
Oleh: Aris Woghe*
Di kalangan umat Mater Dolorosa Mangulewa, nama Pater Herman Hellinge, SVD tidak begitu familiar. Dibandingkan dengan misionaris lain, sosoknya tenggelam. Hal ini wajar, karena memang generasi orang Mangulewa yang pernah hidup dan berjuang bersamanya, telah tiada. Warisan cerita tentang sosok dan karyanya, hampir tidak terdengar. Namun, siapa sangka, dialah perintis kekatolikan sekaligus peletak pendidikan dasar di Mangulewa. Dia jugalah yang membuka jalan, sehingga Nene Yakob, dkk bisa bermisi di Mangulewa lebih leluasa.
Pater Hellinge lahir pada 21 Desember 1878. Setelah menjalani pendidikan menjadi imam di Steil-Weenen, ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1906. Pada tahun yang sama, Pater Hellinge ditugaskan ke Togo-Afrika, untuk menyebarkan misi Katolik ke orang-orang Negro. Satu tahun berkarya, ia terpaksa dipulangkan karena sakit. Setelah sembuh, ia kembali ke rumahnya di Togo dan terus bekerja hingga tahun 1917. Peristiwa penyerangan brutal kepada para misionaris SVD oleh sekelompok orang yang menolak karya misi, memaksa Pater Hellinge melarikan diri dan angkat kaki dari Afrika.
Dari Togo, dia kembali ke Jerman, dan bekerja di sana hingga tahun 1920. Ia tinggal di sebuah rumah sakit jiwa dan mengabdikan diri untuk orang-orang yang mengalami gangguan mental. Meski bertugas di tempat yang lebih nyaman dan aman, harapannya kembali ke Togo suatu hari nanti terus menyala. Dan ketika harapannya semakin tipis, datanglah desakan dari Mgr. Noyen, SVD, Prefek Apostolik Kepulauan Sunda Kecil yang saat itu sedang berada di Eropa. Pater Hellinge diajak untuk mencoba bermisi di Flores. Permintaan Mgr. Noyen ini tak lepas dari kematian para pastor di Larantuka akibat virus influenza yang banyak memakan korban. Selain Pater Hellinge, banyak mantan misionaris Togo yang menyatakan kesediaan bermisi di Indonesia yang tidak mereka kenal.
Bulan Februari 1921, bersama para misionaris lain, Pater Hellinge berangkat ke Flores dan bulan April 1921 ditempatkan di Toda Belu yang saat itu merupakan stasi induk Mangulewa. Tugas utamanya, selain mengajar agama dan mempermandikan orang, juga merintis pendidikan dasar anak-anak. Banyaknya orang yang kembali ke agama pagan usai dibaptis adalah salah satu alasan mengapa pendidikan, dipandang penting. Para misionaris sadar, mempermandikan orang tanpa dibekali pengetahuan dasar Agama Katholik, akan berakhir sia-sia.
Tiba di Toda Belu, ia dihadapkan pada kenyataan pahit; tinggal di dalam gubuk bambu, berbagi tempat tidur dengan Pater Ettel dan Bruder Josef Segerink. Padahal di Togo, ia tinggal di rumah pastor samping gereja yang cukup nyaman. Penolakan penduduk lokal Mangulewa dan penduduk stasi Toda Belu umumnya, adalah tantangan lain yang jauh lebih berat. Tiap kali ia muncul di ujung kampung, kehidupan di dalamnya seakan terhenti; banyak orang yang tidak berani mendekatinya dan bahkan melarikan diri. Meski ia berusaha untuk bersikap ramah dan santai, tetap saja dianggap asing. Yang tidak sempat lari, akan bersembunyi di dalam rumah dan tidak keluar sebelum orang kulit putih itu menghilang di balik pagar kampung.
Perawakannya sebagai orang Eropa berkulit putih dan berpostur tinggi besar membuat penduduk lokal curiga. Dia sering disamakan dengan pemimpin Belanda yang sering muncul bersama pasukan tentara bersenjata lengkap. Pernah, suatu ketika ia muncul tiba-tiba di sebuah kampung. Seorang anak kecil yang sedang tidur di pendopo rumah, terbangun dan dengan cepat masuk melalui pintu sempit ke dalam rumah yang gelap. Para pria berkeluarga dan anak-anak muda yang melihat, segera menghunus parang. Meski tidak menyerang, mereka menatapnya penuh waspada dan berdiri dalam posisi berjaga-jaga. Setelah mengutarakan maksud kedatangan dan bercakap-cakap dengan sekelompok orang yang lebih ramah, diketahui bahwa sikap waspada penduduk lokal sangat beralasan. Ternyata beberapa tahun sebelumnya, puluhan ibu ditembak tentara Belanda yang sedang berusaha menaklukkan wilayah Ngada. Bahkan untuk menyelamatkan diri, beberapa diantaranya terpaksa menenggelamkan anak-anak bayi ke dalam sungai, hanya agar tangisan mereka tidak didengar tentara Belanda yang sedang mengejar. Peristiwa penembakan itu meninggalkan trauma mendalam. Seorang remaja putra, sambil menangis bercerita padanya, โSaya tidak berteriak saat itu, dan itulah sebabnya ibu tidak membuang saya ke sungai seperti salah satu saudara laki-laki saya.โ
Akibat penolakan keras di bulan-bulan pertama, Pater Hellinge berupaya belajar bahasa dan membuat catatan, sambil terus berdoa agar karyanya berbuah. Buku tata bahasa dan kamus yang telah disusun oleh Pater Paul Arndt, SVD, sedikit membantunya mengenal bahasa daerah Ngada. Berkat usaha keras, Pater Hellinge mengetahui sedikit bahasa daerah, adat-istiadat dan hubungan antar masyarakat serta suku. Ini adalah pekerjaan berat yang membutuhkan pengorbanan dan kesabaran ekstra. Apalagi, ia juga harus melawan perasaan sepi; merasa sendirian di antara ribuan orang yang tidak peduli dan acuh tak acuh dengannya.

Selain berupaya mendapat simpati, Pater Hellinge juga susah payah menuntaskan rumah pastor dan Sekolah Standar Mataloko. Ia juga harus mampu meyakinkan orang Mangulewa agar bersedia membantunya, mendirikan Sekolah Rakyat (SR). Meski banyak yang menolak, para guru agama lokal dari Stasi Bajawa berhasil meyakinkan sebagian orang. Pada awal tahun 1922, bahan bangunan pertama yaitu kayu dan semen tiba di Aimere melalui Kapal Uap Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (KPM). Belum ada jalan raya seperti sekarang, sehingga masyarakat stasi Toda Belu, Mangulewa juga tentunya, menolak untuk memikul material bangunan. Bahkan 300 orang laki-laki yang dikirim ke Aimere oleh kepala distrik, pulang kembali tanpa membawa apa-apa, melihat balok-balok berat itu. Namun, berkat campur tangan pemimpin lokal, sedikit demi sedikit, persoalan tersebut diatasi. Pekerjaan menjadi lebih sulit, karena setelah kedatangannya, Pater Ettel, SVD banyak bepergian; mengunjungi sekolah-sekolah, menjelajahi dan meneliti wilayah sambil membuat peta sketsa, mempelajari adat-istiadat dan watak penduduk agar dapat menemukan titik tolak pelaksanaan misi. Ia juga berkelana ke daerah Nage, di mana pada akhir tahun 1924, setelah kegagalan di Boawae, ia mendirikan stasi misi di Raja.
Kehadiran SR Mangulewa tidak membuat pekerjaan Pater Hellinge menjadi lebih mudah pada awalnya. Meski Tuan Friesman, Gezaghebber Ngada menunjukkan ketertarikan khusus pada sekolah desa/rakyat sehingga mau bekerjasama, mengajak anak untuk sekolah tetaplah berat. Para orang tua hanya mengizinkan anak laki-laki bersekolah dan memprotes keras ajakan menyekolahkan anak perempuan. Menurut mereka, anak perempuan harus bekerja di kebun dan tidak berhak mendapatkan pendidikan karena bertentangan dengan adat. Untuk mengakali penolakan keras ini, dibukalah sekolah agama di berbagai kampung di mana perempuan dan anak perempuan menerima pelajaran agama setiap malam dari guru agama.
Titik balik perubahan sikap masyarakat terhadap Pater Hellinge dan misionaris lain, terjadi di tahun 1923. Kedatangan Mgr. Verstraelen ke Bajawa diterima secara meriah. Dan perjalanan dari Bajawa ke Toda Belu merupakan sebuah prosesi yang mengubah cara pandang masyarakat, khususnya masyarakat Mangulewa. Ditemani oleh Raja Bajawa, Pea Mole dan Kepala Hamente Mangulewa, Ngebu Lodo beserta kepala hamente lain di wilayah Swapraja Ngada, Mgr. Verstraelen menunggang kuda menyusuri jalan sepanjang 15 km. Perjalanan ini memberikan kesan mendalam pada masyarakat, yang kemudian menumbuhkan rasa hormat terhadap misionaris tersebut. Belum pernah seorang tuan Belanda digiring melewati daerah mereka dengan begitu terhormat. Bahkan Raja Bajawa pun ikut berkuda di belakang dia. Orang Mangulewa berbondong-bondong dari segala penjuru untuk melihat. Mereka berkesimpulan bahwa tuan berbaju ungu, Mgr. Verstraelen maksudnya, pasti sangat terhormat. Dalam pidatonya yang sangat menyentuh hati, Monsignor menjelaskan tujuan misi sebenarnya, yaitu datang bukan untuk meminta uang atau harta benda, melainkan membawa anugerah besar berupa iman sejati kepada Kristus. Umat Mangulewa dan Stasi Todabelu umumnya, percaya padanya. Dan kepercayaan itu tumbuh bukan semata-mata karena pidato Monsignor, tetapi lebih-lebih kehidupan para misionaris seperti Pater Hellinge, dkk yang sepenuhnya konsisten dengan hal ini. Pada hari itu, banyak orang yang bersedia dibaptis.
Pater Hellinge bersorak girang atas โkesuksesanโ perdana. Sejak itu, pelan-pelan tumbuh pemahaman orang Mangulewa mengenai tujuan sebenarnya kedatangan para misionaris. Pater Hellinge mulai dicintai, diterima dan mendapat kepercayaan tanpa batas serta penghormatan yang mendalam. Mereka menyapanya โtua mezeโ (tuan besar). Kesediaan masyarakat Mangulewa untuk menyerahkan anak-anak dibaptis semakin meningkat. Di hari minggu, saat tidak ada ekaristi di sekolah bambu karena keterbatasan imam, mereka juga mau berjalan kaki ke Toda Belu untuk merayakan ekaristi di sana. Pater Hellinge mulai bisa duduk berjam-jam di rumah/ gubuk masyarakat, sementara ibu-ibu menumbuk jagung tanpa rasa curiga. Prospek menjanjikan itu, mendorong pimpinan gereja mengutus P. Johan Jakob Kรถberl, SVD dan P. Schoorlemer, SVD untuk turut serta mengajar dan membaptis di wilayah Mangulewa. Hanya dalam beberapa tahun saja, jumlah umat Katolik telah meningkat pesat.
Luasnya wilayah Stasi Toda Belu dengan jumlah umat 1500 orang, memantik Pater Hellinge untuk memikirkan pembangunan gedung gereja yang layak, baik di stasi induk Toda Belu maupun Mangulewa. Gereja darurat sekolah bambu dianggap kurang layak dan tidak bisa menampung umat pada ekaristi hari minggu. Setelah mendapat persetujuan uskup, Bruder Fransiscus bersama dengan 100 orang kuli penebangan menempuh perjalanan jauh ke Manggarai. Di hutan yang berjarak 50 km dari Ruteng, mereka tinggal berhari-hari untuk menebang kayu dan membentuknya sesuai kebutuhan, sebelum dipikul ke Mangulewa. Sementara semen dan kebutuhan lain dikirim melalui kapal uap yang bersandar di Aimere. Jauh sebelum jalan raya dibuka, Aimere merupakan satu-satunya akses dagang yang menghubungkan wilayah Roka, sebutan lama untuk wilayah etnis Ngada saat ini, dengan daerah luar. Antuasiasme orang Mangulewa untuk terlibat dalam pembangunan gereja cukup tinggi. Bahu-membahu, mereka memikul pasir dari Waebere dan sekitarnya, selain membantu para tukang.
Tahun 1930, setelah 9 tahun berkarya, Pater Hellinge jatuh sakit. Penderitaan Pater Hellinge yang sudah dicintai penduduk lokal, ditangisi banyak orang. Tangis orang-orang Katolik adalah tangis keputusasaan, karena melihat ketidakberdayaan Pater Hellinge berjuang melawan penyakit batu empedu kronis yang menyerangnya. Terkadang, umat Katolik yang ada di sekitarnya pergi menghindar di dalam hutan karena tak tega mendengar erangan sakit Pater Hellinge. Namun, ia tidak menyerah. Tahu bahwa misinya belum tuntas, Pater Hellinge yang meringkuk di kursi berlengan dengan rasa sakit yang luar biasa, berupaya melawan. Ia terus bertanya, sejauh mana penyelesaian Gereja Mangulewa.

Dan ketika sakitnya makin berat, ia diangkut ke Ende untuk dirawat di rumah sakit, tetapi tidak pernah kembali dalam keadaan hidup. Tepat tanggal 01 November 1930, Pater Hellinge pergi untuk selamanya, meninggalkan orang-orang Katolik yang terus berharap agar ia bisa kembali dan mengunjungi umatnya di kampung-kampung. Atas desakan yang tak tertahankan dari orang-orang Katolik, jenazahnya dibawa ke Toda Belu dan sekarang bersemayam di kompleks pemakaman Kemah Tabor. Ia pergi saat Gereja Mangulewa telah berdiri kokoh dan kekatolikan telah berkembang pesat.
Sebuah foto kenangan saat ia berkarya di Togo, dipampang di pendopo pastoran, dan di sanalah orang-orang Katolik berdiri menangis dan meratapi kepergiannya. Dalam doa mereka terus menangis, tak terkecuali para pria yang memegang tombak dan berdiri di samping fotonya. Mereka memintanya untuk jangan pergi karena sadar telah kehilangan โtua mezeโ yang agung. Dalam tangisan, mereka berteriak seolah-olah seluruh kekristenan sia-sia dan siapa yang akan mengajar serta menjaga mereka di jalan yang benar.
Pater. J. Door Smith, SVD dalam De Groei Van Een Missiestatie Door (1931) mengungkapkan kesannya tentang Pater Hellinge sebagai berikut: โBetapa hebatnya orang ini telah merebut tempat di hati umat Kristiani selama sembilan tahun kerasulannya. Sikap tulus umat Kristiani saat penderitaannya, mencerminkan penghargaan tinggi terhadap karya imam yang sederhana dan solid ini, yang bekerja keras demi umat Kristiani dengan semangat tiada tara. Tanpa lelah ia telah menjadikan stasiun misi menjadi besar. Selama lebih dari lima tahun ia membangun gereja bersama dengan orang-orang Kristennya. Mereka telah mengumpulkan batu-batu dan pasir pasangan bata yang diperlukan dan telah bekerja setiap minggu selama bertahun-tahun. Setiap sen dihemat, namun sayangnya ia tidak diizinkan (Tuhan) mengalami hari bahagia peresmian gereja. Perayaan besar dalam gereja yang terjadi beberapa hari setelah kematiannya, menjadikan upacara tersebut tragisโ.
*) Penulis adalah anak muda Mangulewa, tinggal di wilayah Paroki Mater Dolorosa Mangulewa.