
Oleh: Bonefasius Zanda*
Penggunaan metode soal subjektif (esai) dalam mengevaluasi pembelajaran peserta didik masih sangat minim diterapkan dalam lembaga pendidikan Indonesia. Hal ini menyata dalam setiap pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN) hingga kini masih memakai soal objektif (pilihan ganda). Hemat saya, alasan mendasar di balik penerapan soal-soal pilihan ganda dalam mengevaluasi pembelajaran peserta didik pun hingga kini tak ada kejelasan.
Secara pribadi, soal-soal pilihan ganda sudah saya alami sejak 30 tahun silam semasa mengenyam Pendidikan Menengah Atas. Nah, jikalau saat ini soal objektif tetap menjadi primadona dalam dunia pendidikan, itu bukan menjadi hal baru. Bahkan sudah membudaya dalam setiap pelaksanaan evaluasi pembelajaran seperti ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN), hingga Ujian Nasional (UN).
Berdasarkan pengalaman nyata, ketika masih berstatus sebagai peserta didik menegah atas, saya justru sangat senang dengan soal-soal pilihan ganda. Ada 4 alasan yang melatarbelakanginya.
Pertama, soal pilihan ganda sudah menyiapkan jawaban yang tepat dan juga pembudayaan terhadap sikap pragmatis. Soal pilihan ganda banyak menawarkan kemudahan. Bahwa dalam situasi yang tidak siap pun, siswa bisa menebak jawabanya. Jawaban yang dipilih pun bisa salah, juga bisa benar. Alhasil nilai serta kelulusan yang diperoleh bukan berdasarkan kebenaran pilihan option karena memahami, tetapi lebih banyak karena faktor keberuntungan.
Kedua, soal pilihan ganda banyak menciptkan peluang untuk bekerja sama antar siswa. Biasanya siswa memakai kode-kode khusus yang tak dimengerti oleh guru. Semisal, kalau kedua jari telunjuk dan kedua ibu jari membuat simbol love, itu berarti jawabanya A. Dan simbol ini biasanya sudah direncanakan jauh sebelum ujian.
Karenannya, seketat apa pun pengawasannya, para siswa tetap berusaha dengan berbagai cara agar peluang untuk bekerja sama melalui simbol-simbol itu tetap dilakukan. Selain itu, jawaban sementara, sangat mudah untuk ditulis pada telapak tangan, pada meja atau kursi dan bahkan kertas.
Melalui kertas-kertas kecil itu juga para siswa akan dengan gampangnya untuk saling mengoper ketika ada peluang.
Hal lain yang tak dapat dimungkiri juga adalah soal mental pemerintah dan para pendidik. Bahwa pembudayaan terhadap penerapan soal-soal objektif, secara tak langsung mau menegaskan bahwa pemerintah dan para pendidik sedang membudayakan mental-mental instan. Hal ini menyata pada kemudahan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa.
Ini saya alami ketika sudah menjadi pendidik. Ya, jika ingin hemat pikiran, waktu, dan juga ingin mengolah nilai akhir siswa secara cepat, maka menggunakan soal-soal pilihan ganda adalah opsi yang paling tepat. Alhasil murid, guru, dan pemerintah ramai-ramai membudayakan mental instan.
Sebuah Ironi
Ada satu hal yang amat berbeda ketika saya mulai mengenyam pendidikan pada perguruan tinggi, yakni seputar model evaluasi pembelajaran. Soal-soal objektif yang diterapkan dalam dunia pendidikan menengah tak saya temukan lagi dalam dunia perguruan tinggi. Yang saya alami justru sesuatu yang amat asing sekali. Di mana, selama 4 tahun saya harus bergelut dengan dunia analisis.
Soal-soal esai yang diberikan oleh para dosen selalu berpijak dari realitas sosial yang mengharuskan mahasiswa untuk sebisa mungkin menganalisis secara tajam, akuntabel, serta mampu mengenali kemampuan diri sendiri. Hingga pada akhirnya dimampukan untuk menjadi sumber solusi bagi diri, sesama dan lingkungan sosial.
“Jikalau pada faktanya bahwa dunia perguruan tinggi akan mengarahkan, mendidik serta mengharuskan mahasiswa untuk berpikir analitis hingga pada tataran praksis untuk menulis karya-karya ilmiah, mengapa prosesnya tidak diterapkan sedini mungkin. Ya, paling kurang mulai dari pendidikan menengah atas,” kataku dalam hati.
Pada titik ini, saya dan bahkan publik harus mengakui bahwa proses pendidikan kita sedang tersumbat. Perbedaan penerapan sistem atau model evaluasi pembelajaran yang amat mencolok antar pendidikan menengah atas dan pendidikan perguruan tinggi telah melahirkan jurang pemisah yang amat dalam. Ini adalah sebuah ironi dalam dunia pendidikan yang terjadi sejak zaman dahulu hingga kini pada zaman yang katanya sudah serba maju itu.
Akhirnya, berdasarkan berbagai fakta dan pengalaman sebagaimana telah dipaparkan terdahulu, saya pun menyadari bahkan mengakui bahwa metode evaluasi pembelajaran dalam bentuk objektif itu hanya mampu mengarahkan anak untuk berpikir instan, lulus ujian dan juga memperoleh ijazah. Sedangkan soal pemahaman dan pendalaman materi sangat diragukan.
Karenannya, apa yang dikatakan Rocky Gerung bahwa “Ijazah itu tanda orang pernah sekolah, bukan tanda orang pernah berpikir” menjadi benar adanya. Sebaliknya, pengabaian terhadap proses, daya juang dalam berpikir dan beranalisis yang seharusnya ditanamkan dalam diri anak didik sejak dini, terus dipupuki. Bahkan peserta didik, juga guru akan semakin jauh dan terasing dengan dirinya, sesama dan realitas sosial yang terjadi di sekitarnya.
Oleh karena itu, tak perlu heran jika banyak tamatan sekolah menengah atas yang tak mampu mengenyam pendidikan tinggi, bahkan Sarjana lebih banyak menjadi generasi yang bermental instan. Lebih banyak ingin menjadi individu sebagai ‘pemilih’ terhadap produk atau hasil keputusan orang lain yang lebih cerdas, ketimbang menjadi agen inovasi, kreatif dan kreator produk atau keputusan, bagi orang lain untuk memilih.
Fakta ini adalah salah satu dampak negatif tak langsung dari penerapan model evaluasi pembelajaran objektif itu sendiri. Bahkan, dalam memilih option yang sudah disiapkan itu pun, masih termaktub peluang untuk mempraktikkan cara-cara yang tidak bermoral. Tak heran pula kalau kita menemukan kebanyakan guru yang tak mampu menulis. Akhirnya, harus menyewa joki penulisan karya ilmiah untuk kenaikan pangkat. Miris memang. Tapi inilah fakta yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan kita.
Sekolah untuk Hidup
Sasaran sekaligus agen utama pendidikan adalah manusia. Orientasi tunggal dari pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk hidup lebih baik dari semua aspek hidup itu sendiri. Salah satu faktor dari sekian faktor penunjang proses pendidikan untuk hidup itu sendiri adalah pembudayaan penerapan evaluasi pembelajaran dalam bentuk esai sejak dini, bahkan sejak di bangku sekolah menengah pertama.
Secara pribadi, sebagai seorang pendidik, saya menerapkan metode evaluasi pembelajaran melalui soal-soal esai. Metode ini saya gunakan mulai dari ulangan harian, ujian semester hingga ujian akhir semester. Tugas-tugas pun selalu dalam bentuk opini atau makalah sederhana dan wajib dikirim melalui email.
Ada dua hal yang melatarbelakanginya. Pertama, melalui soal-soal esai para peserta didik dilatih dan bahkan diarahkan untuk masuk dalam dunia nilai-nilai seperti kemandirian, kejujuran, akuntabilitas, kreatif, inovatif dan daya juang yang tangguh. Hasil yang ideal, mungkin masih jauh dari yang diharapkan, namun paling kurang peserta didik sudah mulai masuk dalam pembudayaan proses humanis yang berkelanjutan.
Kedua, mempersiapakan generasi, baik guru maupun murid yang memiliki napas literasi. Melalui soal-soal esai, suka atau tidak suka, anak-anak harus mulai untuk menulis. Terlepas jawaban yang mereka uraikan itu benar atau salah, tapi paling kurang mereka sudah dibiasakan untuk menganalisis dalam bentuk uraian.
Pada titik ini, guru pun sedang belajar dari apa yang diuraikan oleh peserta didik. Nilai kesetiaan untuk memeriksa setiap hasil uraian peserta didik pun dikedepankan. Murid dan guru pun menjadi sahabat untuk saling belajar satu sama lain tanpa henti.
Ketiga, menemukan jati diri dan tidak mengalami keterasingan dengan realitas sosial. Melalui soal esai, peserta didik dimampukan untuk mengenal diri dan kemampuannya. Bahwa apa yang dikerjakan adalah hasil dari pemahamannya secara jujur, bukan berdasarkan hasil tebakan. Dari situ peserta didik juga akan semakin memahami berbagai realitas sosial yang terjadi di sekitarnya. Sebab, soal esai juga adalah bentuk uraian dari realitas sosial itu sendiri, yang kemudian dianalisis secara baik untuk menemukan jawaban yang tepat pula.
Mari Berbenah
Jika penerapan evaluasi pembelajaran dengan menggunakan metode subjektif (esai) menjadi salah satu opsi sistematis nan humanis untuk menyiapakan peserta didik yang berkarakter unggul, maka segeralah berbenah sedini mungkin. Lembaga pendidikan dan juga pendidik tak boleh mati gaya dengan kreativitas di hadapan aturan jika cara atau strategi yang digunakan itu berdampak baik bagi peserta didik. Darinya lahirlah generasi yang tidak pernah nyaman dengan situasi dirinya melainkan mampu keluar dari dirinya, peka dan memiliki ketajaman analisis solutif terhadap beragam realitas yang terjadi.
Dengan demikian para generasi akan memiliki kemampuan untuk menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja soal ruang, melainkan waktu. Karenanya, manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (kini), tetapi dapat menembus ke ‘sana’ dan ke ‘masa depan’ ataupun ‘masa lampau’.
Kemampuan untuk menerobos ini hanya bisa digapai jika lembaga pendidikan dan para guru kita mampu untuk selalu menghidangkan makanan-makanan bergizi, yang selalu disesuaikan dengan selera-selera peserta didik yang bertanggung jawab.
Bahwa di tengah kemajuan global yang menawarkan aneka ragam pilihan yang instan, maka lembaga pendidikan harus menyiapkan generasi yang memiliki tipikal pejuang dan mau keluar dari zona zaman dirinya. Dan penerapan soal-soal esai adalah salah satu cara mendidik generasi yang memiliki roh dan napas pejuang itu sendiri.
Sehingga, harapan agar kualitas pendidikan dan juga para generasi kita dari waktu ke waktu bisa memiliki daya saing dengan negara-negara lain di dunia, dapat membuahkan hasil. Marilah berbenah, tak ada kata terlambat bagi yang mau berubah untuk kebaikan banyak orang. Ini adalah kebutuhan manusia yang adalah agen perubahan itu sendiri.
Salam Perubahan!
*) Pendidik di SMA Katolik Regina Pacis Bajawa.