
Oleh: Drs. G. F. Didinong Say*
Rekrutmen calon taruna akademi kepolisian (catar akpol) di wilayah Polda NTT tahun 2024 ternyata menjadi viral belakangan ini.
Polemik segera muncul dalam berbagai kalangan masyarakat NTT setelah keluar publikasi 11 nama catar yang lolos. Termasuk reaksi keras dari BKH, representan NTT di Senayan. Hasil rekrutmen catar akpol 2024 tersebut nyaris tidak menampilkan nama khas pemuda NTT.
Kritik muncul dengan argumentasi yang paling remeh temeh hingga alasan yang fundamental.
Para pemuda NTT di Jakarta dikabarkan akan melakukan aksi damai ke Mabes Polri, menuntut pembatalan terhadap rekrutmen catar akpol 2024 yang diduga sarat KKN tersebut.
Namun sebagaimana lazim dalam kultur politik dan kekuasaan dewasa ini, sudah bisa diprediksi bahwa pihak kepolisian selaku instansi terkait akan melakuan klarifikasi normatif dengan sejumlah rasionalisasi. Semacam apologisasi bahwa proses rekrutmen catar akpol 2024 tersebut telah dilakukan secara fair, transparan, dan bla bla bla…yang pada ujungnya sesungguhnya akan semakin men-downgrade kualitas SDM pemuda NTT yang dikatakan kalah dalam kompetisi dan persaingan.
Halaman Belakang Republik
Kritik dan protes yang muncul dari berbagai kalangan masyarakat NTT terkait rekrutmen catar akpol 2024 itu tentu pertama-tama berbasis nilai. Ada rasa keadilan yang ditabrak. Seolah-olah NTT itu hanya sekadar nomenklatur tempat titipan berbagai kepentingan tertentu.
Suatu nilai (value) yang substantif tentu tidak tercipta di suatu ruang hampa, melainkan muncul dari relasi dan interaksi yang berkualitas.
Wilayah dan masyarakat NTT secara historis terbukti merupakan bagian utuh dari bangsa dan negara Indonesia. Sepanjang sejarah, orang NTT tercatat telah ikut berjuang, berkontribusi, dan berpartisipasi dengan banyak pengorbanan bagi tegaknya negara bangsa Indonesia. Maka sikap dan perlakuan disparitas, diskriminatif, eksploitatif dan seterusnya seperti yang nampak dalam rekrutmen catar akpol 2024 itu terasa sangat menyinggung menyakitkan hati. Seolah-olah NTT itu cuma halaman belakang republik ini. Masyarakat NTT ibarat warga negara kelas dua dan bukan pewaris yang sah dari republik ini.
Jauh sebelum Kelasi Paraja, anak Sabu yang memberontak dan mengibarkan Merah Putih di atas kapal Zeven Provincien, tahun 1933, para raja dan kepala suku di berbagai pulau di NTT sudah berperang melawan penjajahan Belanda. Perjuangan Marilonga, Teka Iku, Sonbai, dan lain-lain sejauh ini masih terabaikan dari catatan sejarah bangsa ini. Darah Herman Fernandez, pemuda Larantuka kelahiran Ende yang gugur dan kawan-kawan seperjuangan lain dalam milisi Lasykar Soenda Ketjil yang ikut menjaga Jogya, 1945-1949, ibukota republik dari gempuran NICA Belanda seperti tak berarti apa-apa lagi dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara bangsa. Keikhlasan I.H. Doko, Raja Don Thomas, para Umbu dari Sumba untuk kembali ke pangkuan republik di tahun 1949-1950, kini seperti tak perlu diapresiasi sepantasnya.
Sudah sejak merdeka hingga kini, sepanjang sejarah republik ini, tak sedikit kontribusi dan partisipasi orang NTT datang silih berganti dalam berbagai bidang dan level kehidupan bersama demi kemajuan bangsa.
Namun seluruh catatan historis yang membentuk ikatan dan nilai nasionalisme kesatuan persatuan NKRI itu tetiba seperti tercoreng oleh rekrutmen catar akpol 2024 yang patut diduga konspiratif oleh segelintir oknum ordal yang rakus dan tak tahu malu.

Kontroversi Kultur Politik Machiavelistik
Budaya praktis dan pragmatis dalam politik dan kekuasan dewasa ini kian merebak, merasuk dalam berbagai aspek kehidupan bersama. Membentuk mindset, mental dan perilaku yang semakin mengabaikan nilai dan moralitas. Semangat anti KKN yang diusung gerakan reformasi misalnya, kini cenderung menjadi sekadar jargon kosong belaka. Kalau ga gila ga kebagian (ora edan ora keduman).
Para aktor sosial politik dengan berbagai instrumen akan bersedia melakukan segala rekayasa dan manuver untuk tetap bisa berkuasa, mengontrol dan mengatur. Aku berbohong maka aku ada, seperti menjafi spirit dan filosofi baru di zaman edan ini. Di saat yang sama, dalam fenomena kultur politik machiavelistik tersebut, publik sebagai crowded yang kehilangan nalar kritis itu nampak semakin mudah tergiring. Memori pendek publik, teknik pengalihan isu dan pembentukan opini serta sifat suka makan puji maupun sanjungan dengan sedikit suap, akan membangkitkan kembali mental inlander yang suka merunduk menyembah sang dipertuan ageng si tukang tipu.
Momentum kontroversi rekrutmen catar akpol 2024 ini bagi masyarakat NTT seharusnya bisa menjadi semacam enlightenment. Kesadaran kembali untuk berjuang dalam aras nilai dan moralitas, termasuk spirit kebangsaan.
Miris saja. Kalau kemarin misalnya dalam pilpres 2024, mayoritas orang NTT bersetuju dengan praktik nepotisme dan kawan-kawan, mestinya hari ini mereka tidak kagetan lagi dengan hasil rekrutmen catar akpol 2024 tersebut. Syukurlah. Never late than never.
Pecalang
Semoga reaksi, protes dan tuntutan para pemuda NTT di Jakarta nanti akan didengarkan oleh para pihak terkait dan ditindaklanjuti. Termasuk oleh pimpinan tertinggi negara ini. Bukan sekadar anjing menggonggong kasih tulang diam.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari case penyelundupan catar akpol 2024 itu. Blessing in disguise, antara lain adalah muncul gagasan untuk membentuk polisi adat di NTT seperti Pecalang di Bali. Suatu bentuk social and cultural defense mechanism yang mengandalkan local wisdom dengan pendekatan humanis dan rekonsiliatif untuk penanganan masalah ketertiban dan kedisiplinan serta justice awareness dalam kehidupan bersama. Guyonan Gus Dur soal polisi jujur itu sepertinya masih lucu.
*) Diaspora NTT, tinggal di Jakarta.