
Ama, Laut dan Rindu Pulang Rumah*
Laut adalah sahabat karib, tempat Ama meletakan kepala dan menghangatkan tubuh.
Barangkali ia masih ingat pagi itu, saat langit belum begitu terang dan angin memangkas segala rindu untuk pulang.
Selepas perahu berkemas dan petang merembang jauh, Ama masih di situ: mengingat mimpi-mimpi yang pergi sebelum waktunya.
Senja meruncing merah, tak ada kabar dari seberang pulau. Ayah dan ibu hanya memeluk doa. Tabah!
Ia mungkin saja masih ingat Senin: dengan kostum dan nomor punggung 99. Sebelum bola melekat di tangannya, ia keburu pergi kepada Sang Khalik .
Di laut, doa-doa para peziarah ditabur. Lima hari engkau pergi memeluk sunyi dan gelombang laut yang memutar arah angin. Dingin!
Pagi-pagi buta Ama datang: ema dan bapa, sanak keluarga, dan handai tauland hanya terseduh-seduh. Mereka berharap memelukmu rindu, biar sekali ini saja!
Meski pelukan kali ini lebih akrab dari butiran doa, lebih dalam dari samudra, lebih dangkal dari laut, lebih sunyi dari liang lahat.
Ama telah pergi membawa mimpi-mimpinya kepada Tuhan.
Mungkin saja, Ama akan bercerita tentang kasih ayah dan ibu, juga rumah, tempat ia pulang meletakan kepala selepas lelah merumput di lapangan bola.
Dan Sang Pemilik Teguh akan berujar: “di rumah Bapa-Ku banyak tempat Tinggal”
*) Puisi ini adalah bingkisan bagi Ama dan semua cinta yang ikut mencari Ama, pasca tenggelamnya lima hari pada tahun 2023.
Gus yang Ingin Jadi Bupati
Gus duduk di rumah sedang memijit tombol handphone miliknya
Namanya ada dalam layar koran berita sore ini
‘Politik ini kejam,’ katanya.
Ia meraih sebuah tanya di kepala dan duduk memijit ingatannya sendiri.
Hujan dan angin berhembus jauh membawa harapan-harapan yang telah tiada.
Beberapa waktu lalu ia mendaftar jadi calon bupati. Namanya asyik masyuk dibanting di beranda Facebook dan WhatsApp.
Semalam suntuk ia merasa ada yang tak beres setelah melewati kecakapan panjang ia duduk dengan takzim. Layar handphone miliknya berdering kering memberitakan kabar tak sedap itu.
Ia ingin menangis rasa-rasanya setelah mendapati harum namanya terbakar oleh pemberitaan di koran tadi.
Ia duduk bergumam ‘mengapa politik yang pada galibnya suci telah dilacuri oleh politisi dan anomali hukum di negeri ini?’
Ia merasa begitu cepat permainan ini berakhir dalam sebuah sajak dan larik yang terdengar gemeletuk. ‘Aku dibunuh sebelum tiba penetapan itu,’ katanya membatin.
Sebelum burung-burung terbang ke sarang dan laut terbantun di bibir pantai, ia menatap jam dinding di rumah tua miliknya: jeda, jam itu membatu!
Di bawah Pohon Jati, 8 Mei 2024
Yurgo Purab adalah Jurnalis asal Lewotolok, Desa Amakaka, Lembata. Usai menyelesaikan sarjana Filsafat di STFK Ledalero dan S-2 Teologi di kampus yang sama, Yurgo memilih menetap di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Selain menjadi jurnalis di sana, Yurgo Purab juga menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi, cerpen dan opini.