
Oleh: Marselus Natar*
Setiap bulan Desember menjelang Natal merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Natal yang selalu jatuh pada tanggal 25 Desember merupakan hari raya umat Kristiani untuk memperingati kelahiran Sang Juru Selamat, Yesus Kristus. Peristiwa Natal membawa sukacita dan damai sejahtera bagi dunia karena Sang Mesias lahir. Palungan sebagai tempat bayi Yesus dibaringkan merupakan simbol dari kerendahan hati dan kesederhanaan yang Kristus bawa bagi dunia.
Natal juga membawa pesan kasih Allah bagi dunia. Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia sebagai bentuk kasih tanpa syarat. Perayaan Hari Natal yang diperingati dan dirayakan oleh umat Kristen telah menjadi tradisi yang mendunia. Umat Kristen menyikapi hal tersebut bukan hanya sekadar tradisi, melainkan untuk memaknai karya keselamatan yang telah dilakukan Allah melalui Yesus Kristus. Makna Natal atau kelahiran Yesus Kristus yang pertama-tama yaitu sebagai bukti cinta Tuhan kepada manusia yang berdosa.
Yesus lahir ke dunia untuk membawa kedamaian dan mengajarkan kasih sayang kepada sesama manusia, oleh karena itu sudah seharusnya Natal menjadi sukacita yang besar bagi umat yang mempercayainya. Perayaan Natal juga menjadi pengingat untuk semua manusia agar peduli kepada sesama. Jika memiliki rezeki berlebih, maka sebaiknya kita berbagi dengan saudara atau tetangga yang kekurangan agar mereka juga turut merasakan kasih sukacita perayaan Natal, dan dengan itu kita sudah menjadi sumber berkat bagi sesama.
Natal, sebagai perayaan keagamaan dan budaya, telah menjadi momentum berbagi kasih sayang, kedamaian, dan kegembiraan. Namun, di tengah pesatnya perkembangan masyarakat konsumtif, perayaan Natal semakin terjerat oleh fenomena konsumerisme. Bagaimana konsumerisme mempengaruhi makna Natal, memicu perdebatan tentang nilai-nilai yang mendasari perayaan ini. Di satu sisi konsumerisme saat Natal dipandang sebagai pendorong ekonomi. Konsumerisme Natal dapat memberikan dorongan signifikan bagi ekonomi. Meningkatnya permintaan barang dan jasa selama musim liburan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai contoh, peningkatan penjualan ritel selama masa Natal dapat memberikan dampak positif pada sektor perdagangan dan industri. Dari tahun ke tahun konsumerisme di seputar Natal sudah menjadi tradisi dan antusiasme. Pembelian hadiah, baju, sepatu baru, dan dekorasi Natal menjadi bagian dari tradisi dan antusiasme perayaan. Konsumerisme membantu menciptakan atmosfer yang meriah dan berwarna di sekitar perayaan ini. Melalui pemberian hadiah, orang dapat mengekspresikan kasih sayang dan kepedulian kepada orang-orang terdekat, memperkuat ikatan sosial.
Namun di lain sisi, konsumerisme Natal cenderung menyebabkan hilangnya makna spiritual dari Natal itu sendiri. Konsumerisme Natal seringkali mengalihkan perhatian dari makna spiritual perayaan tersebut. Dorongan untuk membeli dan memiliki barang-barang baru dapat mengaburkan nilai-nilai seperti solidaritas, kedamaian, dan pemberian tanpa pamrih yang seharusnya menjadi fokus utama Natal.ย
Perayaan Natal, yang seharusnya menjadi momen untuk merenungkan kelahiran Yesus Kristus dan mewartakan pesan kasih dan damai, seringkali terperangkap dalam belitan konsumerisme yang membingungkan.ย Konsumerisme Natal menciptakan dunia di mana perhatian utama terfokus pada pembelian, hadiah-hadiah mahal, dan keinginan akan barang-barang materi. Dalam sorotan konsumtif ini, makna spiritual Natal seringkali tergeser dan bahkan hilang di tengah-tengah gemerlap lampu-lampu kilau dan penjualan besar-besaran.
Konsumsi yang berlebihan selama musim Natal dapat menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan dan kepuasan dapat dicapai melalui akumulasi barang-barang material. Pemberian hadiah menjadi lebih berorientasi pada nilai materi daripada nilai-nilai batiniah. Alhasil, esensi sejati Natal, yakni kasih sayang, kerendahan hati, dan kehadiran spiritual, seringkali terabaikan. Di tengah-tengah pusaran konsumerisme, kita perlu merenungkan makna kasih dan kepedulian yang terwujud dalam kelahiran Yesus Kristus. Kasih tersebut bukanlah sekadar dalam bentuk hadiah-hadiah mahal, tetapi lebih pada keberadaan dan kepedulian terhadap sesama. Pemberian kasih harus mencerminkan pemberian Allah yang tidak tergantung pada kekayaan materi.
Natal mengajarkan nilai-nilai kerendahan hati dan pengorbanan. Yesus dilahirkan dalam kemiskinan di palungan, dan hal ini menjadi teladan kerendahan hati yang harus diikuti oleh pengikut-Nya.ย Konsumerisme yang berlebihan bertentangan dengan kerendahan hati, karena seringkali menunjukkan kecenderungan untuk menilai seseorang berdasarkan pada kekayaan dan kepemilikan. Konsumerisme Natal sesungguhnya adalah sebuah ironi di tengah realitas pesan spiritual Natal. Konsumerisme Natal cukup melukai hati Maria dan Yosep di tengah ketiadaan rumah tumpangan untuk melahirkan Yesus serta hilangnya makna palungan tempat bayi Yesus dibaringkan. Ketika kita terjebak dalam konsumerisme Natal, kita tidak lagi menghidupi makna spiritual Natal. Maka Natal kita adalah Natal yang sarat sensasi dan tak lebih sekadar menjalankan tradisi semata tanpa esensi.
Selamat Natal dan Tahun Baru!
*) Penulis adalah seorang rohaniwan Katolik. Beberapa cerpennya pernah dipublikasikan di surat kabar Harian Pos Kupang, Warta Flobamora, dan Majalah OIKOS.