Lebih Dekat Pada-Mu, Ya Tuhan (Eulogi Kedua Sr. Nikolin Pajo, SSpS)

Spread the love
Sr. Nikolin Pajo (Foto: Ist.)

Oleh: Stefanus Wolo Itu*

Saya mengalami kebersamaan dengan Sr. Nikolin Pajo, SSpS, selama tiga tahun. Mulai Januari 2003 hingga perutusan baru saya ke Paroki Wolotopo 24 Pebruari 2006. Tiga tahun itu singkat. Tapi banyak kisah dan kesan bermakna tentang Sr. Nikolin, SSpS.

Sr. Nikolin berkulit putih, cantik, berkacamata dan murah senyum. Ia sederhana tapi penuh simpati. Saya sering memujinya, “Ine weta kami bu’e bila, riji rai, ate wae.” (Saudari kami cantik, ramah dan baik hati). Saya tahu kecantikannya melebihi batas fisik. Dari dalam dirinya terpancar energi-energi positif.

Dia kelahiran 27 Pebruari 1964. Saya sendiri 26 Pebruari 1967. Dia sering guyon, “Dari sisi tanggal kelahiran, ema nara (saudara) lebih tua sehari. Tapi dari tahun kelahiran, saya tiga tahun lebih tua. Harus hormat saya sebagai ka’e raka ine atau kakak-mama (budaya Ngada menghormati saudara tua sebagai ka’e raka ine)”. Ini guyonan bernilai untuk saling menghornati. Juga peringatan yang bijak untuk menjaga relasi orang-orang terpanggil.

Sr. Nikolin bekerja ulet dan tenang. Biarawati Abdi Roh Kudus yang bekerja dengan hati. Jarang berwajah cemberut. Dia menerima, mengatur dan menuntaskan semua tugas. Hasilnya selalu maksimal. Ternyata hal ini merupakan pancaran kebajikan dari aslinya: Pajo.

Dr. Yohanes Vianey Watu menulis bahwa Pajo artinya pengatur. Nama Pajo menjiwai pelayanan seorang Sr. Nikolin, SSpS. Pantasan dia selalu dipercayakan sebagai pemimpin komunitas.

Dia luwes dalam pergaulan, dekat dengan umat, rekan kerja dan anak didik. Dia bisa guyon dengan orang yang sudah dikenal. Sr. Nikolin sering ganggu bapa Bele Bhangga dari Ndetundopo, “Bapa Bele kalau ada rezeki jeratan babi hutan, rusa dan tuak putih, jangan lupa kami.” Bapa Bele beberapa kali menepati janjinya. Sr. Nikolin biasanya meracik tuak putih dengan bawang, sereh, lombok, garam dan kemangi.

Saat Yasinta, istri almarhum Abraham Kelana (ketua Stasi Maukaro saat itu) melahirkan anak perempuan, Sr. Nikolin segera ke rumah. “Mama Sinta dan bapa Lana, anak ini diberi nama Nikolin eee. Biar ada kenangan terindah,” pintanya. Sinta dan Abraham mengamininya. Mereka memberi nama, Noberta Nicolin Kelana. Saat ini Nicolin junior kelas tiga SMP. Dia sangat sedih mendengar berita kematian ‘tamo’ (sapaan untuk mereka yang namanya sama) sekaligus mama susternya.

Seorang mantan muridnya di SMPK Maukaro memuji Sr. Nikolin, “Mama suster sangat dekat dengan kami. Relasi kami seperti mama anak. Terima kasih mama yang baik hati.” Murid lainnya, Sr. Natalia Daka, KKS, menulis, “Senyum manis sungguh terpancar dari kebaikan hati. Mengajar dan mendidik kami tanpa kenal letih. Tidak pernah kehabisan solusi saat kami kesulitan.”

Sr. Nikolin tertib dalam urusan keuangan. Dia pernah menjadi bendahara SMPK Maukaro dan bendahara beberapa kegiatan pastoral tingkat paroki. Dia mencatat pemasukan dan pengeluaran keuangan. Tak lupa kuitansi dan bukti pembelanjaan. P. Leo Kleden menulis kesaksian, “Dalam urusan keuangan, Sr. Nikolin adalah seorang hamba Tuhan yang tangan dan hatinya bersih.”

Dia biarawati inspiratif. Kebajikan hidupnya menginspirasi orang-orang lain. Menyaksikan kehidupan orang-orang inspiratif dan baik hati senantiasa menyenangkan. Saya ingat kata-kata filsuf Plato, “Bersikap baiklah, karena semua orang yang kamu temui sedang berjuang keras.”

Sr. Nikolin Pajo, SSpS (Foto: Ist.)

Berita kematian Sr. Nikolin sungguh menyakitkan. Saya menonton video-videonya. Mulai dari keadaan kamarnya dan evakuasi jenasah. Sisa-sisa tubuhnya yang terbakar dibungkus kantong menuju Kewapante. Kantong itu dimasukan ke dalam peti. Saya minta telpon video dengan Sr. Maria Mopa, SSpS. Ingin melihat wajahnya. Sayang sekali jenasah wanita berkerudung biru itu tak berwajah! Kita hanya menatap kerudung dan jubahnya di atas jenasah. Air mata tak terbendung. Mengapa orang baik itu mengalami kematian tragis?

Saya coba bermenung. Saya nyanyikan lagu Requiem berbahasa Jerman, “Nรคher Mein Gott, Zu Dir”. Lagu ini sering dinyanyikan saat upacara pemakaman di paroki saya. Khususnya pemakaman generasi kelahiran dasawarsa 1930-an. Syair aslinya berasal dari puisi penyair Inggris, Sarah Flower Adams (1805-1848) berjudul “Nearer, my God, to Thee”. Seorang pengkotbah gereja Metodis Jerman, Ernst Heinrich Gebhardt (1832-1899) menerjemahkannya ke dalam bahasa Jerman.

Lagu ini terdiri dari lima ayat. Tapi saya menyanyikan tiga ayat yang pas untuk Sr. Nikolin, SSpS. Pertama: Nรคher, mein Gott zu dir, nรคher zu dir. Drรผckt mich auch Kummer hier, drohet man mir. Soll doch trotz Kreuz und Pein, dies meine Losung sein. Nรคher, mein Gott zu dir, nรคher zu dir. (Lebih dekat pada-Mu, ya Tuhan. Lebih dekat pada-Mu. Bahkan ketika aku tertimpa kesedihan dan terancam. Meski salib dan siksaan, mottoku tetap: Lebih dekat pada-Mu, ya Tuhan).

Kedua: Geht auch die schmale Bahn aufwรคrts gar steil, fรผhr sie doch Himmel an, zu unserem Heil. Engel, so licht und schรถn, winken aus sel’gen Hรถhn. Nรคher mein Gott, zu dir. Nรคher zu dir. (Sekalipun jalannya sempit dan curam, jalan itu tetap membawaku ke surga, untuk keselamatan kita. Malaikat lincah dan cantik mengejek dan melambaikan tangan. Lebih dekat pada-Mu, ya Tuhan. Lebih dekat pada-Mu).

Ketiga: Ist mir auch noch verhรผllt dein Weg allhier, wird nur mein Wunsch erfรผllt: Nรคher, mein Gott zu dir. Nรคher zu dir. (Sekalipun jalan-Mu kesini tersembunyi dariku, keinginanku akan terpenuhi. Lebih dekat pada-Mu. Ketika ziarahku berakhir, aku bangkit gembira. Lebih dekat pada-Mu, ya Tuhan. Lebih dekat pada-Mu).

Lagu “Nearer, My God To Thee” dinyanyikan menjelang tenggelamnya kapal Titanic di Samudera Atlantik Utara pada 14 April 1912. Kapal berpenumpang 2200 orang ini menabrak gunung es. Sebelum kapal tenggelam, seorang Pendeta meminta Musik Band menyanyikan lagu “Nearer, My God To Thee”. Band menghibur dan pendeta meyakinkan para penumpang, bahwa mereka sedang dalam perjalanan untuk lebih dekat dengan Tuhan.

Saya sedih atas kematian tragis Sr. Nikolin Pajo, SSpS. Tapi saya sadar bahwa setiap orang unik. Termasuk jalan-jalan unik menuju kematian. Sr. Nikolin memilih tetap tidur tenang saat gunung mulai bergemuruh. Ia tak mau lari keluar. Berlari keluar bagi seorang Nikolin artinya dekat dengan semua sahabat, tapi menjauh dari Tuhan. Maut merenggutnya saat tidur melalui batu panas besar dari Lewotobi Laki Laki. Dia tidur dan kemudian mati untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Nearer, My God, To Thee. Nรคher Mein Gott, Zu Dir. Lebih Dekat Pada-Mu, Ya Tuhan.

Kita di Indonesia memberi judul lagu ini: “Tuhan Berikanlah Istirahat”. Sr. Nikolin Katharina Pajo, SSpS, sudah lebih dekat dengan Tuhan. Semoga dia beristirahat dalam damai Tuhan.

Selesai!

*) Kirchgasse 4, 5074 Eiken AG, Swiss, Kamis Malam, 7 November 2024. Penulis adalah mantan Pastor Paroki Ratesuba Ende Flores 4 Oktober 1999 hingga 21 Pebruari 2006.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *