
Oleh: Sugeng Teguh Santoso, S.H., M.H.*
Di luar dugaan, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memanggil empat Menteri dari Kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk berbicara di dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres 2024 yang dijadwalkan digelar pada Jumat (05/04/2024).
Keempat Menteri tersebut yakni Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy; Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto; Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati; dan Menteri Sosial, Tri Rismaharini.
Ketetapan majelis MK memanggil empat Menteri Kabinet Indonesia Maju ini di luar dugaan. Pasalnya, dalam pembuktian sengketa Perolehan Hasil Pemilihan Umum (PHPU ) ini, menganut prinsip Actio in Cumbit Probatio; yaitu pihak yang menggugat harus membuktikan.
Dalam prinsip Actio in Cumbit Probatio, posisi pengadil (Majelis Hakim MK) pasif; dalam pengertian hakim akan menyerahkan hak membuktikan permohonan dengan alat bukti surat, saksi dan ahli serta menghadirkannya pada pihak pemohon dan termohon.
Kecuali dalam permohonan pengujian UU, Mahkamah (dapat) atas inisiatifnya sendiri, memanggil ahli untuk memberikan pandangan dan keterangan ahli.
Pernyataan Ketua Mahkamah, Suhartoyo, sangat menarik untuk dicermati; bahwa “Mahkamah menolak permohonan pemohon dan termohon untuk menghadirkan saksi-saksi Menteri Kabinet Jokowi, tetapi melalui musyawarah Hakim, menetapkan atas kewenangannya sendiri untuk memanggil beberapa Menteri Jokowi yang terkait kesejahteraan sosial dalam penggelontoran bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat,” merupakan argumentasi alasan yang patut dicermati.
Penetapan Majelis Hakim memanggil saksi para menteri ini harus menjadi tanda awas, bahwa Mahkamah mulai berpikir dan bergeser dari soal penilaian ‘Mahkamah Kalkulator’ ke arah Mahkamah yang berusaha menemukan kebenaran dan keadilan.
Pernyataan Ketua Mahkamah, Suhartoyo, yang menyatakan bahwa saksi-saksi Menteri saat hadir di sidang nanti hanya akan ditanya oleh Hakim Mahkamah saja dan melarang para pemohon, termohon atau kuasanya bertanya, merupakan alasan yang sangat menarik dan tepat.
Hakim-hakim Mahkamah tentu akan bertanya dan menggali, dengan harapan tidak mengadili saksi-saksi Menteri, sehingga para saksi (keempat Menteri) tersebut dapat bebas menyampaikan keterangannya tanpa merasa diintimidasi.
Pelarangan pada para pemohon dan termohon bertanya merupakan langkah yang tepat, agar para menteri tersebut tidak merasa ditekan, diadili dan diintimidasi.
Pelarangan ini harus ditegaskan kembali oleh Hakim Mahkamah. Kalau ada yang melanggar, harus dinilai melawan perintah Mahkamah dan Tata Tertib (Tatib) sidang, sehingga patut dikeluarkan.
Pertarungan Argumentasi Akademis
Argumentasi Advokad termohon pasangan 02 yang mau mengarahkan Mahkamah agar hanya memproses soal selisih angka (selisih suara), rupanya mulai tidak dilirik dengan tindakan Mahkamah yang menggunakan kewenangannya dengan memanggil para Menteri Jokowi yang mengurus bansos sebelum dan mendekati Pemilu 2024.
Pertarungan hukum dalam ruang sidang Mahkamah adalah pertarungan nalar sehat berbasis argumentasi akademis yang harus dimenangkan oleh para Advokat pemohon dan termohon, untuk selanjutnya bisa membawa suasana kebatinan agar para Hakim Konstitusi setuju dengan dalil-dalil pemohon atau termohon. Advokat-advokat ‘salon’ yang kosong ilmu, tidak laku di sini.
Dalam pertarungan hukum di Mahkamah Konstitusi, semestinya upaya proses sidang adalah menemukan kebenaran dan keadilan untuk bangsa dan negara, bukan untuk pasangan Presiden atau Wakil Presiden yang sedang bertarung di Mahkamah.
Keputusan Majelis dengan memanggil saksi-saksi Menteri Jokowi, merupakan fenomena kemenangan sementara pertempuran argumentasi kuasa hukum pemohon dengan menghadirkan ahli ahli di persidangan.
Paradigma ‘Mahkamah Kalkulator’ bisa digeser ke arah yang substansial; yaitu bahwa perolehan suara paslon Capres-Cawapres “dikontribusi” oleh adanya penggelontoran bansos yang berasal dari APBN dan juga sikap berpihak Presiden Jokowi.
Argumentasi pemohon untuk meyakinkan Majelis Mahkamah bahwa perolehan suara hasil Pemilu dengan paslon 02 sebagai pemenang, ‘dikontribusi’ oleh keberpihakan Presiden, rupanya mendapat respon dari Majelis Hakim Mahkamah.
Terbukti, Hakim Mahkamah menetapkan untuk memanggil saksi-saksi para menteri Jokowi. Hasil dari proses yang tidak adil adalah ketidakadilan. Begitulah kira-kira pikiran Majelis Mahkamah.
Pelanggaran Kualitatif TSM
Sangat penting juga melihat fakta persidangan yang mendorong Majelis Mahkamah memanggil saksi-saksi Menteri jokowi.
Di antara fakta persidangan tersebut yakni keterangan Ahli Ekonomi UI, Vid Adrison, yang memaparkan data berisikan petahana yang mendukung salah satu paslon, fenomena bansos, hingga perbandingan suara Prabowo tahun 2019 dan tahun 2024.
Menurut Ahli Vid Adrison, kebijakan yang didukung pemerintah petahana melalui bansos akan menaikkan suara yang didukung petahana.
Ahli Vid Adrison mencatat, Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke 30 Kabupaten/Kota sejak Oktober 2023 hingga 1 Februari 2024. Jokowi memberikan 44 bantuan. 50 persen kunjungan Jokowi terjadi di Jawa Tengah (Jateng). Total bantuan Jokowi mencapai Rp 347,2 Trilun.
Dinyatakan Ahli, ternyata ada kenaikan paslon 02 yang cukup besar dibandingkan suara Prabowo pada pilpres 2019 lalu dengan kenaikan rata rata 32 persen; minimum 6,3 persen dan maksimum 66,3 persen.
Selain keterangan Ahli Ekonomi Vid Adrison telah didengar, akan didengar juga ahli dalam sidang Mahkamah; yakni Ahli Bambang Eka Cahya, Ekonom senior Faisal Basri, Ahli Hukum Administrasi Ridwan, Ahli forensik digital Yudi Prayudi, Pengamat ekonomi Anthony Budiawan dan pakar Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan.
Beberapa keterangan ahli ini rupanya mampu membuat Majelis Hakim Konstitusi mengabaikan prinsip Actio in Cumbit Probatio dan mengambil alih kewenangan menghadirkan saksi kepada Mahkamah itu sendiri.
Kalau terjadi benar kehadiran para Menteri Jokowi yang membidangi kesejahteraan masyarakat dengan program penggelontoran bansos, pada sidang lanjutan yang dijadwalkan Jumat (5/4/2024), maka ada potensi bergesernya padadigma ‘Mahkamah Kalkulator’ menjadi pengadil dugaan pelanggaran kualitatif: Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) akan menjadi kenyataan.
Bansos adalah candu masyarakat. Tanpa bansos, masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.
Dengan adanya bansos, masyarakat dibuat berharap dan menunggu hadirnya bansos.
Bansos telah mengintervensi pikiran masyarakat bawah untuk kemudian digiring untuk kepentingan tertentu.
*) Penulis adalah Advokat, Ketua Umum Peradi Pergerakan. Ditulis pada Selasa, 02 April 2024.