
Oleh: Andreas Maurenis Putra*
Pemikiran filosofis memainkan peranan penting dalam dinamika sosial. Tak terkecuali dalam kehidupan politik, keduanya selalu erat terkait. Keterkaitan keduanya telah tercermin di dalam sejarah bahwa para filsuf selalu berusaha untuk memahami dan mengkritik berbagai hal terutama berkenaan dengan sifat kekuasaan, otoritas, dan pemerintahan dalam masyarakat.
Tulisan ini akan mencoba mengeksplorasi hubungan antara pemikiran filosofis dengan kehidupan politik dengan memeriksa bagaimana ide-ide filosofis telah membentuk sistem politik, bagaimana realitas politik telah mempengaruhi pemikiran filosofis, dan refleksi upaya mengembangkan pemikiran filosofis melalui pembelajaran filsafat bagi generasi penerus Indonesia.
Gagasan Filosofis dan Realitas Politik
Pemikiran filosofis telah memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan politik sepanjang sejarah. Dari zaman Yunani Kuno, Abad Pencerahan hingga hari ini, para filsuf telah berperan penting dalam mengembangkan teori-teori pemerintahan, keadilan, dan hakikat negara. Sebagai contoh, karya filsuf Yunani Kuno, The Republic dari Plato, mengeksplorasi bentuk pemerintahan yang ideal dan peran filsuf-raja. Sementara para pemikir Pencerahan seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau meletakkan dasar bagi ide-ide modern tentang demokrasi dan hak-hak individu.
Bagaimana pun kehidupan politik, pada gilirannya, telah menjadi lahan subur untuk penyelidikan filosofis. Tindakan para pemimpin politik, cara kerja lembaga-lembaga politik, dan dampak keputusan politik terhadap masyarakat telah menjadi bahan kajian filosofis. Sebagai contoh, kebangkitan rezim totaliter pada abad ke-20 mendorong filsuf seperti Hannah Arendt, melalui The Origins of Totalitarianism (1951), untuk mengeksplorasi sifat kekuasaan dan otoritas, sementara peristiwa politik kontemporer terus memunculkan pertanyaan tentang keadilan, kesetaraan, dan batas-batas intervensi pemerintah.
Persinggungan antara pemikiran filosofis dan kehidupan politik dapat dilihat dalam perdebatan mengenai isu-isu seperti peran pemerintah dalam mengatur ekonomi, perlindungan kebebasan individu, dan etika perang dan konflik. Para filsuf terus memberikan wawasan yang berharga mengenai pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan rumit lainnya, menawarkan perspektif baru dan menantang kebijaksanaan konvensional.
Ide-ide filosofis memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan sistem politik di seluruh dunia. Sebagai contoh, cita-cita Pencerahan tentang kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan mengilhami revolusi di Amerika dan Prancis yang berujung pada pendirian pemerintahan demokratis yang didasarkan pada supremasi hukum dan perlindungan hak-hak individu. Teori kontrak sosial dari Thomas Hobbes melalui Leviathan (1651), John Locke melalui Two Treatises of Government (1689), dan Jean-Jacques Rousseau melalui The Social Contract (1762) juga meletakkan dasar bagi konsepsi modern tentang pemerintahan sebagai kontrak sosial antara warga negara dan negara.
Sementara belakangan ini, filosofi utilitarianisme telah membentuk perdebatan politik mengenai isu-isu seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Utilitarianisme, yang berusaha memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan penderitaan, telah digunakan untuk membenarkan kebijakan yang bertujuan untuk mempromosikan kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar. Namun, tentunya perlu diselidiki secara mendalam bahwa utilitarianisme dapat menyebabkan pengabaian hak-hak dan kebebasan individu dalam mengejar kebahagiaan kolektif.
