Problem Demografi, Konflik Peradaban, dan Kualitas Hidup

Spread the love
Nurani Soyomukti (Foto: Doc. NS)

Oleh: Nurani Soyomukti*

Pada tanggal 19 Maret 2024 lalu, waktu mendampingi anak saya mengunjungi Candi Prambanan di Yogyakarta, tanpa sengaja saya bertemu dengan orang bule dari Belgia. Alphonse Wijnants, 72 tahun, pensiunan guru. Dengan pengetahuan saya yang terbatas sebagai sarjana Ilmu Hubungan Internasional yang sudah lama tak memanfaatkan ilmu selama kuliah, dan dengan kemampuan speaking saya yang menurut saya biasa-biasa saja, saya berdiskusi hampir dua jam. Obrolan berlangsung di bawah salah satu candi di kompleks candi Prambanan, Yogyakarta.

Mungkin karena ketertarikan saya tentang politik lebih kuat, daripada tentang sepak bola misalnya, obrolan pun sampai pada soal relasi antara muslim yang merupakan imigran di Eropa dengan warga setempat—salah satunya Pak Alphonse yang berasal dari Belgia ini. Saya sendiri sempat meneliti tentang politik ultra-kanan di Eropa pada tahun 2012 lalu, yang menjadi bahan tulisan dalam naskah buku saya Pertarungan Ideologi Dunia Abad 21 yang sudah dibeli penerbit Narasi Yogyakarta, tapi tampaknya bukunya belum terbit hingga sekarang.

Menarik untuk membicarakan pola hidup suka menikah dan berkembang biak di kalangan umat muslim yang juga berdatangan ke negara-negara lain baik secara ‘biasa’ maupun sebagai pengungsi dari kawasan Arab yang sedang berkonflik. Fakta menunjukkan bahwa negara-negara dengan jumlah penduduk yang sedikit tapi berkualitas itu, terus tumbuh menjadi negara yang warganya berbahagia. Ambil contoh negara-negara Skandinavia, seperti Finlandia yang punya indeks kebahagiaan tertinggi di dunia.

Kampanye poligami dari kalangan imigran muslim di Eropa sendiri telah banyak mendapatkan respon, baik secara ideologis maupun sosial politik. Partai ultra-kanan yang anti-Islam kian mendapatkan dukungan di negara-negara Eropa. Mereka menyebut kehadiran muslim dengan budaya poligami dan suka beranak-pinak sebagai ‘demographic war’ (perang demografis) terhadap tradisi barat yang menjunjung kesetaraan, anti-penindasan terhadap perempuan, dan model relasi cinta yang setara (bahkan tanpa pernikahan).

Tentunya, perbedaan cara berpikir antara imigran muslim dan penduduk Eropa kian hari kian menjadi isu politik yang kian bisa dijadikan untuk mendapatkan dukungan. Di Belgia misalnya, partai yang punya sikap anti-imigran yang tahun lalu menang 40% diperkirakan dalam Pemilu Mei depan ini akan memenangkan Pemilu.

Mungkinkah fenomena ini menegaskan kembali apa yang disampaikan oleh Samuel Hutington dalam tulisannya Clash of Civilization (Benturan Peradaban) yang ramai dibicarakan saat saya kuliah dulu?

Yang jelas ada perbedaan cara berpikir, gaya hidup, cara pandang terhadap manusia antara orang barat yang diwarnai tradisi kebebasan, kesetaraan, dan keadilan, yang juga identik dengan slogan revolusi yang menyapu Eropa dua abad lalu, misalnya slogan “Liberte, Egalite, Fraternite” dalam Revolusi Prancis pada abad 18.

(Foto: Ist.)

Di luar pembahasan soal politis dan ideologis di atas, menurut saya, untuk saat ini kita memang harus mengendalikan pertumbuhan penduduk dunia. Sebab jumlah penduduk yang tak terkendali sebenarnya adalah penyebab masalah yang serius.

Di negara yang jumlah penduduknya banyak seperti Indonesia, pemerintahannya sudah mulai menyadari bahwa terlalu banyak penduduk juga akan menimbulkan masalah. Program yang dilaksanakan di antaranya adalah kampanye pembatasan jumlah anak lewat Program Keluarga Berencana (KB) dan pencegahan usia pernikahan yang terlalu dini.

Saya juga mengakui bahwa menikah terlalu cepat di usia dini itu menumpulkan potensi kemajuan bangsa. Seharusnya anak-anak remaja dan kaum muda itu banyak menghabiskan waktu untuk belajar, dengan pengetahuan dan teknologi menemukan hal yang bermanfaat, juga berperan secara sosial. Banyaknya waktu yang digunakan untuk memikirkan penemuan-penemuan, untuk kerja-kerja dan peran-peran produktif, banyaknya anak-anak muda yang terjun pada kegiatan seperti itu, tentunya akan memberi kontribusi besar bagi kemajuan masyarakat.

Anak-anak muda yang sibuk mengeluarkan energinya untuk hal-hal yang produktif. Anak-anak muda yang terjun dalam kegiatan-kegiatan kreatif. Pun juga yang kritis terhadap kekuasaan agar kekuasaan yang elitis dan tak demokratis mulai terbuka pada kehendak dan partisipasi orang banyak. Misal pemuda-pemuda desa yang membuat kegiatan-kegiatan membangun tempat wisata, membuka lapangan kerja, hingga mau berhubungan dengan pemerintah desa lalu budaya pemerintahan mulai membuka diri pada kemauan masyarakat dan anak-anak muda.

Bayangkan jika remaja dan kaum muda di sebuah masyarakat hanya sibuk untuk segera menikah, masih usia belia sudah punya anak. Kontribusi mereka hanyalah menternakkan penduduk-penduduk baru yang membuat masyarakat semakin padat, sementara persaingan hidup kian menguat. Remaja-remaja dan anak-anak muda yang sudah terdomestifikasi untuk mengurusi kepentingan domestik—yang ujung-ujung dari tiap kegiatan adalah mencukupi kebutuhan keluarga (suami-istri dan anak).

(Foto: Ist.)

Ketika sudah mulai mengenal seks terlalu dini, lalu menikah di usia muda. Sejak kenal ngeseks, manusia akan mengalami ketergantungan. Tidak bertemu menjadi amat rindu, galau, resah. Bertemu pun tak bisa melakukannya lagi karena sudah kecanduan dan ingin terus. Melakukan hubungan seks di rumah orang jika belum nikah pasti akan jadi bahan rasan-rasan.

Menikah adalah cara legal untuk memenuhi seks secara ajeg dan tidak jadi bahan perunjingan. Tetapi konsekuensinya, harus memikirkan membiayai sendiri hidupnya, tak selalu bisa tergantung pada orang tua dan mertua. Setelah punya anak, keluarga harus dihidupi. Ketika sulit menghidupi keluarga dan bahkan sulit untuk menghidupi diri sendiri, ketergantungan pada orang tua (kakek-nenek dan mertua) juga semakin besar. Bukannya menjadi lebih produktif dan kreatif, malah merepotkan orang lain.

Bagaimana pula ketika usia belum 18 tahun sudah menikah? Padahal usia 18 tahun ke bawah, menurut UU Perlindungan Anak, merupakan kategori anak. Dan anak pun punya anak. Usia anak-anak harus jadi ibu dan atau ayah. Anak membesarkan dan merawat anak. Apa kira-kira yang akan terjadi?

Pemerintah dan kelompok sosial yang peduli pada generasi masa depan terus melakukan kampanye “Stop Pernikahan Dini!” Pemerintah membuat program-program penyadaran dan penggalangan aksi sosial agar kampanye “Menjadi Generasi Berencana” bisa masuk pada kesadaran anak-anak remaja dan kaum muda. Para remaja dan kaum muda itu diajak bukan hanya memikirkan masa depan mereka sendiri, tapi juga masa depan dunia.

Dunia harus diisi dengan generasi yang punya kualitas. Tak perlu banyak-banyak penduduk dunia, jangan sampai jumlah penduduk melampaui batas. Persediaan pangan dan energi mengalami keterbatasan, sedangkan pembaruan sumber daya dan energi masih belum bisa diandalkan sebagai solusi. Terlalu banyak penduduk akan meningkatkan persaingan hidup yang ketat. Jika terlalu banyak jumlah manusia tetapi tidak produktif dan hanya tergantung pada bantuan orang lain juga akan merepotkan. Belum lagi efek lingkungan dari konsumsi dan produksi yang menyisakan sampah dan industrialisasi yang mengakibatkan polusi dan kerusakan kualitas lingkungan hidup.

Terlalu banyak manusia, industri pun memberikan keuntungan pada segelintir orang. Yang lain bekerja apa adanya dan yang di daerah pinggiran menebangi hutan-hutan. Limbah-limbah industri juga semakin merusak tanah, air, dan udara. Untuk apa banyak orang jika mereka sakit-sakitan secara fisik, psikologis, dan kualitas hidupnya jelek?

*) Penulis, aktivis sosial, dan saat ini tinggal di Trenggalek – Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *