Bu Sri Atmini Nderek Dewi Maria

Spread the love
Marhaeni Eva (Foto: Doc. ME)

Oleh: Marhaeni Eva*

Akhirnya kudapati langkahku tiba di tikungan jalan dusun yang meliuk cantik tak jauh dari tempat tinggal masa kecilku. Jalan yang melenggok lembut di antara persawahan dan ujung dusun itu selembut tarian Bedaya Anglir Mendung. Jalan rindu yang mengharu biru kenangan masa kecil yang tidak melulu manis, namun tentu mencerahkan.

Dan yang ingin kukisahkan di sini adalah Bu Sri Atmini. Perempuan tabah yang kini berusia 79 tahun itu dulu guruku semasa Taman Kanak-kanak. Beliau tinggal sendirian di arah kanan dari jalan meliuk itu. Dari samping gardu ronda yang unik itu berbelok kanan. Rumah Bu Sri berpagar hidup dari tanaman berbagai perdu aromatik, antara lain; beluntas, cipra-cipri, tapak liman dan arumndalu.

Tapi aksentuasi yang menakjubkan adalah regolnya. Regol adalah pintu gerbang. Pintu gerbangnya bermahkota rumpun sirih berdaun lebat, pada siapa pun yang memandangnya akan takjub dan segera ingin merasakan keteduhan di bawah rerimbunannya.

Sore itu aku merasakan teduhnya, menghirup harumnya yang berbaur dengan aroma rempah dedaunan yang kusebutkan sebelumnya.
Seperti harumnya tubuh renta yang memelukku dalam sambutan hangat penuh kerinduan dan kebahagiaan sederhana. Kebahagiaan yang tidak pura-pura.

    "Bu Sri...." 
    "Wuk Nik...."

Ya, Bu Sri Atmini masih saja memanggilku dengan panggilan kesayangan “Wuk” untuk seorang gadis kecil, sekalipun aku sudah tua, dan “Nik” diambil dari ujung namaku “Marhaeni”.

   "Ibu apa kabar, Ibu....?" Sapaku klise, menyembunyikan embun yang merebak dari mataku yang cengeng. 
   "Masih nderek Ibu Dewi Maria, meski sendirian, Wuk.." jawab beliau sembari memeluk erat dan menciumku kembali. 

Persis seperti Ibu Maria, Ibunda Yesus yang tabah, rela dan penuh Kasih, dan tegar menyelam dalam lakon yang tampak pedih. Tetapi, apakah Kasih itu Pedih? Tidak. Kasih itu Baik adanya.

Beliau hidup sendirian dalam arti yang sesungguhnya. Pak Sumadi menceraikan, ketika Bu Sri tidak kunjung hamil lagi setelah ‘kehilangan’ anaknya yang belum saatnya lahir, kala itu. Bu Sri rela. Sebagaimana Bu Sri merelakan hak asasinya untuk beribadah ke Gereja. Tak ada gereja Katolik dalam radius yang bisa dijangkau di usianya yang serenta itu, dan sendirian pula.

Panorama desa (Foto: Doc. Marhaeni Eva)

Dalam kerabat besarnya, hanya Bu Sri sendirian yang ‘Nderek Dewi Maria’. Semua kerabatnya ada di golongan mayoritas pada umumnya. Bahkan, manakala Bu Sri harus bepergian keluar rumah, beliau ‘harus’ mengenakan kerudung, agar tidak dirundung sebagai yang ‘tidak umum’.

Ya, Bu Sri begitu rela ‘sendirian’ dengan tetap pada kesetiaannya merawat Kasih, meski harus tersisih.
Karena keteguhan pada pilihan batin yang memerdekakan adalah Martabat dan Keagungan bagi Bu Sri.

Bu Sri memang tidak punya Gereja. Tetapi beliau telah membangun dan merawat Gereja di dalam batinnya yang paling Hening dan Bening. Itulah Gereja yang Sejati, itulah laku ke-Bhakti-an yang Sejati bagi Bu Sri, yang tidak membutuhkan saksi. Sebab, Bu Sri juga hanyalah Sang Penyaksi.

*) Owner dan pengelola Mettaloka Guest House, Borobudur-Magelang. Fiksi mini ini ditulis pada 24 Desember 2023.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *