
Oleh: Marselus Natar*
Orang-orang berjubel di lorong check-in. Aroma parfum menyeruak sesak memasuki lubang hidung. Seorang ibu muda terlihat penuh hati-hati, dijinjingnya sebuah kardus pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang erat tangan seorang anak kecil. Anak itu merengek-rengek karena tangannya tak mau dipegang ibunya. Ibu itu tak memedulikan ocehan anaknya, maka menangislah anak itu sejadinya. Seorang pemuda asing, mungkin dari New Island, mendekati anak itu sembari merogoh kantong celananya, dikeluarkannyalah sebatang coklat untuk anak itu. Sontak anak itu diam dan menatap pemuda asing itu dalam-dalam, dilemparkannyalah seutas senyuman nan ranum, kendati air matanya masih mengalir di pipinya. Setelah semua barang bawaan diperiksa, ibu dan anak itu bergegas menuju ruang tunggu.
Ruang tunggu adalah ruang di mana semua penumpang menunggu pesawat dan jam keberangkatan menuju tempat tujuan masing-masing. Tak pernah disangka bahwa ibu muda dan anaknya juga pemuda asing itu, mempunyai tujuan keberangkatan yang sama. Di ruang tunggu, ibu muda dan anaknya juga pemuda asing itu duduk di kursi yang sama. Pemuda asing itu memainkan matanya kepada anak itu secara sembunyi-sembunyi, barangkali takut dipergoki ibu anak itu. Anak itu memberikan respons positif dengan sumringah senyumnya yang sangat lebar. Ditepuknya kedua paha ibunya, “Mah, aku mau coklat,” ujarnya merayu. Wajah ibu itu sejenak merengut, dengan kulit keningnya yang melipat-lipat bagai gulungan ombak di lautan. “Mah, coklat. Mah, coklat!” Anak itu kembali menjerit merayu. “Jangan minta yang aneh-aneh, Nak. Mama tidak punya coklat,” ucap ibu anak itu dengan matanya yang melorot hampir keluar dari kelopaknya. Anak itu enggan menggubris perkataan ibunya. Ia masih saja tetap merengek-rengek agar permintaannya dikabulkan.
Beberapa saat kemudian, anak itu meninggalkan ibunya. Ia memilih pemuda asing itu untuk menyandarkan punggungnya. Tanpa kata, sebab pemuda itu tidak tahu menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun demikian, satu hal yang membuat mereka bisa bersama adalah body language atau bahasa tubuh. Seperti sebelum anak itu menghampiri pemuda itu, terlebih dahulu pemuda itu menyodorkan sebungkus coklat ke arah anak itu dengan maksud memberi. Bagi anak itu, pemuda itu bukanlah pemuda asing sebagaimana yang dikenal khalayak umum dalam ruang tunggu itu. Berkali-kali anak itu merogoh kantong celana pemuda itu untuk mengambil coklat. Ekspresi pemuda itu biasa-biasa saja. Kedua tangannya merangkul erat tubuh mungil anak itu, sesekali kepalanya merunduk guna mencium kening anak itu. Lantas, apakah ibu anak itu tidak melihat atau menyaksikan perbuatan pemuda asing itu terhadap anaknya? Tentu saja ibu itu menyaksikan perbuatan mereka dengan mata kepalanya sendiri. Hanya saja, sama seperti anak dan pemuda itu, yaitu diam tanpa sebait pun baris kata terucap.
Tiga puluh menit waktu berlalu. Seperti biasanya, di mana-mana orang-orang sibuk mengutak-atik gadget-nya masing-masing. Headset menutupi lubang telinga mereka. Mata mereka melotot menatap layar gadget mereka masing-masing. Semua orang adalah orang asing. Anak menjadi asing terhadap orang tua, begitu pun sebaliknya. Kemajuan teknologi telah merusak dan memusnahkan jati diri manusia sebagai makhluk sosial. Sepintas memang terlihat bahwa dalam ruang tunggu itu terdapat banyak manusia, akan tetapi jika ditelisik dan diamati dengan seksama, apa yang terlihat adalah tubuh fisik semata layaknya kumpulan mayat-mayat di ruang mayat pada sebuah rumah sakit. Mereka tidak saling membangun komunikasi di antara mereka. Dengan kata lain, mereka lebih nyaman dan betah untuk membangun komunikasi dengan orang lain, di dunia lain. Entahlah! Dalam diam, aku menyaksikan itu.
Di dinding ruang tunggu itu sebuah televisi sedang bernyala. Iklan-iklan menawarkan keunggulan berbagai macam produk. Mulai dari alas kaki hingga pewarna rambut. Dari permen Relaxa hingga Silverqueen. Semuanya ditawarkan dengan teknik dan kreativitas tinggi, yang mana sanggup memukau hati dan pikiran penonton. Lantaran melihat bujukan iklan tersebut, bocah itu kembali merengek-rengek dalam pangkuan pemuda itu. Sesekali bola matanya menatap sendu ke arah wajah pemuda itu. Beberapa saat kemudian, pemuda itu perlahan berdiri dari tempat duduknya, bergegas menuju warung kecil di sebelah utara ruang tunggu itu. Dibelinyalah sebungkus Silverqueen untuk bocah itu. Sendu bola mata bocah itu berubah rupa menjadi lebih teduh dan bening. Ia tampak sangat senang.
Dalam diam yang dalam, ibu anak itu memantau langkah laku pemuda itu beserta anaknya. Tanpa kata, kecuali seribu satu pikiran dan perasaan yang berkecamuk dalam jiwanya. Semuanya tersirat dalam wajahnya yang bingung serta dengusan nafasnya yang hampir sama persis dengan dengkur tidur malam. Kedipan matanya mengisyaratkan betapa dirinya kewalahan dan mungkin kesulitan mendampingi buah hatinya itu. Mungkinkah dirinya adalah seorang wanita yang menimbun prahara jamak dalam jiwanya? Barangkali prahara klasik yang mana dialami dan dirasakan kebanyakan wanita, yaitu ditinggal pergi oleh kekasihnya. Ah, bisa saja ya, bisa saja tidak, bagaimana pun ini hanyalah kemungkinan belaka. Tak perlu dan tidak penting mencurigai orang secara berlebihan, nanti bisa celaka.
Enam puluh menit sudah berlalu. Belum ada isyarat atau pun tanda bahwa pesawat akan segera tiba. Para penumpang merasa biasa-biasa saja. Barangkali karena jiwa dan raga mereka tidak menyatu di ruang tunggu itu, sebab mata dan tangan fokus pada gadget-nya masing-masing. Kendati beberapa penumpang beramai-ramai meninggalkan ruang tunggu menuju pesawat yang akan mereka gunakan menuju tempat tujuan mereka. Tidak ada rasa kecemasan, kegelisahan dan kepanikan tersirat di wajah mereka. Sama seperti penumpang yang lain, wajah ibu muda, pemuda asing dan anak itu terlihat biasa-biasa saja. Aku tidak sanggup menampik situasi dan kondisi seperti ini. Kesabaranku karam dan sirna ke dalam rahim menit dan jam yang sudah berlalu dalam penantian.
Sebagai perokok, aku merasakan sesuatu yang agak berbeda. Gusi dan lidahku seperti sebuah batu yang dihinggapi lumut dalam air. Licinnya bukan main. Pikiran pun seperti hari tanpa angin dan cerah cahaya matahari. Hampa tanpa bisa kumaknai setiap detik yang kulewati. Di sebelah selatan ruang tunggu itu, terdapat toilet dan sebuah ruang yang disediakan untuk merokok. Di dalam ruang merokok itu, asap mengepul bagai kabut. Tidak ada satu pun wajah para perokok yang terlihat jelas.
Aku pun duduk sembari merogohkah kantong celana yang berisi sebungkus rokok dan sebuah korek api. Ketika aku sedang menyulut sebatang rokok, ponselku berdering pertanda ada pesan masuk di Whatsapp. Perlahan aku membukanya. Aku terkejut ketika melihat pesan itu. Isi pesan itu berupa sebuah foto diriku sendiri yang tengah asyik menyulut rokok. Secara seksama dan jeli, aku menatap semua wajah orang-orang di antara gerombolan asap rokok yang menggumpal itu. Di sudut ruangan itu kutemukan seorang yang kukenal baik, senyumnya sumringah di balik kepulan asap. Kami berbincang seadanya lalu berpisah.
Seusai meninggalkan ruangan itu, aku kembali ke tempat dudukku. Keadaan ruang tunggu tetap sepi kendati sepasang mataku masih melihat sekitar ratusan orang yang masih bertahan menunggu kedatangan pesawat. Ibu muda dan pemuda asing itu sudah duduk berdekatan. Sesekali ibu muda itu menyandarkan tubuhnya di pundak pemuda itu. Sesekali mereka melemparkan senyuman secara bersamaan sembari menatap layar ponsel pemuda itu. Tanpa kata tuk melahirkan canda dan gelak tawa. Rasa-rasanya, pesawat sengaja mengulurkan waktu kedatangannya agar pertemuan keduanya menjadi lebih berkesan.
Di sudut kursi yang mereka tempati terlihat anak kecil itu tengah asyik mengunyah Silverqueen dan terlihat beberapa bungkus permen dalam genggaman tangannya. Tampaknya, hati ibu itu begitu tenteram berada di samping pemuda itu. Begitu pun dengan hati kecil buah hatinya, kebahagiaan dan sukacita menyelimuti relung terdalam jiwanya. Belum ada tanda, pun isyarat bahwa pesawat akan segera tiba. Mulut para penumpang seperti kaku terkancing baut. Kecuali cuitan bunyi ponsel yang seolah-olah memiliki mulut.
*) Penulis merupakan guru magang di perbatasan Indonesia-Malaysia.