
Oleh: Hancel Goru Dolu
Hujan seringkali membersihkan langit. Tapi tak kuasa menghapus kenangan. Bahkan makin menancap di ingatan. Karena selalu ada jejak di tiap genangan. Tetap berbekas, terpatri dengan jelas.
15 Februari 2005, ketika itu. Jam 11-an siang. Bis Emanuel Om BomBom, jurusan Ende-Bajawa memasuki pelataran pendopo SMA Seminari Todabelu Mataloko. Pantulan cahaya dari kacanya seolah membawa asa, buat lembah Wolosasa yang saban hari diselimuti kabut dan rinai butiran angkasa.
“Pasti ada kiriman buat anak Gaseli*,” bisik sebuah suara.
“Mungkin orang tua murid yang datang berkunjung,” sahut suara yang lain.
“Nene kamu punya moyang dua orang yang di belakang! Kamu dua omong apa tuh? Orang lain fokus dengar mata pelajaran, kamu dua mulut komat-kamit sendiri,” Ibu Guru mengejutkan obrolan keduanya.
“Ayo, coba jelaskan tentang Hukum Gossen 1 dan 2.”
Keduanya kaget dengan todongan pertanyaan itu. Belum pulih dari situasi gelagapan, Ibu Guru telah berada tepat di depan meja keduanya.
“Apa itu harta?” Ibu Guru terus mengejar dengan tanya dicecar.
“Harta adalah kiasan hidup semata, Bu.”
Petikan syair tembang lawas pun secara asal mereka pakai. Khas keisengan anak remaja.
“Ha ha ha ha…” pecah tawa seisi kelas.
Teng… Teng… Teng…
Lonceng tanda jam pelajaran selesai. Manusia seringkali diselamatkan oleh keadaan. Keduanya pun lolos dari situasi buruk yang hampir berujung memalukan.
“Jhochles, kau ada dapat kiriman surat la,” Capes berlari-lari kecil memberitahu, sambil kedua tangannya menjinjing termos nasi dan sayur. Mereka sedang piket Dekers* siang itu.
“Wala meo Capes, Hari Tipu masih lama la. Kau jangan ‘eating laudat’* tuh,” Jhochles menimpali sekenanya.
“Benar la. Sejak kapan saya menjadi penipu yang baik budi? Hahaha,” goda Capes.
“Jhochles, kalo kau tidak percaya, biar tunggu pengumuman di kamar makan saja sebentar.”
“Wala, jangan pengumuman di kamar makan la. Bagaimana nanti nasib asmara seberang asrama?”
“Ha ha ha ha…” pecah tawa keduanya.
Siang itu Jhochles akhirnya melihat surat bersampul dan berpita merah jambu yang dibahas Capes. Rupanya inilah tujuan bis Emanuel tadi. Membawa pesan cinta dari kegersangan asrama Ursula menuju kabut dinginnya asrama di lembah Wolosasa. Bis-bis itu mungkin tak pernah menyadari. Jauh sebelum era telepon genggam atau media Facebook, Twitter, dan sejenisnya; merekalah media penyambung asa di antara berbagai raga dan jiwa.
Jhochles segera mencari tempat yang aman. Tak ingin sampai ketahuan kawannya yang lain. MYN, inisial nama gadis remaja pengirim surat itu. Untuk ukuran gadis kelahiran 21 Maret 1991, larik kata-katanya sungguh manis menari-nari di atas kertas artifisial berbalut untaian huruf yang indah. Mungkinkah wajahnya serupawan dan bibirnya semenarik bait-bait aksara ini? Jhochles mulai menganalisa, mereka-reka.
Siang itu Jhochles tak konsen dengan makanannya. Dia masih penasaran akan hal ikhwal surat misterius tersebut. Perasaan senang, bahagia, dan curiga bercampur jadi satu. Dia tak ingin menelan malu untuk kedua kalinya di hari itu, setelah kejadian di kelas tadi. Mungkinkah ini adalah ulah teman-temannya yang iseng menulis surat buat dirinya? Entahlah, dia sendiri tak mengerti. Mengapa pula ada gadis yang mau mengajaknya menjadi ‘teman kores’, padahal mereka belum pernah bertemu ataupun kenalan. Hmm, cinta memang selalu rumit, tapi apakah mesti tergesa-gesa seperti ini? Apakah ini layak dikategorikan sebagai cinta? Macam-macam pikiran hilang muncul mengganggunya hingga jam tidur siang usai.
Sore harinya Jhochles meminta izin pada Romo Prefek, selaku bapa asrama. Dia akan pergi ke toko Sehati, membeli surat berwarna sebagai media pembalas sapaan gadis dari Ursula.
Di kios, ia berpapasan dengan beberapa remaja SMP Kartini yang juga sedang membeli kertas yang sama. Mungkin mereka juga akan membalas surat kores Valentine sehari sebelumnya. Beberapa di antaranya, sudah barang tentu bakal dialamatkan pada adik-adiknya di SMP Seminari.
“Jhochles, PR Ekonomi kau sudah buat kah?” tanya Marwek. “Eh, omong-omong, bagaimana perasaanmu tentang surat tadi?”
“Belum la, nanti saja. Kan besok tidak ada jadwal Ekonomi. Tentang surat, biasa saja. Sama seperti dulu saat kita dapat surat dari anak Kartini.”
“Weeww, masa tidak ada perbedaan? Apakah kau ingin menangguk prestise dari relasi yang misterius?”
“Apakah relasi dengan lawan jenis berbanding lurus dengan prestise?”
“Setidaknya itulah perasaan kami yang nir-asmara alias jomblo,” sergah Marwek setengah curhat.
“Bukankah para jomblo menikmati situasi kejombloannya sembari menampilkan diri seolah-olah sebagai kaum yang ditindas bully-bully dan karenanya butuh simpati serta perhatian?” balas Jhochles setengah mengejek.
“Ha ha ha ha, ngawur,” timpal Marwek sambil berlalu.
Jhochles tak lagi menanggapi. Dia memilih sibuk dengan konsep surat balasan yang disembunyikan di balik tumpukan catatan-catatannya. Lembar demi lembar dicorat-coret, tapi dia tak merasa puas. Mengapa terasa sulit membuat balasan? Mungkin Marwek benar. Memang ada perbedaan. Kali ini serasa membuat surat kepada hantu yang nyata. Seolah-olah ada namun tak ada, seolah-olah tak ada namun ada. Ah, rasa-rasanya memang lebih mudah mengerjakan PR dan puluhan makalah ketimbang membuat surat kepada subjek gelap sejenis ini.
Lalu Jhochles tersentak.
Di luar hujan mengguyur, angin kencang melanda. Banjir perlahan berarak datang. Contoh surat untuk sebuah komisi tinggi yang menangani hukum dan undang-undang belum selesai dipelajari dan digarap. Tapi kenangan 10 tahun silam pada surat yang tak pernah sempat dibalas itu kian lekat. Pada akhirnya ia menyadari, tak ada kemudahan yang lebih rumit dari membuat surat, apalagi tentang cinta.
Kenangan itu pun menggenang. Di manakah kini dikau gadis MYN itu? Seperti juga harta, cinta mungkinlah cuma kiasan hidup semata. Kali ini, dia yakin dia-lah yang ngawur.
_____________
Keterangan:
*) Gaseli : Gabungan anak seminari asal Ende-Lio.
*) Dekers : Piket menyiapkan makan.
*) ‘eating laudat’ : Makan puji. Dari kata eating (English: makan), laudat (Latin: puji).
______________
Ditulis di Surabaya, pada 17 Pebruari 2015