Ketika Sepak Bola Menjadi Ajang Sepak Wasit

Spread the love
Marsel Natar (Foto: MN)

Oleh: Marselus Natar*

Saudara, Liga 4 NTT El Tari Memorial Cup (ETMC) 2024/2025 tengah bergulir. Banyak hal telah kita saksikan bersama. Sepak bola memang menjadi olahraga yang penuh gairah, tegang, dan tentu saja, penuh drama. Anda bisa saja meneteskan air mata, ketika tim kesayangan Anda berhasil menang atau mencuri poin dalam satu pertandingan, pun sebaliknya jika kalah atau tidak mendapatkan poin dalam satu pertandingan. Air mata pun, bisa saja menetes ketika Anda berhadapan dengan keputusan wasit yang dalam pemahaman Anda terlalu subjektif, sangat kontroversial! Mungkin dalam pikiran kita, wasit adalah sesosok hakim yang adil, dengan tubuh setengah dewa, robot, yang melampaui keterbatasan manusia.

Ketika ekspektasi kita bertentangan dengan kepemimpinannya di lapangan, kita seperti singa kelaparan, mengumpatnya habis-habisan, hingga yang paling tragis dan keji; mengejarnya, menghajarnya seperti maling dalam amukan massa. Sepakbola untuk konteks kita memang menjadi tontonan yang memikat, dari perkelahian di tengah lapangan, gol yang menggetarkan jantung, hingga aksi-aksi heroik yang seolah tak mungkin terjadi. Tapi sekali lagi, tunggu dulu, ada satu elemen dalam sepak bola yang lebih sering dianggap seperti ‘musuh bersama’ daripada pahlawan lapangan. Siapa lagi kalau bukan wasit! Ya, wasit—si penyulut kontroversi, si pengundang kemarahan, dan kadang-kadang, si sasaran tendangan.

Bayangkan situasi ini: tim kesayanganmu sedang tertinggal 0-1, pertandingan memasuki babak tambahan, dan tiba-tiba wasit mengambil keputusan yang menurutmu (dan seluruh stadion) sangat tidak masuk akal. “Itu handball jelas banget, pak!” teriakmu dengan emosi yang hampir meledak. Dan tentu saja, seluruh suporter tim lawan ikut berteriak, bersorak, dan tidak ketinggalan, beberapa orang yang sudah siap mencemooh. Di sinilah letak kehebatan wasit: meskipun ada 22 pemain, mereka bisa menjadi bintang utama dalam drama yang sedang berlangsung. Wasit, yang hanya melakukan pekerjaan mereka sesuai aturan, menjadi sorotan utama di seluruh dunia. Dan, di akhir pertandingan, bisa dipastikan bahwa yang paling dikenal bukan pemain bintang atau pelatih cerdas, melainkan si wasit yang “salah ambil keputusan” tadi.

Apa yang terjadi setelah itu? Mulai dari cemoohan, makian, hingga “wacana” tentang bagaimana wasit itu pasti sudah lupa sarapan pagi tadi dan tidak bisa berpikir jernih. Bisa jadi, di ruang ganti, pelatihmu malah berkata, “Kalian lihat tadi keputusan itu? Itu jelas-jelas mempengaruhi jalannya pertandingan!” Padahal, kenyataannya, wasit itu juga manusia. Mereka bukan robot yang bisa membuat keputusan sempurna dalam sekejap. Tapi entah kenapa, mereka selalu jadi pihak yang harus “dihukum” karena keputusan mereka—meskipun salah atau benar—selalu saja memicu keributan.

Yang lebih lucu lagi, sering kali kita (sebagai penonton yang tidak pernah tersentuh debu lapangan) merasa lebih jago dalam mengambil keputusan daripada wasit itu sendiri. Kita bisa dengan sangat yakin berkata, “Tuh kan, itu jelas-jelas offside! Mungkin wasitnya sedang melihat TikTok, ya?” Atau, “Jelas banget, itu handball, pak! Kok bisa nggak lihat sih?” Sementara itu, wasit hanya bisa berdiri, memegang peluit, dan berharap secepatnya bisa kabur ke ruang ganti dengan aman. Mereka tidak mendapatkan apresiasi meskipun sering kali harus menghadapi serangan verbal, tekanan dari pelatih yang terus berteriak-teriak, bahkan ancaman fisik dari beberapa pihak yang mungkin pikir mereka bisa menang dengan menghancurkan mental wasit. Luar biasa, kan?

Jangan lupa, wasit itu tugasnya bukan untuk menjadi “teman” para pemain, tapi untuk memastikan permainan berlangsung dengan adil. Tapi, coba bayangkan kalau tidak ada wasit. Maka yang terjadi di lapangan akan seperti festival kekacauan. Pemain bisa saling dorong, pelatih bisa melambaikan tangan tanpa arah, dan tentu saja, para penonton bisa saja memulai aksi protes serempak dengan melontarkan benda-benda yang terdekat dengan mereka (semoga bukan batu, ya). Semua orang akan merasa bisa menghakimi apa yang benar atau salah—padahal, justru kekacauan itu yang tidak diinginkan dalam sebuah pertandingan sepak bola.

Wasit (Ilustrasi Foto: WikiHow)

Bayangkan, jika tidak ada wasit, para pemain akan saling bertanya, “Itu pelanggaran atau tidak, ya? Gue bisa tendang nggak dia? Lolos aja tuh, harusnya dia kena kartu merah, deh!” Dan permainan pun akan menjadi seperti pertunjukan debu yang tak berujung. Nah, wasit memang penting. Tetapi, alih-alih mendapatkan tepuk tangan, mereka malah harus siap menerima kritikan dari semua pihak. Meski tugas mereka adalah menegakkan aturan, mereka justru sering kali dianggap sebagai pihak yang paling salah. Salah sedikit saja, mereka jadi bahan tertawaan. “Wasit salah, dong!” teriak penonton dari tribun. Sebagai penonton, kita mungkin merasa berhak berbicara lebih banyak tentang keputusan wasit daripada yang seharusnya. Padahal, kita nggak ada di lapangan dan nggak merasakan tekanan seperti wasit yang harus membuat keputusan dalam hitungan detik.

Bahkan, ketika wasit membuat keputusan yang sebenarnya sudah benar, tetap saja ada yang merasa itu adalah keputusan yang paling fatal sepanjang sejarah sepak bola. Misalnya, di saat-saat terakhir, wasit memberikan kartu merah pada pemain lawan yang melakukan pelanggaran keras. Namun, bukannya berterima kasih karena keputusan wasit itu menjaga integritas permainan, kita malah mendengar, “Aduh, kartu merah itu nggak perlu, kok! Itu cuma tekel biasa!” Atau, jika wasit menganulir gol karena offside, “Gimana bisa itu offside, pak? Itu jelas-jelas nggak! Itu kan dari kaki kiri, bukan?” Selalu saja ada yang merasa lebih paham daripada orang yang sudah berpengalaman memimpin pertandingan sepak bola puluhan kali.

Jangan kaget kalau pada akhirnya, emosi ini malah berbuntut lebih jauh. Kita pernah mendengar berita tentang wasit yang dipukuli oleh pemain karena keputusan mereka yang dianggap merugikan. Ajaib, bukan? Seorang wasit yang hanya mencoba menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab malah menjadi sasaran kekerasan. Bukannya meminta penjelasan atau berdiskusi, beberapa orang malah mengambil jalan pintas, dengan menghancurkan orang yang seharusnya dihormati. Ini bukan hanya merugikan wasit, tapi juga merusak citra sepak bola sebagai olahraga yang mengedepankan fair play dan sportivitas. Dan, di tengah segala hiruk-pikuk ini, wasit, dengan hati yang penuh keberanian, hanya bisa bertahan dan berharap semoga keputusan mereka tidak menjadi berita utama di koran esok pagi.

Lalu, bagaimana solusinya? Mungkin, kita perlu sedikit introspeksi diri. Alih-alih berteriak marah kepada wasit atau menganggap mereka sebagai musuh, kita harus mulai menghargai peran mereka. Sepak bola memang penuh dengan ketegangan, dan kesalahan bisa terjadi di mana saja—baik dari pemain, pelatih, bahkan penonton sekalipun. Tapi, kita tidak bisa lari dari kenyataan bahwa wasit adalah bagian yang sangat penting dalam menjaga kelancaran permainan. Tanpa mereka, permainan sepak bola bisa menjadi sangat kacau. Mari kita belajar untuk lebih sabar dan berpikir rasional sebelum menilai atau bahkan mengkritik keputusan mereka. Dan lebih dari itu, mari kita lindungi mereka dari kekerasan fisik atau verbal yang tidak seharusnya terjadi.

Akhirnya, mari kita merayakan pesta sepak bola dengan semangat yang lebih sehat. Kita mungkin tidak selalu setuju dengan keputusan wasit, tetapi bukankah itu bagian dari keindahan sepak bola? Ketegangan, drama, dan mungkin sedikit kekecewaan, adalah bagian dari pertandingan. Tapi yang paling penting, adalah kita semua—pemain, pelatih, dan penonton—harus menjaga sportivitas dan menghargai peran wasit. Mereka bukan musuh, mereka adalah bagian dari permainan ini.

Jadi, mari kita merayakan pesta sepak bola dengan bijak, dan pastikan kita pulang dengan senyum, bukan dengan rasa kecewa yang tak beralasan. Karena pada akhirnya, siapa yang menang dan siapa yang kalah, semua itu terjadi di lapangan—bukan di ruang sidang kritik wasit!

*) Penulis merupakan Bapak Asrama SMAK Frateran Ndao Ende, alumni Stipar Ende.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *