
Karna adalah ksatria yang tak pernah kalah dalam hidupnya. Dia terlahir istimewa, konon melalui telinga, lengkap dengan anting dan baju perang. Telinganya peka terhadap berbagai tanda, sementara baju itu jadi anugerah yang melindunginya dari berbagai senjata. Dia adalah prajurit sejak kelahirannya.
Kepandaiannya memainkan pedang, gada dan panah sangat memukau. Khusus tentang panah, dirinya dan Arjuna berada di jajaran “top two”, dua yang terbaik. Publik menanti siapa yang akan keluar sebagai pemenang di antara keduanya. Namun, dengan berbagai kelebihannya, Karna setidaknya mengalami tiga kali kecurangan.
Pertama, saat dirinya mengikuti sayembara merebut puteri Kerajaan Pancala, Drupadi. Kedua, saat Anting dan Bajunya diminta Batara Indra. Ketiga, saat dikalahkan secara curang oleh Arjuna di medan perang Kurusetra.
Drupadi mungkin akan berhasil diboyong Karna, andai putri rupawan itu tak menolak Karna mengikuti sayembara, karena berstatus sebagai anak kusir kereta. Tanpa keikutsertaan Karna, tentu saja Arjuna yang lalu memenangkan sayembara legendaris itu. Saat itu, tak ada yang tahu bahwa Karna dan Arjuna sebenarnya adalah sama-sama putera dari Dewi Kunti.
Sebelumnya, hinaan yang sama juga pernah dialamatkan pada Karna saat para pangeran Hastinapura saling bertarung di bawah pengawasan guru mereka, Drona. Karna dihina oleh para Pandawa, oleh karena dirinya dianggap tak berdarah biru. Duryudhana dari Kurawa memperlakukannya sebagaimana layaknya saudara. Mereka kemudian menjadi kawan sejati. Sebuah pengalaman yang kemudian membuat Karna setia di sisi para Kurawa selama hidupnya.
Hingga akhirnya menjelang perang antara Pandawa dan Kurawa di Kurusetra. Kecuali Baladewa, kakak Kresna, semua raja terlibat dalam perang besar itu. Dengan Bhisma dan Karna, juga Drona dan Salya di pihak Kurawa, para dewa pun ikut gentar. Takdir yang mereka gariskan bisa saja diubah oleh para ksatria sakti itu.
Batara Indra, yang juga adalah ayah Arjuna, segera turun gunung. Dari puncak Himalaya, dia menyambangi Karna. Dengan menyamar sebagai pertapa tua, dia meminta sesuatu yang paling berharga dari Karna: Anting dan Bajunya.
Dalam semangat Dharma, Karna memberikan hal yang paling berharga dari dirinya, untuk si ‘pertapa tua’ itu. Dia tak merasa bermasalah hanya dengan setengah kesaktian memasuki arena pertempuran. Pertapa tua alias Batara Indra malu melihat budi baik Karna, hingga akhirnya dia memberi Karna sebuah imbalan berupa senjata mahasakti tanpa tanding. Tapi syaratnya, senjata mahasakti tanpa tanding itu, hanya boleh sekali saja digunakan. Mudah ditebak, senjata itu Karna simpan untuk pertarungannya melawan Arjuna nanti.
Kecurangan terhadap Karna tak berhenti di situ. Kresna yang menjadi penasihat Arjuna, tahu perihal rahasia senjata tersebut. Maka disusunlah siasat untuk menjebak Karna agar bertempur sampai malam hari, di mana Karna akhirnya mau tak mau harus menggunakan senjata pamungkas pemberian Batara Indra untuk membunuh Gatotkaca, raksasa putra Bima yang kesaktiannya berlipat-lipat di kala malam.
Pada hari-hari akhir perang, dengan tanpa anting dan baju, tanpa senjata pamungkas mahasakti, dan dengan setengah kesaktiannya, Karna maju bertarung melawan Arjuna. Tapi mereka tak bisa segera saling mengalahkan. Rival abadi itu tampaknya imbang.
Namun, tampaknya duel-duel besar menentukan seringkali ditentukan oleh hal-hal sepele. Salya yang diminta menjadi kusir perang Karna, berangkat dengan hati memihak Pandawa. Gerakannya banyak merugikan Karna dan menguntungkan Arjuna. Lalu kemudian, ban kereta Karna memasuki lumpur. Arjuna akhirnya menewaskan Karna yang tanpa senjata, sedang turun mendorong ban keretanya keluar dari lumpur.
Karna roboh ke tanah dan gugur. Sesuatu yang mungkin tak terjadi andai Batata Indra tak turun gunung membantu anaknya, Arjuna. Begitulah perang, seringkali telah selesai sebelum hari pertempuran.
Hancel Goru Dolu, 15 Februari 2017