
Oleh: Hancel Goru Dolu
Lelaki tua itu tampak ringkih. Kekuatannya telah banyak hilang, diringkus dari raganya, selama empat tahun. Masa-masa saat dirinya dalam tahanan. Nis, demikian dia biasa disapa, dan beberapa kawannya, terbukti oleh hukum negara, mengkampanyekan legalisasi ganja.
“Saat ditangkap, aku pernah diberi penawaran oleh lembaga yang anti terhadap legalisasi ganja itu. Aku bisa bebas lebih cepat, kata mereka, asal aku bersedia menjadi ikon lembaga mereka. Mengkampanyekan bahaya dan larangan memakai ganja,” kata Nis, sambil menghembuskan asap rokoknya.
Senja itu, pesisir utara Jawadwipa sedang mendung. Hujan yang hampir tanpa henti terus mengguyur, jadi penyebabnya. Sesekali Nis mengingatkan diriku tuk menyeruput kopi yang diraciknya sendiri.
“Ketika kau memadukan asap rokok dan kepulan uap kopi di bibir, lidah dan kerongkonganmu, sesungguhnya kau sedang menikmati setengah kebebasan sebagai manusia sejati,” urainya, sambil memaksaku untuk mencoba kopinya.
Dengan menafikan lambungku yang kadang kumat, kuseruput juga kopinya. Rasanya memang istimewa. Lalu kuteringat sesuatu. “Di dalam sana, selama empat tahun, apakah kamu pernah punya kesempatan untuk menyeruput ini?”
Dia tak menjawab. Cuma tersenyum. Lalu, aku kembali teringat sesuatu yang telah lewat. “Apa jawabanmu saat ditawarkan menjadi ikon lembaga anti ganja itu?”
Kali ini senyumnya hilang. Semangat tampak menyala di matanya. Suara bergetar tertahan keluar dari tubuh ringkih itu, “aku tak akan mau berkompromi dengan antek-antek korporasi multinasional seperti kalian, yang ingin mengeruk sumber alam negeriku!”
Aku terkejut. Dia tampat sangat ekspresif menggambarkan kemarahannya. “Mendengar jawaban seperti itu, yang tentu saja mereka anggap sangat kasar dan pembuktian kata-katamu itu sangat sulit, apakah kau tidak disiksa di dalam?” tanyaku lagi.
Kembali dia tersenyum, dan tak segera menjawab. “Lihat rambutku ini,” sambungnya sejurus kemudian, “mereka telah menggunting rambut gimbalku.” Ciri khasnya itu memang telah hilang. Dulu, dulu sekali, rambut gimbal itu yang menemaninya “ngamen” ke berbagai negara, termasuk saat dirinya mempromosikan banyak hal tentang negerinya.
“Apa setengah kebebasan yang tersisa?” lagi-lagi aku bertanya.
“Tak boleh menindas juga tak mau ditindas, kira-kira begitu,” imbuhnya.
“Tapi bukankah ganja itu berbahaya?” kembali kucecar dia.
“Datang lagi lain waktu, kemari, nanti kan kujelaskan,” pungkasnya.
Senja terus bergerak, langit makin mendung. Aku teringat pada Sapardi, tentang isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada, maka akupun pamit pergi. Melanjutkan perjalanan ke arah barat, menuju kota kretek.
Hidup memang tentang perjalanan dan pilihan-pilihan terhadap berbagai kemungkinan. Tak semua bisa menyelami alur pikir sesama yang lain. Entah dengan warung-warung pangku yang mulai dibuka beserta alunan dangdut khas Pantura itu. Aku lalu tertidur di bangku belakang bus, sambil menikmati karbonmonoksida dari knalpot yang meraung-raung membelah jalanan.
Saat terbangun, baru aku sadari, kami ternyata teler di salah satu ruang “Student Center”. Mungkin sejak subuh, setelah menghabiskan beberapa teguk Cukri di acara band-band-an depan kampus. Tubuh ringkih di sebelahku tampak berselonjor bersama yang lain, benar-benar menikmati kebebasan sejati. Cita-cita umat manusia yang tampaknya hanya bisa diperoleh saat tidur nyenyak tanpa terikat oleh aneka beban dan tuntutan.
*) Surabaya, 10 Oktober 2010