
Oleh: Marselinus Koka, RCJ*
Namaku Putri. Perempuan cantik berusia 35 tahun. Aku berkulit putih, agak tinggi dan langsing. Rambutku hitam melebihi bahu. Ada sebagian pria, baik dewasa maupun mereka yang sementara puber, mengagumi diriku. Hal itu dipengaruhi bentuk tubuhku yang memang seksi dan menggoda. Kata orang bagaikan gitar spanyol.
Dulu namaku tak begitu tenar. Namun, setelah berkali-kali aku berkeliaran, aku pun menjadi terkenal dan menjadi buah bibir sebagian orang di tempat tinggalku. Untuk mereka yang sering melewati diskotik ini pada malam hari, pasti familiar dengan diriku.
Di tempat ini aku melewati malam-malamku dengan banyak pria. Aku sudah sangat akrab dengan makian dan cacian dari orang-orang saat melewati jalan raya ini. Seorang wanita rendahan tanpa martabat dan gampang diobrak-abrik ketika mereka menginginkan tubuhku.
Sejak dulu, aku memang selalu ingin meninggalkan pekerjaanku ini. Namun, kapan dan bagaimana caranya, aku belum tahu. Melepas pekerjaan ini bagiku sama halnya dengan membunuh diri. Aku sudah berjanji pada langit bisu bahwa aku hanya mau meninggalkan pekerjaan ini, jika itu adalah detik terakhir hidupku. Itu saja.
Aku paham bahwa profesi yang kugeluti ini tak pernah dikagumi oleh umat manusia di muka bumi ini. Pekerjaan hina dan menjijikan. Demikian wanita malam itu, di mana-mana dianggap sebagai penyakit sosial. Wanita malam itu dibenci Tuhan dan sebuah malapetaka bagi keluarga dan masyarakat umum. Menggeluti profesi ini adalah sebuah kemalangan. Saya tahu itu dengan pasti. Tapi ini jalan terakhir saat hidup tidak berpihak beberapa tahun yang silam. Ini jalan satu-satunya bagiku untuk memperpanjang hidupku dan anakku.
Malam ini, aku baru selesai melayani satu pelangganku. Lima menit yang lalu di dalam kamar remang itu, kami tenggelam dalam gerola yang menggila. Memuaskan. Pria yang kulayani barusan memang cukup bergairah. Libidonya menggebu-gebu. Walau hanya sekali namun dia memberikan sepenuhnya. Maklum dia sudah sangat berpengalaman.
Awal ketika aku bertemu dengan dirinya di kamar berukuran kecil itu, aku berniat melayaninya sebanyak mungkin. Dengan tujuan menarik semua uang di dompetnya. Tapi sayangnya dia masih lebih cerdik dariku. “Barangkali dia masih punya langganan lain, ah sialan,” batinku.
Aku memang tidak pernah bisa meminta lebih dari apa yang dia berikan. Aku hanya menerima sesuai kesepakatan. Aku tidak boleh memaksa. Tapi tak apa-apa, semoga sebentar bisa lebih baik lagi. Mendapat rejeki setiap malam menjadi salah satu motivasi kenapa aku belum mau melepaskan pekerjaan ini. Pertimbangan itulah yang membulatkan niatku untuk tetap seperti ini. Menjadi wanita malam.
Malam ini, dingin begitu mengigit. Namun aku tak peduli. Di sini, siang dan malam memang sama saja. Selalu ramai dan banyak perempuan berkeliaran. Mereka juga seperti diriku. Kami tidak boleh sembarang berdiri. Semua punya lokasi masing-masing. Kami harus tetap tahu diri dengan yang lain. Tempatku ini akan boleh diduduki oleh perempuan lain, jika aku sudah mati. Tapi selama aku masih menggeluti profesi ini, tempat ini menjadi milikku.
Lima langkah di depanku berderet-deret juga perempuan lain. Ada yang masih muda dan ada yang sudah tua. Ada yang masih single dan ada banyak yang sudah menjanda seperti diriku. Cara berpakaian juga berberbeda-beda. Ada yang sangat norak, ada juga yang sedikit sopan. Ya, inilah kehidupan kupu-kupu malam. Inilah cara cepat untuk memperpanjang hari-hari kami di negara megah ini. Kami tidak peduli apa kata orang.
Aku mulai berdiri sambil menikmati sebatang rokok di tanganku. Barangkali dua tarikan akan segera habis. Sesekali aku mendekati kendaraan yang melintas di depanku dan menggoda pemiliknya dengan kata-kata manisku. Ada beberapa sopir yang berhenti dan berbasa-basi denganku. Namun tak satu pun dari mereka yang mau. Yang ada malah caci maki yang keluar dari mulut mereka.
โHei, dasar pelacur, tidak tahu malu.โ Mereka memang selalu begitu. Setiap malam pasti ada saja kata-kata kasar yang mereka keluarkan. Kalau tidak ke diriku, pasti ke teman-temanku. Kami tidak peduli. Namun aku kadang menjadi heran. Katanya mereka orang baik tapi mulutnya kasar bukan main. Padahal yang aku harapkan adalah teguran, nasihat dan perkataan-perkataan sopan, bahkan doa dari mereka. Tapi sudahlah. Semua tidak akan mengubah keadaan.
Dentuman musik terdengar keras dari diskotik dan beberapa cafe di sudut gang. Kendaraan masih lalu lalang di depanku. Ada beberapa temanku yang sudah bergandengan dengan pelangan masing-masing, lalu masuk ke dalam bangunan redup ini. Ada pula yang masih menanti dalam kekalutan. Aku duduk menyandar di tembok sambil mengutak-atik handphone di tanganku. Belum berapa lama tiba-tiba nomor baru menelponku.
Ah, ternyata satu pelanggan mengorderku. Aku belum tahu siapa dia. Katanya dalam beberapa menit lagi ia akan tiba di sini. Hatiku kembali berbunga. Aduh, syukur. Paling tidak, sedikit lagi dompetku terisi lagi. Aku yakin, dengan uang ini anakku bisa ikut ujian besok. Biaya sekolah dan perlengkapan anakku menjadi alasan kedua untuk melanjutkan pekerjaan ini. Selama ini berkali-kali anakku diusir gurunya, gara-gara belum lunas uang sekolah. Sebagai ibu, saya harus bertanggung jawab dengan masa depan anakku.
Walau keadaanku seperti ini, aku tetap berusaha agar anakku bernasib lebih baik suatu waktu nanti. Aku ingin dia tidak dibodohi oleh orang lain seperti yang kualami beberapa tahun lalu. Sambil menunggu pelangganku datang, pikiranku malah membawaku lagi pada sebuah peristiwa pedih beberapa tahun silam. Semua yang terjadi dengan diriku sebenarnya bermula dari sebuah kisah.
Dulu aku dipaksa putus sekolah karena orangtuaku tak mampu menyekolahkanku. Setelah berhenti sekolah, aku dipaksa banting tulang membantu mereka. Aku tahu umurku saat itu masih belia. Belum mampu mengemban tanggung jawab besar. Ya, aku tak punya pilihan lain, selain menuruti keinginan mereka. Fatalnya lagi, pada sebuah hari minggu, orangtuaku mempertemukanku dengan Santy secara tiba-tiba. Santy adalah anak kampung tetangga yang sedang berlibur. Dia seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang sedang mencari tenaga baru untuk berkerja di luar negeri.
โPutri, kau akan tetap terpuruk kalau kau tetap tinggal di sini. Lihat orang tuamu tak berdaya dengan keadaanmu,” demikian kata-kata Santy menyambar telingku.
“Putri, walau kau DO, kau punya modal yang luar biasa. Kamu cantik ko, Put. Perempuan cantik seperti dirimu ini tidak terlalu sulit untuk mendapat perkerjaan di sana nanti. Kau bayangkan, aku yang jelek begini saja masih bisa laku. Apalagi kamu ini. Ayo ikut, ya. Kita jalan ya!” Ajakan Santy begitu meyakinkan.
“Santy, tapi aku.”
“Ah, tidak usah khawatir. Kamu akan bahagia ko. Semua biaya akan saya tanggung. Aku jamin, Put. Percayalah denganku,” Santy memotong kekalutanku.
Ajakan Santy semakin diperkuat dengan kata ya dari kedua orang tuaku. Ya, orang tua mengizinkan aku untuk menjadi TKW. Mendengar kata sepakat dari orang tuaku, dan rayuan manis Santy, aku mengangguk tanda setuju, walau sedikit berat.
Subuh masih mengantuk, aku sudah bangun. Santy juga. Kami sudah bersiap walau tak sempat sarapan. Aku dan Santy meluncur meninggalkan kampung. Bagiku subuh itu sangat menyakitkan. Kata hatiku sangat bertentangan. Kutahan dalam diam. Langkahku berat dan pandanganku kabur. Aku ingin berontak dan katakan secara jujur pada Santy kalau aku sebenarnya tidak ingin berangkat dengannya, tapi aku tidak bisa mengatakan itu. Sebagai anak perempuan, aku harus menghargai keputusan orang tuaku. Aku hanya bisa menangis sepanjang jalan.
Airmata kepedihan menjadi temanku sepanjang hari. Tak satu pun anggota keluargaku tahu dengan keadaaan hatiku. Termasuk Santy. Bagi orang tuaku, dalam waktu dekat aku ini akan menjadi penyalur rejeki untuk mereka. Aku akan menjadi kekuatan bagi adik-adikku yang masih kecil. Dengan menjadi tenga kerja, mereka akan menjadi kaya raya. Selalu begitu harapan orangtuaku.
Aku dan Santy tiba dengan selamat di tempat tujuan.
Aku dipertemukan dengan bosnya sesaat setelah kami tiba. Semua terasa baru dan asing bagiku. Walau begitu, hari-hariku dilewati dengan aman. Aku dan Santy tinggal berdua pada beberapa bulan pertama. Anehnya, setiap malam Santy selalu tidak di rumah. Dia baru bisa pulang saat pagi dan akan tidur sepanjang hari. Aku yang awalnya hanya diam, perlahan-lahan mulai penasaran dengan pekerjaannya. Ketika aku mulai bertanya, dia selalu bilang bahwa jam kerjanya memang malam hari. Mendengar jawabannya aku tidak bertanya lagi. Aku biarkan itu sebagai misteri. Apalagi aku orang baru.
Setelah hampir satu tahun, aku dan Santy akhirnya berpisah. Ia membawaku ke seorang majikan yang baru. Katanya itu adalah majikan yang sudah pernah ia tinggal sebelumnya. Awalnya semua berjalan seperti yang dikatakan oleh Santy. Aku bahkan rutin mengirim beberapa lembar rupiah untuk orang tuaku di kampung. Kami selalu lancar berkomunikasi. Paling tidak dua kali dalam sebulan. Tak ada kendala yang pelik.
Situasi berubah setelah beberapa bulan kemudian. Majikanku ini memiliki banyak anak dan satu di antaranya adalah Carlo, pria kurus dan tinggi. Dari semua anak-anak majikan, Carlo memang memiliki keunikan tersendiri. Walau aku hanya seorang pembantu rumah, ia selalu ramah dan memperlakukanku sebaik mungkin. Dia punya perhatian dan memiliki senyum yang luar biasa. Bagiku dia disukai oleh semua orang. Khusunya kaum wanita. Termasuk diriku.
Jujur aku sangat mengidolakannya. Dia pria idamanku. Intensitas pertemuan yang terus meningkat, tidak bisa menahan gejolak rasa yang mulai bersemi dalam diriku. Aku selalu punya alasan untu menarik perhatiannya. Ada saja kesempatan untuk bisa melihatnya dan melayaninya. Begitupun dirinya. Aku pernah mencoba membenci dia. Tapi tidak ada alasan untuk membencinya. Setiap kali aku berpikir untuk itu, aku malah semakin mencintainya. Cintaku sungguh membuat aku gila. Hanya dalam beberapa bulan saja kami dua menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai. Aku merasa seperti di atas awan. Tak kubayangkan seorang pemuda, anak majikan yang kaya raya seketika takluk di hatiku. “Ah Tuhan, luar biasa kuasa-Mu.”
Seiring berjalannya waktu, aku mulai mendeteksi siapa dia sesungguhnya. Banyak perbedaan di antara kami. Perbededaan itu begitu tajam. Sesungguhnya memang aku tak pantas mencintainya. Saya hanya seorang babu di rumahnya. Tidak lain dari itu. Selama menjalin relasi dengan dirinya, perhatianku pada orang tua mulai berkurang. Bahkan tidak ada sama sekali. Semua hasil yang kukerjakan, kuberikan sepenuhnya untuk Carlo. Uang hasil keringatku, kuhabiskan untuk membeli hadiah baginya. Pokoknya aku memperhatikan dia sepenuhnya.
Atas nama cinta, akhirnya makhota kemuliaanku, kurelakan juga. Cinta memang buta. Dia tidak akan mempertimbangkan logika dan akal sehat. Aku menjadi bodoh dengan diri sendiri. Carlo sudah mendapatkan semuanya dariku. Cinta, perhatian, gaji dan keperawananku. Ketika semuanya sudah ia dapat, aku ia tinggalkan. Seenaknya. Aku, ia tinggalkan dengan hatiku yang cuma sepotong namun sudah hancur dan berdarah. Saat itu aku sadar bahwa aku tidak perawan lagi.
Mencintainya adalah awal malapetaka yang kemudian menghancurkan martabatku sebagai perempuan.
Tangisku pecah sejadi-jadinya. Hati siapa yang tak hancur bila cinta dikianati setega itu. Sungguh menyakitkan, dia yang telah meraih semua dariku, harus membuang aku dalam ketelanjangan. Aku tak tahu kapan rasa sakit ini akan sembuh dan bagaimana cara aku bisa menyembuhkanya.
“Dasar pria bangsat. Tak punya urat malu,” aku hanya bisa memaki sendiri.
Semua sudah telat. Aku selalu berjuang untuk berlaku normal dari hari ke hari. Namun, kepingan hatiku tak ada lagi. Aku tak pernah bisa lagi menikahi laki-laki lain dengan kondisi seperti ini. Tak ada lagi pria yang mau mengawini wanita seperti diriku. Makian dan cacian selalu menjadi makanan empuk dalam hari-hariku.
Aku tahu bahwa anak yang ada dalam rahimku adalah buah hubungan antara Carlo dengan diriku. Namun, itu hanya cinta abal-abalan. Untuk menutupi rasa malunya, dia dengan kasar mengusir aku dari rumahnya, walau aku sedang berbadan dua. Di suatu malam, saat semua penghuni rumah sudah nyenyak, tanpa banyak basa-basi dengan satpan rumahnya, aku dibawa dan diturunkan tepat di depan sebuah diskotik. Sebuah tempat yang tak pernah dilihat dan masuk dalam banyanganku.
“Oh Tuhan, apakah ini jalan-Mu. Bukan,” batinku dalam diam.
Saat aku sedang gamang, tiba-tiba Santy keluar menjemputku. Dengan nada berat, Santy lantas berbisik padaku, โPut, Carlo, selamat datang! Carlo sesungguhnya adalah alasan mengapa aku harus menjadi mucikari di pub ini.”
Malam itu, air mataku seakan berdarah. Hatiku berkecamuk, namun semua dalam sunyi. Aku baru mengerti siapa Santy sesungguhnya. Dia yang dulu pernah menjanjikan surga, ternyata sedang menyiapkan neraka di mulutnya. Di diskotik anakku lahir dan dibesarkan. Pulang ke kampung sudah bukan pilihan yang tepat. Apalagi diriku yang sudah memiliki anak tanpa seorang ayah. Itu akan menjadi skandal dalam keluarga. Aku tidak pernah bisa membawa keadaanku ke hadapan orang tua seperti ini. Di sini aku dan Santy berjuang bersama memperpanjang hidup kami. Dia adalah bosku dan aku anak buahnya.
Dengan tubuhku, aku menghasilkan rezeki setiap malam. Aku yang dulu dijanjikan menjadi tenaga kerja wanita berakhir menjadi kupu-kupu malam. Ah, kalian kawan dan sahabatku, hati-hati dan jangan pernah tergiur dengan rayuan manis atau apapun bentuknya.
“Putri!” Seorang pria tiba-tiba berdiri di depanku. “Kamu, Putri ya?” Suaranya membuyarkan lamunanku.
“Ya, Bang. Namaku Putri. Bang, ayo kita ke dalam ya.” Kali ini aku mengenggam tangannya dan masuk ke dalam kamar yang telah kusiapkan. Dia adalah pelangang kedua yang kutunggu sejak tadi.
*) Penulis berasal dari Minsi, Riung Barat, Bajawa, Flores. Saat ini tinggal di Rogationist Merville Panaque Manila-Filipina.