Di sisi sebaliknya, realitas politik juga mempengaruhi pemikiran filosofis, ketika para filsuf bergulat dengan kompleksitas kekuasaan, ideologi, dan pemerintahan dalam praktiknya. Sebagai contoh, kebangkitan fasisme di Eropa pada abad ke-20 mendorong para filsuf seperti Michel Foucault, melalui Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1975), dan Theodor Adorno bersama Max Horkheimer, melalui Dialectic of Enlightenment (1944), berusaha mengeksplorasi cara-cara ketika kekuasaan beroperasi dalam masyarakat modern dan peran ideologi dalam membentuk wacana politik.
Demikian pula, peristiwa politik kontemporer, seperti kebangkitan otoritarianisme dan populisme di berbagai belahan dunia, telah memicu minat baru terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang demokrasi, representasi, dan legitimasi politik. Para filsuf, salah satunya, Slavoj Žižek melalui In Defense of Lost Causes (2008) telah berusaha untuk memahami penyebab ketidakpuasan politik dan mengajukan visi alternatif tentang perubahan sosial dan politik.
Refleksi Bagi Indonesia
Pergulatan para filsuf, meskipun dalam beragam pemikiran, dalam membaca dan mempersoalkan dinamika sosial khususnya kehidupan politik telah menghasilkan berbagai sudut pandang yang amat kaya untuk membantu setiap orang memahami secara kritis dinamika politik suatu bangsa. Usaha-usaha tanpa kenal lelah seperti ini mestinya menjadi inspirasi dan refleksi khususnya bagi masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, upaya untuk melahirkan warga negara yang memiliki kapasitas berpikir filosofis (kritis dan mendalam) sehingga dengannya dapat membantu setiap individu memahami berbagai persoalan bernegara. Secara khusus perihal menelaah kebijakan-kebijakan pemerintah di dalam konteks kesejahteraan bersama (common good) dengan tanpa melangkahi hak-hak individu. Dengan kata lain, kesejahteraan bersama perlu berakar dari kesejahteraan setiap individu, dari wong cilik, konglomerat hingga pejabat negara, ketika hak-hak fundamental kehidupan sebagai warga negara dipenuhi secara maksimal.
Kesejahteraan kolektif adalah urgensi, namun jauh lebih bermakna dan manusiawi jika kesejahteraan itu berakar dari kesejahteraan secara individu. Dengan kata lain, tidak ada upaya generalisasi kebahagiaan atau kesejahteraan kolektif berdasarkan kemampuan segilintir orang, sementara sebagian besar kelompok lainnya masih mengais hak-hak dasar kehidupannya sebagai manusia dan sebagai warga negara. Kesejahteraan segelintir tidak bisa dijadikan ukuran kesejahteraan suatu bangsa (masyarakat) secara umum.
Cara-cara berpikir secara radikal (menelaah hingga ke akar persoalan) inilah merupakan inti terdalam dari pemikiran filosofis atau berpikir secara filosofis. Di sinilah studi filsafat mengambil bagian yang sangat krusial dalam perkembangan pemikiran dan analisis filosofis setiap individu khususnya bangsa ini. Namun pertanyaan selanjutnya adalah seberapa penting dan bagaimana caranya menghidupkan iklim berpikir secara kritis dan mendalam (filosofis) dalam masyarakat bangsa ini? Ini menjadi persoalan serius yang dihadapi bersama.
Kemampuan berpikir kritis dan mendalam (filosofis) merupakan faktor krusial dalam perjalanan politik suatu negara. Suara-suara kritis dan mendalam sebetulnya adalah alat kontrol kekuasaan terutama dalam negara demokratis laiknya Indonesia. Arah sebuah pemerintahan erat terkait dengan kultur berpikir masyarakat dalam konteks pemerintahan tersebut. Meskipun bahwa cara demikian tidak akan melahirkan suatu masyarakat dan pemerintahan yang sempurna tanpa cela, namun setidaknya tetap menjaga kualitas kehidupan politik yang memiliki wibawa dan martabat, tidak dibawa kepada kelaliman lalu berujung kehancuran.
Dalam konteks Indonesia, hal ini bermakna bahwa marwah demokrasi akan tetap mengakar sebagai jiwa dalam berbangsa dan bernegara, dan bukan sistem yang lainnya. Lantas bagaimana menghidupkan kultur berpikir filosofis dalam masyarakat Indonesia terutama bagi generasi penerus? Di sini pendidikan terutama pendidikan di tingkat menengah dapat memulai dan berperan aktif menumbuhkan kultur studi filsafat tersebut.
Pertama, pembelajaran filsafat memberikan pemahaman yang lebih luas tentang dunia dan tempat individu terkait berada. Dengan mempelajari karya-karya pemikir besar dari berbagai budaya dan periode waktu, generasi penerus (para siswa) dapat memperoleh wawasan tentang beragam cara orang bergulat dengan pertanyaan mendasar tentang keberadaan, pengetahuan, dan realitas sosial, budaya dan politik. Hal ini dapat membantu generasi penerus mengembangkan pandangan dunia yang lebih bermartabat, yang selaras dengan kompleksitas dan nuansa pengalaman manusia.
Kedua, filsafat mengajarkan keterampilan berpikir kritis yang sangat penting untuk menavigasi kompleksitas dunia modern. Dengan terlibat dengan teks dan gagasan filosofis, generasi penerus belajar bagaimana menganalisis argumen, mengevaluasi bukti, dan membentuk opini yang beralasan. Kemampuan untuk berpikir kritis dan mendalam ini sangat penting termasuk di dalam masyarakat yang jenuh informasi hari ini, ketika berita palsu dan informasi yang salah berlimpah. Dengan mempelajari filsafat, generasi penerus dapat mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk membedakan kebenaran dari kepalsuan, dan untuk membuat keputusan yang tepat berdasarkan penalaran yang baik.
Terakhir, filsafat dapat membantu generasi masa depan bangsa ini mengembangkan penalaran etis dan penilaian moral. Etika, sebuah cabang filsafat, mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang benar dan salah, baik dan buruk, dan sifat dari nilai-nilai moral. Dengan terlibat dalam dilema etika dan teori moral, generasi penerus dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai dan keyakinan pribadi, serta orang lain. Hal ini dapat membantu menumbuhkan empati, kasih sayang, dan rasa tanggung jawab sosial, yang semuanya penting untuk menumbuhkan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Akan tetapi tantangan lebih jauh untuk Indonesia adalah studi filsafat sering kali terpinggirkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, terutama di tingkat menengah. Fokusnya biasanya pada mata pelajaran yang lebih bersifat kejuruan atau praktis, seperti matematika, sains, dan bahasa, yang dipandang relevan secara langsung dengan kebutuhan pasar kerja. Meskipun tentu saja ada nilai dalam mengajarkan mata pelajaran ini, sama pentingnya untuk mengakui nilai intrinsik filsafat sebagai disiplin ilmu yang mengembangkan pemikiran kritis, penalaran etis, dan pemahaman yang lebih luas tentang dunia.
Maka, untuk mengatasi kesenjangan ini, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus mempertimbangkan untuk mengintegrasikan filsafat ke dalam kurikulum sekolah menengah. Hal ini dapat dilakukan melalui mata pelajaran khusus tentang filsafat, atau dengan memasukkan konten filosofis ke dalam mata pelajaran yang sudah ada seperti sastra, ilmu sosial, atau kewarganegaraan. Dengan mengekspos generasi penerus pada ide-ide dan metode filosofis pada usia dini, Indonesia dapat membantu menumbuhkan generasi baru pemikir kritis yang diperlengkapi untuk menavigasi kompleksitas berindonesia, terutama pergulatan mereka dalam masyarakat demokratis dengan dinamika politik yang beragam.
Kultur filsafat yang diakarkan dan dikembangkan dalam diri generasi muda dapat membantu mengontrol perjalanan bangsa ini. Menjadi generasi muda yang memiliki pemikiran kritis dan mendalam signifikan terhadap kondisi ruang publik hari-hari ini. Secara khusus persoalan-persoalan politis yang kerap kali menempatkan rakyat sebagai pion-pion yang bisa dimainkan oleh para politisi demi kepentingan politik mereka. Maka suara-suara kritis itu harus tetap bergema terutama dari dalam diri generasi bangsa sekaligus sebagai generasi teknologis hari ini. Sehingga kelimpahan informasi melalui berbagai media sosial tidak serta merta membungkam akal sehat, argumentasi mereka, dan disposisinya digiring sesuka hati tanpa “perlawanan”. Dengan kata lain, dengan studi filsafat mereka memiliki kecakapan dan keterampilan untuk menelaah berbagai kompleksitas yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa.
Barangkali terlalu jauh mendorong mereka untuk menjadi seperti Socrates, Hobbes, Locke, Adorno, Arendt, Rousseau, Focoult, atau Žižek. Namun pemikiran-pemikiran besar para filsuf ini dapat menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk melahirkan pemikiran-pemikiran bernas seturut dinamika sosial dan politik bangsa yang dihadapi. Mereka dapat menjadi lebih kritis terhadap berbagai kebijakan publik di dalam negara ini. Generasi penerus dapat mempertanyakan hal-hal mendasar dalam bernegara seperti keadilan, kesetaraan, dan batas-batas intervensi pemerintah. Mereka dapat memeriksa penerapan ide-ide demokrasi dan hak-hak individu di ruang publik. Memperkarakan peran ideologi dalam membentuk wacana politik. Membaca kebijakan dalam kerangka humanitas atau memilih pemimpin yang humanum, tanpa terjegal skandal politik baik di masa lalu maupun masa kini. Dan barangkali mereka dapat mengajukan visi alternatif tentang perubahan sosial dan politik. Hal-hal seperti ini hanya dimungkinkan melalui kultur pemikiran filosofis, dan melalui pembelajaran filsafat.
Kesimpulan
Akhirnya pemikiran filosofis dan kehidupan politik sangat saling berhubungan, dengan masing-masing membentuk dan memengaruhi satu sama lain dalam berbagai cara. Para filsuf telah lama berusaha untuk memahami sifat kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat, sementara para pemimpin dan peristiwa politik telah menyediakan lahan subur untuk penyelidikan filosofis. Hubungan antara pemikiran filosofis dan kehidupan politik tetap relevan dan kompleks seperti sebelumnya, karena keduanya terus bergulat dengan tantangan tata kelola pemerintahan, etika, dan keadilan di dunia yang terus berubah.
Relevansi dan keterkaitan antara pemikiran filsafat dan dunia politik sekiranya perlu menempatkan studi filsafat sebagai pembelajaran yang amat krusial untuk pendidikan menengah di Indonesia. Karena filsafat membekali generasi bangsa (para siswa) dengan kemampuan berpikir kritis, penalaran etis, dan pemahaman yang lebih luas tentang dunia, khususnya kompleksitas ruang publik bangsa ini. Dengan mengintegrasikan filsafat ke dalam kurikulum, Indonesia dapat membantu menumbuhkan warga negara yang lebih bijaksana dan terlibat, yang siap untuk menghadapi tantangan di masa depan. Sudah saatnya Indonesia menyadari pentingnya filsafat dalam pendidikan menengah, dan memberikan perhatian dan sumber daya yang layak. Kultur berpikir secara filosofis yang mengakar dalam masyarakat adalah salah satu jaminan kehidupan sosial dan politik yang sehat di dalam negara demokrasi ini.
*) Penulis lepas, asal Maumere, Flores-NTT. Saat ini tinggal dan berkarya di Bandung.