Teman Baru

Spread the love
Muhammad Alkaf (Foto: Doc. Bung Alkaf)

Oleh: Muhammad Alkaf*

Bahwa laki-laki mudah mendapatkan teman, bukanlah mitos, bahkan benar adanya. Saya mengalaminya kemarin ketika menonton pertandingan Timnas Indonesia melawan Irak.

Ceritanya tidak rumit, seperti tidak rumitnya laki-laki memiliki teman baru dalam sekejap.

Menjelang kick-off, saya mendatangi warung kopi di depan rumah, yang telah menjadi tempat biasanya untuk bersantai di sore dan malam hari. Di Aceh memang hanya ada warung kopi tempat umumnya laki-laki melepas penat. Dari luar warung kopi, saya melihat dari layar yang sengaja dipasang oleh pengelola, pertandingan akan dimulai. Para pemain dari kedua tim sudah hampir selesai menyanyikan lagu kebangsaan. Tentu saja, bagi yang sering menonton sepak bola di warung kopi, jam kedatangan seperti saya itu, tidaklah ideal. Besar kemungkinan, kursi-kursi strategis yang menghadap ke layar sudah terisi.

Ternyata, benar.

Kursi-kursi mulai ada penghuninya. Saya mulai kebingungan. Jangan-jangan, saya kehilangan kesempatan untuk menyaksikan pertandingan penting itu. Sampai kemudian, saya mendapatkan limpahan rahmat karena ada satu meja yang dimiliki oleh satu orang, dengan dua kursi yang kosong.

Sumber foto: 123RF

Lazimnya adat laki-laki ke warung kopi, jika melihat kursi kosong tidak patut untuk diambil tanpa terlebih dahulu menanyakan kepada pemilik meja. Saya melakukan itu. Bahkan tidak hanya bertanya apakah status kursi itu tanpa pemilik, tetapi juga meminta izin untuk bergabung di mejanya.

“Boleh bergabung, Bang?” tanya saya seramah mungkin.

Ooo… boleh.”

Lalu, sambil melihat punggawa timnas menjalankan rencana pertandingan, obrolan basa-basi yang sepertinya tidak penting pun terbit. Saya bertanya sejak jam berapa ada di warung ini. Lalu, dia pun menjawab dengan baik pula, bahwa dia sudah berada di tempat itu sejak jam tiga sore setelah berkeliling mencari warung kopi yang mengadakan nonton bareng pertandingan timnas.

Obrolan kami semakin akrab karena yang bersangkutan ternyata penonton fanatik timnas. Penandanya adalah dia mengetahui tentang turnamen Toulon yang diikuti oleh timnas binaan Indra Sjafri. Bahkan, yang menarik, ketika saya mengatakan dengan nada yang sedikit masygul tentang kekalahan timnas di turnamen itu dari Ukraina, yang bersangkutan langsung memberi komentar positif melebih semangat Eric Tohir di ruang ganti timnas, “Ukraina datang dengan tim U-23 yang dibawa ke Olimpiade, sedangkan kita membawa timnas U-20.”

Sepanjang sembilan puluh menit pertandingan, kami seperti sahabat dekat. Mulai dari ekspresi kekecewaan karena beberapa peluang timnas gagal dikonversi menjadi gol di babak pertama, sampai terdiam seribu bahasa ketika dua gol Irak bersarang ke gawang Ernando Ari.

Selesai pertandingan, sebagaimana adat yang tidak tertulis bagi laki-laki Aceh yang meminum kopi, saya membayar seluruh biaya minum dan makan di meja itu. Dengan lagak, bukankah begitu cara laki-laki Aceh menunjukkan sisi partiarkisnya di warung kopi, saya meminta pekerja di warung kopi untuk menghitung seluruh biaya makan minum yang ada. Tentu saja, teman yang baru saja berjumpa merasa sedikit kikuk dan berusaha menolak kebajikan hati saya. Tetapi, sebagaimana pepatah yang tidak ada riwayatnya, pantang bagi laki-laki Aceh memasukkan kembali dompet yang telah dikeluarkan dari saku celananya.

Pertandingan pun usai, kopi dan makanan sudah saya bayar. Lalu, kami pun berpisah. Jangan tanya kepada saya, siapa namanya. Saya tidak tahu. Saya rasa, dia pun begitu.

*) Penulis adalah penggemar bola, pendukung Timnas Indonesia, tinggal di Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *