut itu memilih tumpangan. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, pemuda karismatik itu mati dibunuh.
Kelima, Bidadari Keroko Puken. Cerpen dibuka dengan kisah tentang ditemukannya kembali seorang gadis yang hilang di tengah hutan. Ibu si gadis kemudian menceritakan nasib Ama, suaminya yang mati karena kawin dengan perempuan gaib utusan kewokot, yaitu arwah orang mati. Kewokot marah karena Ama menebang pohon terlarang di tengah kebun. Pada adegan lainnya, seorang pengusaha juga diganggu oleh perempuan utusan kewokot karena hendak mengubah hutan menjadi pabrik, swalayan, dan hotel. Nasib pengusaha muda tak pasti.
Keenam, Gunung Selepas Fajar. Seorang ibu mencari suami dan putrinya yang hilang akibat letusan Gunung Rokatenda. Tokoh Aku begitu gamang menyaksikan kepergian sang ibu sehingga memertanyakan segala otoritas moral yang membelenggunya seperti Tuhan dan agama. Satu-satunya kerinduannya adalah berkumpul kembali dengan keluarganya.
Akhirnya, buku Hans ditutup dengan judul cerita ketujuh, 8 cerita pendek tentang Lamaholot, yakni Nura Nara, Berburu Ikan Paus, Belis, Korban, Ibu, Rumah, Sumur Tua, dan Ekaristi. Semuanya karib dengan kematian. Bukankah Ekaristi adalah kenangan akan kematian yang paling akbar sepanjang sejarah kehidupan manusia? Mungkin karena alasan kematianlah, Gereja tetap bertahan hingga sekarang. Paling kurang, bayangan akan betapa ngerinya kematian sudah cukup membuat manusia enggan meninggalkan iman.
Kematian
Setelah membaca ikhtisar karya Hans, Anda akan tahu, aksis yang menjadi pusat dari semua cerita adalah kematian. Pertanyaannya, siapa atau apa yang mati? Benarkah Tuhan? Benarkah Tuhan mati di biara dan hanya di biara? Bukankah Tuhan bisa mati di mana-mana saat cinta pergi menguap dan benci semakin terkonsolidasi? Jika hal yang paling penting menurut Hans adalah kasih sayang, maka mestinya kematian yang patut ditangisi adalah matinya kasih sayang. Hilangnya cinta di hati. Mana kala cinta mati, Tuhan memang benar-benar mati, tidak terkecuali di biara.
Dalam sebuah pesan singkat, Hans sendiri menjelaskan arti “Tuhan Mati di Biara”sebagai berikut, “Kata Tuhan artinya kebenaran. Dengan kata lain, kebenaran mati di biara. Maksudnya, ada banyak kejanggalan dalam hidup membiara yang justru memengaruhi (merusak) penghayatan iman umat. Selain itu, karena keterjaminan hidup, biarawan/ti justru lamban atau apatis dengan masalah sosial. Umumnya, solusi yang dibuat masih terbatas pada seruan profetis saja.”
Dirumuskan secara singkat, kebenaran tewas di biara manakala pertama, pelbagai skandal hidup membiara dibiarkan tanpa penanganan yang tuntas, kedua, elite Gereja tidak peduli dengan masalah sosial karena status quo dan stabilitas loci yang sudah sangat nyaman, dan ketiga, untuk menutupi borok ketidakpedulian, khotbah moral dianggap sudah cukup menjadi solusi atas semua masalah sosial.
Akan tetapi, jika Tuhan menunjuk pada kebenaran, maka ia mestinya bukan hanya mati di biara. Sebab, biara bukan pemilik tunggal kebenaran. Dengan tafsiran yang lebih radikal, Tuhan bisa mati di mana-mana karena kebenaran bisa dimanipulasi oleh siapa pun dan di mana pun. Dengan demikian, kata biara tidak lagi menunjuk pada locus historicus dalam institusi Gereja Katolik, melainkan menjelma menjadi universum kemungkinan akan matinya kebenaran. Maka, akan sangat menggelikan kalau karya Hans ini disambut dengan sikap sinis.
Mengapa Patut Dibaca?
Buku Hans termasuk karya fiksi cerita pendek yang digarap dengan teknik penceritaan yang luar biasa. Sebagai sebuah cerita pendek, buku ini tentu memiliki kesamaan dan perbedaan dengan buku kumpulan Cerpen lainnya. Kesamaannya, tentu karena ia merupakan cerita pendek, maka isi cerita benar-benar pendek. Saya kira, itulah alasan mengapa sebuah Cerpen sejati selalu meninggalkan rasa penasaran yang menggemaskan.
Perbedaannya, karya Hans semacam dijiwai oleh suatu benang merah tertentu sehingga menyebutnya sebagai sebuah kumpulan cerita, rasa-rasanya kuranglah tepat. Sebab, sesuai dengan nama, sebuah kumpulan cerita tidak mesti memusatkan diri pada satu tema tertentu yang kaku. Yang dilakukan Hans adalah meramu cerita-cerita pendek sedemikian rupa sehingga pada akhirnya pembaca dapat menemukan benang merah tertentu. Sebuah benang yang menjadi aksis bagi semua cerita. Benang merah itu adalah iman, cinta, adat istiadat, politik, agama, dan tentu saja Tuhan. Dan bahwa iman, cinta, adat, politik, agama, dan Tuhan hanya dapat dipahami melalui kematian. Kematian, itulah aksis cerita-cerita Hans. Penyair Dedi Try Riyadi berkomentar seperti ini, “betapa tidak, hampir semua cerita pendek yang ada dalam kumpulan cerita pendek ini punya kaitan dengan kematian” (Ibid., p. xii). Dan komentar Vika Kurniawati, “tiap cerpen dalam buku tersebut mempunyai benang merah terlihat samar walau terjalin kuat yaitu ‘iman'” (Ibid., p. x). Saya kira, kelebihan teknik penceritaan Hans terletak pada kecerdasannya untuk menyamarkan tema umum kumpulan cerpen. Dan tema yang tersamar itu berhasil membuat publik pembaca bertanya-tanya, entah apa maksud Hans.
Buku kumpulan cerpen ini benar-benar menggemaskan justru karena ia adalah cerita yang benar-benar pendek. Di saat rasa penasaran pembaca mulai membuncah, Hans justru mengakhiri ceritanya. Hal menggemaskan lainnya, entah itu bisa disebut atau kekurangan atau kelebihan, pembaca tidak akan pernah cukup hanya singgah sebentar untuk memahami Hans. Ia mesti menggauli cerita dengan cukup intens agar dapat memahami mutiara nilai yang terpendam. Hans tak dapat dipahami jika hanya dibaca sekali.
Persis seperti ditulis Nh. Dini pada saat mengomentari novel “Sampar” Albert Camus, “Untuk membaca karya Albert Camus, pertama-tama seharusnya kita membuat rencana. Sesudah itu kita berkencan dengan dia, karena tidak mungkin kita hanya akan ‘singgah.’ Pertemuan dengan Albert Camus yang berlangsung cepat dan tergesa tidak akan membawakan sesuatupun pada kita. Sebab itu, sebaiknya kalau kita berkehendak membaca karya Albert Camus, kita harus mempunyai waktu. Barulah kita akan mampu mengikuti jalan pikirannya, melihat dengan jelas apa yang dimaksudkannya. Setuju atau tidak dengan dia, itu merupakan soal lain” (Albert Camus (Nh. Dini, penerj), Sampar, 1985: viii).
Mungkin berlebihan, akan tetapi, coba pertahankan komentar Nh. Dini dan gantilah nama besar Albert Camus dengan nama kecil Hans Hayon. Dua-duanya memiliki kemampuan yang super untuk menghidupkan karyanya dengan pelbagai bentuk analogi dan simbolisme yang teramat kaya. Terhadap sebuah analogi dan simbolisme, Anda tak mungkin hanya singgah sebentar. Anda mesti pacaran dan bila perlu menikah dengannya. Jika tidak, Anda akan pulang dengan tangan hampa, bukan karena yang dicari tak berisi, melainkan karena Anda mencarinya dengan cara yang sia-sia. Paul Budi Kleden dalam komentarnya menulis, “cerpen-cerpen Hans memang amat kaya dengan analogi dan simbolisme. Cerpen ‘Gunung Selepas Fajar’ dimulai dengan kalimat-kalimat kaya analogi: “air dalam gelas terasa begitu dingin setelah menyentuh ujung lidahku yang bergetar hebat. Hari telah cukup matang dengan senja yang memerah di puncak gunung, ketika Ibu mengatakan, ”Ibu ingin pergi ke Utara” (Hans Hayon, Ibid., p. vii). Dan simbolisme itu menyatu dalam satu aksis yang sama, yakni kematian.
Demikian pun, sejak halaman pertama bukunya, Camus sudah menulis tentang kematian, “cara mudah mengenal sebuah kota adalah dengan mengetahui bagaimana penduduk di sana bekerja, mencinta dan mati” (Albert Camus, Ibid,. p. 1). Dan novel “Sampar” dimulai dengan kisah tentang seekor tikus yang menggelepar di sudut-sudut kota: “pada tanggal 16 April, ketika Dokter Bernard Rieux keluar dari tempat praktik, kakinya tersandung seekor tikus mati di ruang gedung depan pintuโฆ Malam itu juga, sewaktu Bernard Rieux berdiri di lorong gedung sambil mencari kunci sebelum naik ke tempat tinggalnya, dia melihat seekor tikus besar muncul dari ujung yang gelap, jalannya tidak pasti dan bulunya basah. Binatang itu berhenti seolah-olah mencari keseimbangan, lalu berlari ke arah dokter, berhenti lagi, kemudian berputar-putar sambil menjerit, dan akhirnya tergeletak sambil menyemburkan darah dari moncongnya yang setengah terbukaโฆ Bukan kepada tikus dia berpikir. Darah yang tersembur itulah yang membuatnya khawatir” (Albert Camus, Ibid., p. 5).
Camus mengamati kehidupan sehari-hari yang biasa, lalu menyajikannya kembali dalam bentuk sebuah cerita yang amat memikat: seekor tikus, binatang menjijikkan menjadi simbol dan tanda awal penyakit sampar yang mengguncang penduduk kota Oran, Prancis. Seperti Camus, Hans juga melakukan hal yang sama. Kita kutip lagi komentar Paul Budi Kleden, “di dalam cerpen yang sama (Gunung Selepas Fajar, Red) Penulis menunjukkan pengamatannya yang tajam atas keseharian manusia dan kefasihannya membuat perbandingan yang cerdas: “Dan aku lebih tak tahu lagi, apakah aku seorang manusia ataukah malah sebentuk kulkas. Sebuah tempat di mana orang berusaha mengawetkan cinta dan rindu” (Hans Hayon, Ibid., p. vii).
Manusia dan kulkas bukan hanya dua hal yang berbeda dalam segala lini, tetapi juga adalah dua hal yang teramat biasa dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, aksis yang menghubungkan keduanya adalah kemampuan untuk mengawetkan sesuatu yang menjadikannya berarti. Bukankah perjalanan terpanjang manusia adalah ziarah menemukan jati diri dan makna hidup? Bukankah jati diri dan makna hidup seorang anak manusia terletak pada kemampuannya untuk mencinta, merindu, dan mengharap? Seperti kulkas, tugas manusia adalah mengawetkan cinta, kerinduan, dan harapan jika tidak mau hidupnya menjadi sia-sia. Seperti tikus dalam kisah “Sampar” Albert Camus, kulkas dalam cerpen “Gunung Selepas Fajar” Hans menjadi simbol dan tanda awal kematian: meletusnya Gunung Rokatenda dengan tanpa meninggalkan satu korban selamatpun.
Pengamatan jeli atas fenomena kehidupan manusia yang serba biasa juga ditunjukkan Hans dalam cerpen “Hostia”, “Bentuk tubuhku tidak begitu menarik disebut sebagai makanan pemuas rasa lapar. Bulat. Tipis. Terbuat dari gandum dengan campuran sedikit garam dan gula. Tempat tinggalku bukan di rumah-rumah mewah atau di hotel berbintangโฆ Orang-orang menyebut rumahku, tabernakel dan sibori sebagai nama kamarku” (Hans Hayon, Ibid., p. 43-44).
Menilai
Organisasi atau kerangka buku “Tuhan Mati di Biara” disusun sedemikian rupa sehingga tema dasar kematian bisa diteropong dari pelbagai sisi. Judul cerita “Tuhan Mati di Biara” sendiri ditempatkan sebagai bab akhir bagian pertama sekaligus bab awal pada bagian kedua. Akan tetapi, secara keseluruhan judul cerita itu berada di tengah sebagai pusat buku. Dalam judul “Tuhan Mati di Biara” semua tema karangan termaktub: agama, cinta, iman, politik, adat istiadat. Dan semuanya mengarah pada satu aksis yang sama: kematian.
