Darurat NTT

Spread the love

Oleh: Honing Sanny*

Hari-hari ini kita menyaksikan di berbagai linimasa, hingar bingar terkait prosesi pergantian kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo Subianto yang langsung diikuti dengan pengumuman komposisi kabinet gemuk yang lebih 100 menteri dan wakil menteri. Kenyataan yang hampir tidak pernah kita jumpai sepanjang sejarah kita bernegara, kecuali di akhir era Bung Karno, di mana dari dokumen sejarah kita ketahui bahwa saat itu kondisi sosial politik sedang tidak baik-baik saja, demokrasi ambruk karena kekuasaan Soekarno telah mengarah ke otoritarian. Bung Karno ingin merangkul semua.

Sehari sesudahnya secara marathon, semua anggota kabinet dilantik pada pagi hari dan sore harinya dilanjutkan dengan pelantikan wakil menteri. Semuanya serba cepat. Sesuatu yang belum pernah terjadi sejak reformasi.

Di hari ketiga kita saksikan Presiden Prabowo kembali melantik dalam jumlah yang cukup banyak, yakni kepala badan dan semua jajarannya. Ini tanda bahwa Prabowo benar-benar menerapkan cara kerja tentara yang serba cepat.

Euforia dan parade kekuasaan yang terbuka, dengan hadirnya wajah-wajah yang dikenal publik karena partisipasi mereka memenangkan Prabowo saat pilpres beberapa waktu yang lalu, juga karena spirit keberlanjutan dari kekuasaan yang lalu (Jokowi), maka lebih dari separuh kabinet yang lama diikutkan kembali baik dalam jabatan yang sama maupun jabatan baru.

Di tengah keriuhan yang kasat mata, sebagai putra NTT yang memilih politik sebagai jalan, ada rasa perih, minder dan sedih. Mengapa demikian? Tentu saja karena dari nama-nama yang dibacakan oleh presiden baru, tidak ada satu pun putra-putri terbaik yang mewakili NTT dalam jajaran kekuasaan.

Bila saja pilpres menjadi dasar rekrutmen kekuasaan dan Jokowi sebagai faktor determinan yang lain, maka NTT punya kontribusi yang signifikan. Mulai dari zaman Jokowi pertama kali maju presiden sampai dengan pilpres yang memenangkan Prabowo tahun 2024. NTT selalu menjadi penyumbang suara signifikan dan persentase kemenangan selalu di atas persentase nasional. Kalau itu sebagai dasar utama, rasanya NTT layak untuk diajak.

Dan bila kompetensi dipakai sebagai dasar pun, NTT tidak kekurangan putra-putri terbaiknya yang hebat. Bahkan bersedia untuk dikontestasikan dengan calon-calon yang lain, yang saat ini sudah menjadi pejabat. Namun karena ini jabatan politik, tentu saja subjektivitas jauh lebih dominan ketimbang kompetensi objektif.

Padahal untuk daerah dengan tingkat problem bernegara yang serius seperti NTT, juga Maluku, dengan kemiskinan yang akut, stunting, ketertinggalan pembangunan, maka hadirnya wakil-wakil dalam kekuasaan di pusat menjadi jembatan yang memudahkan dalam melakukan determinasi pembangunan. Juga secara psikologis memberi kebanggaan bagi masyarakat NTT yang pada pilpres lalu memenangkan Prabowo. Sayang semua itu tidak dipertimbangkan.

Begitu juga jika pendekatan emosional yang dikedepankan, maka NTT bukan wilayah yang asing buat Prabowo, karena selama berkarier sebagai militer dan ditugaskan di Timtim kala itu, memiliki memori yang kuat tentang NTT.

Namun semuanya sudah terjadi. Pertunjukan kekuasaan dalam dua hari ini memberi pesan kepada seluruh masyarakat, bahwa NTT sedang dalam kondisi darurat dan tidak diperhitungkan dalam level politik nasional.

Kalaupun ada peran-peran kecil yang diberikan buat putra-putri NTT hanya dalam urusan kekerasan atau sekadar sebagai perkakas operasi dari para politisi untuk bargaining dan mendapatkan kekuasaan.

Akhirnya, mari kita sama-sama sebagai orang NTT melakukan refleksi, konsolidasi serta mengakui bahwa saatnya kita memperkuat networking dan bangkit berdiri tegak menatap hari depan, agar diperhitungkan dalam skala nasional.

Belum terlambat. Mari kita mulai. Do something!

*) Penulis adalah NTT Diaspora, saat ini tinggal di Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *