
Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage*
Terdapat konsensus di antara para cendikia dan pengambil kebijakan yang terus digaungkan saat ini, bahwa, sistem tata kelola pangan global perlu diperbaiki jika ingin menyediakan aksesibilitas harga pangan, ketersediaan pasokan, standar gizi dan keamanan makanan, serta kelestarian sumber daya alam (Willett et al., 2019).
Tren di masa depan, menempatkan sistem pangan dalam posisi yang lebih rentan dibandingkan saat ini. Permintaan pangan global diperkirakan akan tumbuh sebesar 70% dalam rentang tahun 2009-2050 (Foley et al., 2011).
Antara tahun 2001-2021, sektor pertanian global mengalami peningkatan sebesar 54%, mencapai total produksi sebesar 9,5 miliar ton pada 2021. Pertumbuhan ini melampaui kenaikan jumlah penduduk dunia yang hanya sebesar 29%. Angka-angka ini tentu akan semakin meningkat saat ini.
Kondisi yang semakin memperburuk situasi ini adalah bahwa, hasil pertanian ini bukan hanya dikonsumsi manusia tetapi menjadi pakan ternak dan bahan baku industri sehingga kebutuhannya akan terus berlipat ganda.
Meski terlihat adanya trend pertumbuhan, tingkat produksi pertanian saat ini belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan 9,6 miliar orang pada tahun 2050 kelak. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, produksi pangan diperkirakan harus meningkat hingga 100% (Tillman, 2011).
Situasi di Indonesia dalam laporan Indeks Keamanan Pangan Global 2022, terlihat bahwa negara ini berada pada urutan ke 63 dari 113 negara dengan total skor 60,2 dengan rincian keterjangkauan sebesar 81,4, ketersediaan 50,9, kualitas dan keamanan 56,2, keberlanjutan dan adaptasi 46.3.
Ditengah silang sengkarut pangan dengan angka-angka yang mengkhawatirkan, kita dihadapkan pada dampak perubahan iklim yang akan membuat makanan menjadi lebih sulit dan lebih mahal untuk diproduksi dan didistribusikan (Muluneh, 2021).
Sebab, untuk menjaga suhu tahunan rata-rata planet ini dalam kisaran 1,5°C seperti pada masa pra-industri, intensitas karbon pertanian harus dikurangi secara radikal dan segera, karena produksi pangan dinilai telah berkontribusi secara signifikan terhadap kerusakan planet di banyak wilayah di seluruh dunia.
Selain itu, tren global dalam pertumbuhan populasi, urbanisasi yang cepat, perubahan pola makan, munculnya teknologi baru dan tekanan dari persaingan pemanfaatan lahan (non-pangan) dengan cepat meningkatkan gelombang persoalan pangan.
Dalam studi yang dilakukan Thomas et al. (2018), ditemukan bahwa, praktik pertanian intensif dapat merusak tanah sehingga ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk meningkatkan produk dan praktik yang melestarikan tanah.
Perlunya Transformasi Berkelanjutan
Sejalan dengan program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), transformasi dilakukan dengan menyelaraskan tiga konsep utama yaitu upaya ketahanan pangan, perubahan iklim, dan mata pencaharian petani yang didasarkan pada keyakinan, pola perilaku sosial, dan tata kelola berkelanjutan (Olsson et al., 2014).
Haberl et al. (2011), memperkirakan skala perubahan yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan saat ini setara dengan perubahan besar dalam sejarah manusia, seperti transisi dari masyarakat pemburu-pengumpul ke masyarakat agraris, dan kemudian ke masyarakat industri, yang disebut sebagai revolusi industri keempat.
Dalam perkembangannya, penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satu jalur transformasi yang dapat diterapkan secara universal dalam setiap situasi, dan sulit untuk mengeneralisasi konsep transformasi dari satu petani ke petani lainnya (Scoones et al., 2020).
Oleh karena itu, banyak pihak berpendapat bahwa diperlukan intervensi yang bersifat multidisiplin, melibatkan berbagai pihak, dan kontekstual sesuai kondisi kehidupan masyarakat setempat sehingga mendorong kemajuan dan memenuhi kebutuhan serta aspirasi petani (Pereira et al., 2018).

Model Sosial Ekologis (SES) di Indonesia
Jalur transformasi masalah pertanian dapat dilakukan dengan berbagai cara, dalam konteks Indonesia, model sosial ekologis (SES) lebih relevan dan kontekstual dengan menekankan hubungan manusia-lingkungan dan pengaruhnya terhadap pertanian (Ali, 1995).
Hubungan SES dapat memastikan bahwa jalur transformasi yang diambil tidak mengganggu lingkungan, ekonomi, serta sosial budaya masyarakat, baik pada saat ini maupun di masa depan. Model ini juga, diharapkan dapat meningkatkan skor indeks adaptasi pangan kita yang berada di zona merah.
Sistem SES adalah sistem adaptif yang kompleks, yang muncul dari struktur sosial dan ekologi yang saling terkait, serentak menyediakan kerangka yang kuat untuk memahami interaksi yang sangat dinamis dari perubahan ekologi dan masyarakat. SES adalah sistem yang berkembang bersama yang mempertahankan interaksi yang konstan dan timbal balik antara struktur teritorial ekologi dan sosial ekonomi (Arnaiz-Schmitz et al., 2018).
Pendekatan berbasis SES dalam implementasinya beririsan langsung dengan tradisi kelompok masyarakat petani di Indonesia, sebagai misal, di Jawa kita mengenal konsep sedulur singkep dalam tradisi wiwitan dimana konsep ini memandang manusia dan bumi sebagai entitas yang saling melengkapi dan menghormati; hubungan yang harmonis antara keduanya akan mendukung kelestarian alam secara berkelanjutan. (Susilaningtyas & Syafril, 2022).
Di Sulawesi Selatan, kita mengenal tudang sipulung/appalili sebagai tradisi pertanian yang melingkupi upaya tata kelola pertanian berbasis tradisi yang dimulai dari proses menanam, merawat, panen, dan menjual hasil (Syahruna et al., 2014).
Di Sumatra, kita mengenal tradisi merdang dimana sawah bukan tempat pertanian saja namun sawah merupakan lahan penghidupan yang sangat dihormati (Sibero & Sibero, 2017).
Selain di beberapa wilayah di atas, di Manggarai, Nusa Tenggara Timur dikenal dengan Penti Weso Beo Raca Rangga Walin Tahun dengan lima prinsip yang dijaga keseimbangannya yaitu Lingko (kebun), Wae Teku (mata air), Natas Labar (halaman Rumah), Compang (altar persembahan/sesajen), dan Mbaru Kaeng (rumah tinggal).
Mengikuti komponen model SES yang dianjurkan oleh Moraine et al. (2017), tradisi masyarakat dalam pengelolaan pertanian ini, dapat menyediakan jalur yang sesuai bagi implementasi SES, sebagai misal, dalam praktik tradisi ini dari sisi komponen ekologis secara tegas menunjukkan perihal pengaturan pengelolaan tanah yang ketat, larangan untuk merusak sumber daya air, menjaga vegetasi, rotasi jenis tanaman, dan strategi adaptasi terhadap perubahan musim.
Sedangkan, dukungan tradisi lokal terhadap komponen sosial meliputi partisipasi masyarakat dalam pertanian dari tingkat produksi hingga distribusi serta pengetahuan lokal tentang pertanian seperti musim tanam dan panen.
Dengan demikian pengambil kebijakan hanya perlu menyediakan kebijakan yang mendukung pertanian berkelanjutan melalui kebijakan di berbagai tingkatan yang mencakup sektor lingkungan dan pemberdayaan komunitas, terutama dalam hal mengakses sumber modal, bantuan keuangan, dan subsidi alat dan bahan pertanian.
Penutup
Pertanian telah menjadi penyebab naik turunnya masyarakat. Contoh historis keruntuhan masyarakat yang beragam secara geografis telah terjadi dalam berbagai skala waktu (Cumming dan Peterson, 2017). Beberapa mekanisme sosial, politik, dan ekonomi telah diajukan untuk menjelaskan keruntuhan tersebut (Tainter, 1988).
Namun, untuk beberapa di antaranya, akar kemerosotan masyarakat dapat ditelusuri kembali ke masalah ekologi yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya secara berlebihan dan pengelolaan lahan pertanian yang buruk. Keruntuhan Maya dan Anasazi adalah dua contoh klasik.
Dalam kedua kasus tersebut, keruntuhan dianggap terjadi akibat umpan balik antara pertumbuhan populasi dan perluasan serta intensifikasi pertanian, yang menyebabkan degradasi lingkungan yang lebih besar dan membuat sistem produksi pangan tidak layak digunakan (Cumming dan Peterson, 2017).
Kelangkaan pangan menabur benih masalah ekonomi, kegelisahan sosial, dan ketidakstabilan politik, yang menjebak masyarakat dalam lingkaran umpan balik negatif yang mengarah pada keruntuhan.
Oleh karena itu upaya transformasi perlu dilakukan dengan mempertimbangkan faktor ekologi dan kehidupan sosial secara berkelanjutan dan model SES hampir mendekati asumsi ini.
Upaya transformasi sektor pertanian berbasis SES sejauh ini masih baru dalam konteks Indonesia, sehingga mengintegrasikannya ke dalam program dan kebijakan dapat dilakukan sembari menguji efektivitasnya dengan mendorong sinergi antara fungsi ekosistem dan dinamika sosial, mengingat kompleksitas dan ketidakpastian sistem ekologi. Pendekatan SES harus melampaui skala lokal yang positivis, monodisiplin, ke strategi skala yang lebih luas yang adaptif, partisipatif, dan transdisiplin.
*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Kupang.