Jumpa Sahabat Literasi

Spread the love
Gerardus Kuma Apeutung saat berjumpa dengan sahabat literasi, Bonefasius Zanda dan Uno Igna Marry Ignatio (Foto: Doc. GKA)

Oleh: Gerardus Kuma Apeutung*

Hidup adalah perjumpaan. Ada perjumpaan yang direncanakan. Ada perjumpaan secara tiba-tiba. Apakah itu kebetulan atau telah dijanjikan, yang pasti dalam hidup kita akan mengalami momen perjumpaan. Entah dengan siapa, kapan dan di mana kita berjumpa. Dan perjumpaan dengan sahabat selalu menjadi momen yang membahagiakan. Di sana ada sukacita. Ada suasana gembira. Karena dalam perjumpaan ini ada tutur kisah. Ada sharing pengalaman. Ada tukar ide. Ada adu gagasan. Karena itu perjumpaan dengan sahabat selalu membawa nuansa berbeda dan menghadirkan perspektif baru.

Saya bersyukur mengalami momen perjumpaan dengan dua “sahabat literasi” saya di Bajawa, Ngada. Saya menyebut mereka “sahabat literasi”, karena minat dan perhatian yang sama pada literasi yang menjadikan kami sahabat. Kecintaan kami pada dunia baca-tulis membuat kami saling kenal dan menjadi akrab.

Jalan literasi yang kami geluti di tempat tugas masing-masing, juga membentang antara Flores Timur dan Ngada. Jalan literasi inilah yang menghubungkan kami; membawa saya berjumpa dua sahabat literasi ini. Ya, literasilah yang mempertemukan kami. Literasi sebagai gerakan kolektif tidak boleh dibatasi sekat wilayah. Literasi, sebaliknya, sebagai gerakan masa depan harus menerobos batas administratif wilayah. Itulah alasan dua sahabat ini mau menerima dan menjamu saya.

Dua sahabat itu adalah, pertama, guru Uno Igna Marry Ignatio. Biasa disapa guru Uno. Perjumpaan saya dengan putra Ende ini adalah kali kedua. Pertama adalah saat momen seminar nasional literasi yang diselenggarakan Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Flores Timur di Larantuka pada bulan Maret 2018 lalu. Semangat literasi mengantarnya dari Flores bagian tengah menuju ujung timur Flores. Sekembalinya dari Nagi, pengajar di SMPN 1 Bajawa ini bergerak menghidupkan Agupena cabang Ngada.

Sahabat kedua adalah guru Bonefasius Zanda. Nama gaulnya guru Boy. Putra Ngada ini pengajar SMAK Regina Pacis Bajawa dan penggiat literasi di Rumah Literasi Cermat, Ngada. Ini adalah perjumpaan perdana saya dengan guru Boy. Sebelumnya kami hanya saling menyapa lewat media sosial Facebook. Juga melalui tulisannya yang selalu menghiasi kolom opini Pos Kupang, Flores Pos, dan media-media online.

Selasa (29/03/2018) sekitar pkl. 10.00 WITA, saya tiba di kota dingin Bajawa. Setelah menunggu beberapa menit di pertokoan kota Bajawa, guru Boy datang menjemput saya. Dari sini kami menuju SMAK Regina Pacis Bajawa. Setiba di Regina Pacis, datang ketua Agupena Ngada, guru Uno untuk bergabung bersama. Saya memanfaatkan momen ini untuk melihat-lihat SMAK Regina Pacis dan mengabadikannya. Guru Boy memperkenalkan lembaga tempatnya mengabdi. Terutama upaya mereka menerbitkan majalah sekolah Suara Ratu Damai yang dinakhodainya.

Kurang lebih tiga puluh menit berada di Regina Pacis, kami bergerak ke “pondok” guru Boy. Di sana telah menunggu istrinya, juga buah hati mereka. Guru Boy lalu menjamu kami santap siang. Selanjutnya kopi Bajawa dihidangkan untuk menghangatkan hawa dingin Bajawa. Dan jagung titi Nagi menemani diskusi, sharing pengalaman kami siang itu.

Literasi menjadi topik utama. Dengan intensi yang sama, kami berbagi kisah menghidupkan gerakan literasi di tempat masing-masing. Saya berkisah tentang perjuangan Agupena Flotim di bawah komando Maksimus Masan Kian dan dukungan Gerakan Katakan Dengan Buku besukan kakak John Lobo bergerak membagi bahan bacaan ke sekolah-sekolah di pelosok Flores Timur. Gerakan literasi yang dimotori Agupena Flotim telah menjangkau sekolah-sekolah yang tidak terjangkau. Dengan buku, Agupena menyentuh anak-anak yang tidak tersentuh bahan bacaan selama ini.

Gerakan literasi “Jumat Membaca” di sekolah kami, SMPN 3 Wulanggitang juga menjadi perbincangan. Di mana setiap hari Jumat, kami mengalokasikan waktu khusus untuk membaca. Pada pkl. 09.30 – 10.10, semua aktivitas dihentikan dan para guru beserta siswa fokus membaca. Siswa membaca bersama wali kelas masing-masing. Lalu berdiskusi tentang dan atau menceritakan apa yang dibaca.

Gerakan Komunitas Leragere di desa Boru yang dikomandani secara bersama Eduard Pope, Valens Waton, dan Ibu Siti Hayon juga saya kisahkan. Dalam aktivitasnya, selain mendampingi anak-anak di desa Boru untuk membaca, Komunitas Leragere juga menggelorakan literasi masuk dapur. Sebuah upaya mengajak ibu-ibu untuk membaca. Mengapa harus ibu-ibu dan di dapur? Ibu adalah orang pertama yang bertangung jawab atas tumbuh-kembang anak. Karena itu mereka harus banyak membaca agar bisa membimbing tumbuh-kembang anak dengan baik.

Sedangkan dapur, pusat rumah itu ada di sini. Di dapurlah segala kebutuhan keluarga dipenuhi. Di sinilah seorang ibu menjalankan aktivitas harian mengurus rumah tangga. Maka buku bacaan harus menjangkau ibu-ibu di dapur. Aktivitas membaca dapat dimulai dari dapur. Sebagai pusat rumah, fungsi dapur harus diperluas, tidak saja menjadi tempat memasak makanan, tetapi juga menanak ilmu.

Guru Uno membagi kisahnya menghidupkan literasi di SMPN 1 Bajawa. Sebagai koordinator literasi sekolah, dalam gerakan literasi yang dijalankan siswa tidak hanya membaca, tetapi menuangkan gagasan. Di sini siswa tidak hanya diajak untuk mencintai kegiatan membaca, tetapi juga dilatih mengungkapkan ide atau gagasan mereka. Setelah membaca, siswa mesti menulis.

“Untuk anak-anak usia SMP, kita tidak bisa memaksa mereka untuk menulis opini atau esai. Karena itu saya selalu memberi topik tertentu, lalu meminta mereka menulis pandangan mereka tentang topik tersebut. Juga membantu mereka untuk menulis puisi atau cerpen,” ungkap guru Uno.

Sahabat guru Boy berkisah tentang gerakan literasi di SMAK Regina Pacis. Di Regina Pacis, gerakan literasi dihidupkan dengan kegiatan membaca dan menerbitkan majalah dinding secara berkala. Agar gagasan siswa itu tidak dibiarkan tercecer, tulisan yang diterbitkan di majalah dinding sekolah dibukukan dalam majalah sekolah dan buku antologi karya siswa. Sebagai koordinator majalah sekolah Suara Ratu Damai, guru Boy mengatakan bahwa siswa sebenarnya punya potensi untuk menulis. Mereka hanya butuh ruang untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan.

“Anak-anak kalau diberi ruang pasti mereka akan mengekplorasikan seluruh potensi dan bakat mereka dalam menulis. Karena itu sekolah harus memfasilitasinya. Bisa dalam bentuk mading atau majalah sekolah,” kata guru Boy.

Selain di sekolah, kedua sahabat literasi ini juga bergelut di Rumah Baca Cermat Ngada. Bersama kaka Emanuel Djomba, mereka menyediakan tempat dan bahan bacaan bagi anak-anak Ngada. Juga memberi pelatihan bagi siswa dan warga dalam menulis. Guru Uno dan guru Boy juga membidani lahirnya Asosiasi Guru Penulis (Agupena) cabang Ngada. Di bawah koordinasi guru Uno, guru Boy dan beberapa guru lainnya, organisasi ini dibentuk di kabupaten Ngada dan dikukuhkan oleh Ketua Agupena Provinsi NTT, Bapak Thomas Sogen.

Terbesit kegelisahan dari kedua guru muda ini akan semangat guru-guru dalam menulis. Bagaimana guru mengajak siswa untuk membaca dan menulis kalau guru sendiri tidak membaca apalagi menulis. Dan mereka percaya, Agupena adalah wadah yang tepat menjawab kegelisahan tersebut. Dengan hadirnya Agupena, diharapkan dapat memompa semangat guru dalam menulis.

Matahari semakin bergerak ke barat. Waktu membatasi kami untuk berkisah lebih jauh dan bertutur lebih lama. Saya pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Borong, Manggarai Timur. Dalam semangat literasi, kami mengakhiri perjumpaan ini dengan bertukar bahan bacaan. Saya menyerahkan beberapa eksemplar majalah Warta Flobamora di mana saya menjadi kontributor wilayah Wulanggitang dan guru Boy menyerahkan beberapa majalah Suara Ratu Damai.

Salam Literasi.

*) Penulis adalah guru Bahasa Inggris dan pengelola Komunitas Belajar Spentig Helero di SMPN 3 Wulanggitang, serta anggota Agupena Flotim. Bergiat di Komunitas Baca Leragere, Boru Wulanggitang, Flores Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *