Politik dan Isu Mahar Kawin

Spread the love
Petrus Kanisius Siga Tage (Doc. IWC)

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage*

Fenomena serangan terhadap perempuan yang kehilangan suaminya akibat bunuh diri, yang diduga terkait dengan isu mahar kawin, dapat dianalisis melalui perspektif teori politik, dengan fokus pada konsep-konsep seperti patriarki, politik identitas, dan ketidaksetaraan struktural.

Analisis ini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana struktur politik yang dominan, khususnya sistem patriarkal, berperan dalam menciptakan ketidaksetaraan gender yang berdampak pada perlakuan sosial terhadap perempuan.

Patriarki sebagai sistem sosial dan politik yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan, baik dalam ranah keluarga, ekonomi, maupun negara, menjadi kunci untuk menganalisis fenomena ini. Dalam kerangka teori politik, hegemoniโ€”seperti yang dikemukakan oleh Antonio Gramsciโ€”menyediakan perspektif yang relevan untuk memahami dominasi patriarkal yang tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga kultural.

Hegemoni patriarki berfungsi untuk mempertahankan ideologi yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat melalui norma-norma sosial yang mengatur peran gender, baik dalam kehidupan pribadi maupun publik.

Dalam konteks tragedi bunuh diri yang melibatkan perempuan tersebut, politik patriarkal berperan dalam membentuk nilai-nilai sosial yang mengatur ekspektasi terhadap peran perempuan dalam pernikahan.

Norma sosial yang mengaitkan perempuan dengan kewajiban moral untuk menjaga keharmonisan keluarga dan memenuhi ekspektasi materiโ€”seperti maharโ€”adalah salah satu cara di mana ideologi patriarkal memperkuat peran gender. Ketika suami perempuan tersebut meninggal karena bunuh diri yang diduga terkait dengan masalah mahar, perempuan tersebut menjadi korban kedua dari sistem yang menempatkan beban sosial dan moral yang tidak adil padanya. Dalam hal ini, patriarki tidak hanya memperkuat norma-norma gender yang mengekang perempuan, tetapi juga memicu stigmatisasi terhadap perempuan yang dianggap gagal memenuhi peran sosial tersebut.

Teori politik identitas, yang dikembangkan oleh pemikir seperti Judith Butler dan Nancy Fraser, memberikan wawasan mengenai bagaimana identitas sosial dibentuk melalui konstruksi politik dan budaya yang berakar pada kategori-kategori sosial tertentu, seperti gender, ras, dan kelas. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan sering kali diposisikan dalam relasi sosial yang lebih lemah, dan identitas mereka sering kali dinilai berdasarkan peran tradisional yang mereka jalani, seperti istri dan ibu.

Serangan terhadap perempuan yang kehilangan suaminya menggambarkan bagaimana politik identitas gender dalam masyarakat patriarkal memperburuk ketidakadilan sosial. Dalam hal ini, perempuan yang seharusnya mendapatkan dukungan sosial atas tragedi yang dialaminya, malah menjadi objek stigma sosial, di mana ia dianggap sebagai penyebab atau pihak yang tidak mampu menjaga keharmonisan keluarga.

Dalam politik identitas, perempuan yang berada dalam situasi ini bukan hanya dipandang sebagai individu yang berduka, melainkan juga dilihat melalui lensa sosial yang lebih luas, yang secara tidak adil menilai kemampuan dan nilai mereka sebagai perempuan. Stigmatisasi terhadap perempuan dalam konteks ini mengarah pada pengucilan sosial dan pengabaian kebutuhan psikologis mereka, yang hanya memperburuk kondisi mereka dalam menghadapi tragedi.

Proses ini dapat dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan teori stigmatisasi yang dikemukakan oleh Erving Goffman. Goffman menjelaskan bagaimana individu yang dianggap melanggar norma sosial akan mengalami disosiasi dengan kelompok dominan dan dipaksa menerima label negatif, yang dapat mengarah pada isolasi sosial serta penurunan status sosial mereka.

Salah satu hewan sebagai mahar kawin di NTT (Foto: Jurnal Flores)

Dari perspektif keadilan sosial, seperti yang dibahas oleh filsuf politik seperti John Rawls dan Amartya Sen, isu ini berkaitan erat dengan distribusi kekuasaan dan sumber daya dalam masyarakat. Ketidaksetaraan struktural yang dihasilkan oleh sistem patriarkal berkontribusi pada terciptanya ketimpangan dalam pembagian beban sosial dan ekonomi, khususnya bagi perempuan.

Dalam teori keadilan distributif Rawls, pemerataan kesempatan dan sumber daya adalah prinsip dasar yang perlu diterapkan untuk mengatasi ketidaksetaraan. Dalam hal ini, dibutuhkan upaya untuk mendekonstruksi norma-norma sosial yang merugikan perempuan, yang memperburuk ketidaksetaraan gender dalam masyarakat.

Kebijakan politik yang tidak mengakomodasi kebutuhan perempuan dalam situasi-situasi krisisโ€”seperti kehilangan suami akibat bunuh diri yang terkait dengan beban sosial atau ekonomiโ€”menghasilkan ketidaksetaraan dalam perlakuan dan dukungan yang diterima perempuan.

Ketika masyarakat mengalihkan tanggung jawab moral kepada perempuan, bukannya menganalisis faktor-faktor struktural yang lebih besar seperti ketidaksetaraan ekonomi, politik, dan sosial yang dihadapi keluarga, hal ini mencerminkan kegagalan sistem politik dalam memastikan keadilan sosial yang setara bagi semua anggotanya.

Dalam konteks politik publik, kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dapat berfungsi untuk mengurangi ketidaksetaraan yang muncul akibat norma-norma patriarkal. Salah satu cara untuk mengatasi ketidakadilan terhadap perempuan dalam situasi seperti ini adalah melalui kebijakan yang lebih sensitif terhadap kebutuhan perempuan, terutama dalam hal kesejahteraan mental dan perlindungan sosial. Kebijakan publik yang berfokus pada perlindungan perempuan dalam krisisโ€”baik melalui dukungan psikologis, sosial, maupun ekonomiโ€”dapat membantu meredakan beban yang mereka hadapi, baik secara individu maupun sosial.

Kebijakan yang lebih proaktif dalam mengatasi permasalahan gender, termasuk mitigasi dampak sosial dari pernikahan yang dibayangi norma-norma patriarkal yang berlebihan, dapat memperbaiki situasi ketidakadilan ini. Dalam hal ini, teori kebijakan afirmatif atau kebijakan afirmatif untuk perempuan, yang dapat meningkatkan akses perempuan terhadap hak-hak dasar, pekerjaan, serta perlindungan sosial, sangat relevan. Penguatan kebijakan ini dapat menjadi langkah awal untuk mendorong perubahan struktural yang lebih besar dalam masyarakat yang lebih inklusif dan adil.

Melalui perspektif teori politik, fenomena serangan terhadap perempuan yang kehilangan suaminya mencerminkan bagaimana struktur politik patriarkal memperburuk ketidaksetaraan gender dan merugikan perempuan baik dalam konteks sosial maupun pribadi. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan sering kali diposisikan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas keharmonisan keluarga, sementara laki-laki tidak dipertanyakan dalam hal tersebut.

Oleh karena itu, perubahan kebijakan sosial dan politik yang lebih pro-kesetaraan gender, termasuk kebijakan afirmatif dan pembaharuan nilai-nilai sosial yang lebih adil, sangat penting untuk mengurangi ketidaksetaraan struktural yang ada. Analisis ini menggarisbawahi urgensi transformasi dalam sistem politik yang lebih berpihak pada keadilan sosial dan kesetaraan gender, demi terciptanya masyarakat yang lebih inklusif dan adil.

*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Kupang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *