Ali Bao

Spread the love
Lukisan Gajah Mada karya Henk Ngantung (Sumber: archive.ivaa-online.org)

Oleh: Ricko Blues*

Ada sebuah makam tua yang berada persis di tepi jalan Trans Lebatukan, tepatnya di ujung Desa Tapolangu. Makam itu tampak terawat sempurna. Tidak seperti kuburan tua lainnya.

Dari arah kota Lewoleba, letaknya ada di sebelah kanan jalan, sekitar satu kilometer sebelum masuk Kampung Lewolein. Makam itu beratap seng dan berpagar besi. Selembar bendera merah putih yang sudah kusam terikat pada tiang yang terpacak di salah satu sisinya. Sebuah papan terpampang bertuliskan, โ€˜Makam Pahlawan Pahang Pangerang Jogjakarta. Penjaga: Ali Bao.โ€™

Pada suatu hari di bulan Juli tahun 2020, dua orang jurnalis lokal bernama Dominikus dan Sandro kebetulan melintas di jalan itu dengan sepeda motor tua dan tiba-tiba penasaran.

โ€œIni makam siapa,โ€ Sandro yang baru setahun bertugas di Lembata bertanya pada Dominikus dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

Dominikus melambatkan laju sepeda motor dan berhenti di depan makam. Setelah mengambil gambar dengan kamera ponsel, Dominikus lalu mengajak rekannya itu menuju ke rumah Ali Bao.

โ€œRumahnya di sana, yang ada tiang bendera, di depan masjid,โ€ kata Dominikus sembari melemparkan pandangan ke arah barat. Keduanya sampai di halaman yang luas dan tanpa ragu mengayunkan langkah ke arah teras sambil menyapa siapa saja yang mungkin ada di dalam rumah.

Sesosok lelaki tua dan rapuh keluar dari dalam rumah dan menyambut kedua anak muda itu dengan ramah. Dari cara dia menerima tamu, keduanya segera sadar kalau orangtua inilah Ali Bao yang memang sering menerima kunjungan orang-orang asing yang penasaran dengan makam itu.

Keduanya dipersilakan masuk ke dalam ruang tamu yang minim cahaya. Ruangan itu berukuran lima kali empat meter dengan empat kursi plastik dan satu meja kayu yang sudah tertata rapi. Beberapa foto hitam putih di dalam bingkai plastik menempel di dinding yang terbuat dari lembaran tripleks.

โ€œSilakan duduk,โ€ ujar Ali Bao yang menonjolkan giginya yang ompong kalau dia tersenyum.

Keduanya agak canggung, mungkin karena aura ruangan yang gelap dan sepi, tetapi tetap menunjukkan rasa ingin tahu khas pewarta yang masih muda dan penuh gairah untuk menulis. Dominikus yang lebih senior dari Sandro memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan mereka.

Ali Bao tampak bersemangat dan antusias. Dari dalam kamarnya, pria berusia 78 tahun itu mengeluarkan beberapa lembar kertas fotokopian yang menulis kisah yang dia ceritakan. Ada juga selembar naskah kusam yang ditulis pada tahun 1959 oleh seorang penjaga masjid bernama Imam Hasan. Naskah dengan tulisan yang sudah memudar itu juga bercerita tentang asal muasal makam yang kini dijaga oleh Ali Bao itu.

โ€œKami ingin tahu soal makam yang ada di pinggir jalan sana,โ€ kata Sandro. Dua jurnalis itu langsung mengaktifkan alat perekamnya di ponsel Android, dan mulai serius mendengar cerita si bapak.

Konon, sekitar abad ke-16 hiduplah seorang bernama Sultan Syaid Ahmad Aljufri yang berasal dari Sumatera dan kemudian menetap di Kampung Menanga, Pulau Solor. Syaid Ahmad inilah yang diyakininya sebagai Gajah Mada. Menurut Ali Bao, Gajah Mada selalu berganti nama setiap kali berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Kala itu tentara kompeni Belanda mulai menguasai Solor dengan menaklukan tentara Portugis. Tentara Belanda kemudian hendak membunuh Sultan Syaid yang diyakini sebagai Gajah Mada itu. Sultan bersama para hulubalangnya pun melarikan diri dengan kapal kayu dan singgah di Kampung Lamalera, Pulau Lomblen atau yang sekarang dikenal dengan nama Lembata. Di kampung nelayan pemburu ikan paus ini, Sultan meninggalkan sebuah keris yang kini disimpan oleh Suku Bataona.

Dia dan rombongan kemudian berlayar menuju ke Kampung Lebala dan meninggalkan sebuah tongkat yang menurut Ali Bao kini disimpan oleh Suku Manyeli. Kemudian dari Lebala, Sultan Syaid dan rombongan berlayar menuju ke Pantai Bobu dan di tempat ini kapal tersebut karam dan membatu. Mereka pun berpindah ke sebuah tempat di pegunungan yang bernama Tana Ete.