Dengan organisasi karangan seperti itu, kualitas isi buku bisa dipertanggungjawabkan. Kemampuan berbahasa Hans sangat mumpuni. Dengan struktur kalimat yang pendek, bahasa Hans tampak padat dan berisi. Tidak ada kata-kata atau kalimat yang sia-sia. Hubungan antarkalimat pun jelas, walau menuntut pembaca untuk memeras otak menafsir makna analogi dan simbolisme yang digunakan. Kata-kata yang digunakan pada umumnya selected. Dengan pilihan kata yang segar, budi pembaca betul-betul dimanja. Di ujung pena Hans, dunia yang keras dan absurd berubah menjadi sangat damai, halus, memikat tetapi juga penuh gugatan. Itulah alasannya mengapa dunia selalu haus akan kehadiran para pencerita. Atau seperti disimpulkan Paul Budi Kleden, “akan betapa miskinnya dunia tanpa gagasan, ketiadaan cerita” (Hans Hayon, Ibid., p. xxxviii).
Hal Lain yang Juga Memikat
Wajah buku “Tuhan Mati di Biara” memang lain dari yang lain. Wajah buku semacam itu hanya mungkin lahir dari tangan layouter dengan jiwa yang lepas bebas dan tidak antipati pada semangat pemberontakan. Hans menyebutnya, tampil agak nakal. Dan ia suka.
Sampul buku berwarna kuning gading. Dan potret seorang gadis yang sedang tersenyum pada tepi halaman depan buku, mungkin Sisilia, gadis yang kepadanya Hans jatuh cinta dan patah hati berulang-ulang, juga berwarna kuning gading. Akan tetapi, entah disengaja atau tidak, warna dominan buku itu adalah hitam, sebuah komposisi warna yang amat karib dengan kematian. Pada lembaran awal buku, judul “Tuhan Mati di Biara” ditulis dengan tinta putih, tetapi di atas latar belakang kertas hitam pekat. Hitam total. Kematian, sebuah absurditas. Seperti Shisipus dalam legenda Yunani Kuno yang melakukan pekerjaan sia-sia berulangkali: mendorong sebuah batu besar dari dasar jurang menuju sebuah puncak bukit untuk kemudian jatuh kembali ke dasar, seterusnya kekal seperti itu.
Cover buku menampilkan gambar seorang lelaki dewasa yang sedang berjalan merunduk menyusuri entah pantai atau mungkin padang pasir putih. Tampak kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Hal yang menarik dari cover adalah bayangan lelaki itu membentuk semacam noda hitam besar yang menciprat ke mana-mana. Noda hitam yang kecipratan itu menyerupai perahu. Namun, perahu itu menggeletak di daratan tak bernama. Sebuah perahu yang karam? Ada nuansa kematian di sana.
Masih dari sisi layout, hal yang juga mencolok adalah pemakaian font dan ukuran huruf yang out of the box. Bentuk dan ukuran huruf kalimat langsung berbeda dengan kalimat tidak langsung. Huruf juga kadangkala dimiringkan. Dengan demikian, pembaca dipastikan tidak akan bosan. Model Layout seperti itu tampaknya merupakan pemberontakan terhadap gaya menulis baku yang mesti memenuhi kaidah penulisan yang benar. Pemberontakan juga adalah semangat yang bisa kita rasakan dari cerita Hans.
Dengan ukuran yang mungil, buku ini praktis bisa dibawa ke mana-mana dan kapan pun. Saya pernah mencobanya: di jok motor. Anda masih bisa mencari tempat yang lebih sempit. Sementara itu, sejauh penyelidikan saya, Moya Zamzam Printika melakukan pencetakan buku dengan sangat baik. Tidak ada huruf yang lupa dicetak. Itu juga adalah bukti ketelitian Hans. Sastrawan selalu ceroboh. Tampaknya, prasangka itu terfalsifikasi dalam karya ini.
Buku ini layak dibaca oleh semua kalangan, tua dan muda, anak sekolah dasar dan profesor, preman dan pastor, tukang sapu dan presiden, politisi dan filsuf, ateis dan teolog, singkatnya semua orang yang mau beriman secara dewasa dan mau mengerti bahwa melalui kematian, kita sanggup mengenal Allah. Jadi, benarkah Tuhan mati di biara? Tuhan bukan hanya akan mati di biara, tetapi akan mati di mana-mana, saat cinta menguap pergi dan benci semakin dikoordinasi.
*) Alumnus IFTK Ledalero Angkatan 2012-2016.