Di Tana Ete, Sultan Syaid dan hulubalangnya membentuk lima kampung yakni Lewo Mihitong, Lewoheleng, Molo Ale, Luge dan Lebala (bukan kampung Lebala yang sempat disinggahi). Kata Ali Bao, kelima kampung ini sekarang sudah tidak ada.

Ali Bao tidak berhenti berbicara sementara dua orang jurnalis itu menyimak serius; Belanda mulai memainkan politik memecah belah (devide et impera) atau yang biasa disebut Paji dan Demong itu. Saudari dari Sultan Syaid pun menikah dengan seorang laki-laki dari kampung Lamatuka yang berasal dari Suku Labaruing. Kompeni Belanda lalu mengadu domba Suku Labaruing dengan lima kampung yang ada di wilayah Tana Ete. Suku Labaruing diceritakan meminta pertolongan Suku Matarau dari wilayah Ile Ape untuk berperang melawan lima kampung yang ada di Tana Ete. Suku Matarau sampai hari ini masih bisa ditemui mendiami wilayah Lebatukan tepatnya di Waienga.

Dalam pandangan Ali Bao, tentara Belanda memanfaatkan situasi peperangan antara Suku Labaruing dan lima kampung ini untuk membunuh Sultan Syaid. Namun, pelbagai upaya pembunuhan tidak juga membuat sang Sultan binasa. Kendati demikian, Ali Bao percaya kalau Sultan Syaid mangkat secara misterius.

Usai bercerita banyak tentang Sultan Syaid, Ali Bao mengajak Dominikus dan Sandro masuk ke dalam kamar tidurnya. Dia hendak menunjukkan sesuatu. Kamar itu lebih sempit dari ruang tamu. Ruangannya pengap dan cahaya hanya masuk melewati lubang ventilasi di atas daun jendela yang masih tertutup. Ada sebuah ranjang kayu yang ditutup kain kelambu untuk menghalau nyamuk, lemari pakaian dua pintu dari kayu jati dan meja panjang tempat dia meletakkan barang-barang keramatnya.

Ali Bao kemudian mengajak keduanya memperhatikan dengan saksama tulang-belulang yang dia yakini sebagai fosil Gajah Mada. Fosil itu serupa batu karang berwarna putih dengan ukuran seluas dua telapak tangan orang dewasa.

โ€œKalau dilihat sepintas seperti batu karang,โ€ ujar Sandro spontan karena dia masih sangsi kalau itu sisa-sisa tulang manusia. Fosil itu dia temukan di pantai muara Desa Tapolangu setelah mendiang istrinya, Haniah Lawongko bermimpi kalau tulang-belulang Gajah Mada ada di muara itu. Istrinya berasal dari Buton, meninggal dunia pada tahun 2015 dan juga dikuburkan di depan rumahnya.

Dia meletakkan kembali fosil itu di meja dan mengeluarkan dari dalam laci lembaran-lembaran kertas koran dan majalah yang sebagiannya sudah berdebu. Ali Bao kemudian memperlihatkan sebuah majalah dan tulisan tentangnya di dalam majalah itu.

Sandro dan Dominikus yang masih diselimuti kabut keragu-raguan bercampur penasaran membaca artikel di dalamnya;

Menurut kisah Ali Bao, sekitar abad XVI, muncullah orang asing di Pantai Tapolangu. Orang itu dalam keadaan sekarat. Pada saat itu, ada orang Atakowa (dari pedalaman Lembata) turun ke pantai. Orang asing itu meminta orang Atakowa menguburkan dirinya jika ajalnya tiba. Tentu saja orang Atakowa tidak mau. Akan tetapi atas petunjuk orang asing ini, orang Atakowa menguburkannya.

Michael Beding, jurnalis senior majalah Dian, menulis misteri makam yang dijaga Ali Bao ini lalu diterbitkan di majalah Dian edisi 16 Januari 1998 halaman 16. Beding, yang mewawancarai langsung Ali Bao, memberi judul pada artikelnya itu; “Tengkorak Gajah Mada Versi Tapolangu”.

Makam orang asing itu kini dikeramatkan dan berada di tepi jalan Trans Lebatukan. Orang asing ini menurut cerita turun-temurun adalah tokoh pahlawan Yogyakarta. Makam keramat ini dijaga oleh Imam Syahidin Hasan Pura yang kemudian diwariskan kepada Ali Bao.

Mandat untuk menjaga makam itu juga sebenarnya diwariskan dari ayahnya, Abubakar Bao. Ayahnya ini berasal dari Lamakera, Solor dan ibunya bernama Tuto Boli dari Leuwayan, wilayah Kedang di sebelah timur Lembata.

Ali Bao pernah mengalami kebangkrutan usaha dan mulai bangkit lagi dari kebangkrutan pada tahun 1990-an. Pada tahun 1992, Ali Bao menemukan tengkorak Gajah Mada.

โ€œKarena dia datang dalam mimpi, penglihatan pada malam hari. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Gajah Mada,โ€ tegas Ali Bao. Melalui mimpi pula Patih Gajah Mada menerangkan kalau kerisnya ada di Lamalera.

Seorang turis asal Amerika Serikat pernah datang langsung ke Tapolangu untuk bertemu Ali Bao pada 2 November 1997. Patty Scery, nama turis mancanegara itu, datang bersama kawan-kawannya. Patty sempat berniat membeli fosil Gajah Mada itu, sebab sudah sekitar 8 tahun dia mencari tengkorak Gajah Mada. Akan tetapi, Ali Bao enggan menjualnya. Patty berjanji akan datang lagi ke Tapolangu. Dia sempat mencatat alamat rumahnya di Amerika Serikat untuk disimpan oleh Ali Bao.

Ali Bao tersenyum puas setelah menceritakan kisah itu. Dia seperti sadar ingatannya masih segar di usianya yang tidak muda lagi. Dia lalu mengajak kedua jurnalis itu melangkah keluar dari dalam rumah, โ€œMari kita cari udara segar di luar.โ€

Hari sudah sore. Angin segar dari lautan membawa kesejukan. Ali Bao menunjukkan makam istrinya. Mereka terdiam beberapa saat untuk memberi penghormatan. Suasananya tiba-tiba menjadi sendu. Sandro dan Dominikus hanyut dalam pikiran masing-masing.

โ€œKalau begitu kami pamit pulang dulu,โ€ ujar Dominikus memecah keheningan. Ali Bao tersenyum dan menjabat tangan keduanya. โ€œTerima kasih sudah berkunjung.โ€

Keduanya berjalan ke arah sepeda motor yang diparkir di dekat pintu gerbang. Sandro menyampaikan kepada Dominikus sejumlah keraguannya dengan cerita-cerita Ali Bao, โ€œKita tidak bisa menulis kalau ceritanya dari mimpi saja.โ€

Dominikus pun berpikir demikian. Namun dia butuh asap tembakau untuk bisa tetap berpikir lurus. Lantas dia meminta Sandro menunggu di dekat sepeda motor dan pergi membeli sebungkus rokok kretek di kios kecil yang ada di depan masjid.

Sandro sempat memalingkan muka dan masih mendapati Ali Bao bergeming di teras rumah sebelum dia merasa semilir angin dingin dengan cepat menerpa tubuhnya dan dunia di sekelilingnya berubah menjadi gelap.

Seorang kakek berjubah putih, wajahnya halus tetapi kulitnya keriput, tubuhnya kurus, kira-kira seumuran Ali Bao juga, tiba-tiba mendekat dan berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak dipahaminya. Bicaranya cepat dan dia tidak pernah mendengar bahasa itu diucapkan di seantero pulau Lembata. Ingin dia memanggil nama Dominikus tetapi mulutnya terkunci rapat-rapat. Dia berdiri berhadap-hadapan dengan si kakek yang mulutnya terus komat kamit tidak karuan. Otaknya berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Badannya terasa kaku. Tubuhnya dingin. Dia merasa seperti seonggok patung lilin yang kokoh berdiri di atas dudukan semen.

Sekonyong-konyong angin besar seperti puting beliung datang menyambar. Tubuh kakek itu, mulai dari telapak kaki sampai ujung rambut, perlahan-lahan berubah menjadi butir-butir debu dan segera hanyut ke udara. Angin puting beliung pun langsung reda saat penampakan kakek itu betul-betul lenyap. Kesadarannya kembali normal saat dia mencium bau asap tembakau rokok kretek. Tubuhnya kembali hangat dan tulang sendinya bergerak seperti biasanya lagi.

Dalam satu kedipan mata, dunia yang ada di sekelilingnya kembali seperti sedia kala. Dia ada di halaman rumah Ali Bao, berdiri di samping sepeda motor, dan Dominikus sedang mengepulkan asap rokok sambil mengusap-usap layar ponselnya. Wajahnya masih pucat pasi tapi Dominikus tidak begitu memperhatikannya.

โ€œAyok, kita pulang!โ€ sambar Dominikus sambil menyalakan mesin kuda besinya.

Ali Bao masih berdiri di depan teras rumah. Dia seperti tahu apa yang baru saja terjadi pada anak muda itu. Sandro memandang Ali Bao ketika sepeda motor mulai beranjak keluar dari halaman rumah. Tampak dari kejauhan Ali Bao seperti mengucapkan sesuatu dan Sandro bisa mendengar suaranya lirih mengucapkan nama yang tidak asing, โ€œSultan Syaid Ahmad Aljufri.โ€

Lewoleba, Maret 2024

*) Ricko Blues, penulis dan jurnalis yang lahir di Kota Kupang, NTT. Buku kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Hendelinus (2023). Gemar menulis fiksi dan esai. Bisa dihubungi di akun Instagram @rickoblues

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *