
Oleh: Robert Bala*
Akhir-akhir ini berseliweran bak cendawan di musim hujan, cuplikan homili yang mengundang gelak tawa atau bahkan tertawa tergelak-gelak. Tidak saja pembawa ‘stand up comedy’ suci itu imam. Ada uskup juga mulai ‘terpengaruh’. Homili menjadi momen celoteh, ‘baku ganggu’, ‘berbalas pantun’, dan sebagainya.
Yang jadi pertanyaan: apakah diperbolehkan menjadikan homili sebagai momen ‘lucu-lucuan’ atau seperti ‘stand up comedy’? Apakah dilarang tertawa saat perayaan? Apakah dilarang melihat umat ‘gembira’ saat homili daripada duduk diam, berkerut dahi tetapi tidak paham akan apa yang disampaikan?
Pertanyaan ini sebenarnya mudah dijawab, tetapi dalam kenyataannya dipersulit sehingga sulit dijawab. Tetapi jawaban itu semestinya mudah kalau orang bisa membedakan antara khotbah dan homili.
Apa perbedaannya? Khotbah dalam model pewartaan iman yang bisa dilaksanakan dalam berbagai kesempatan: bila disampaikan untuk menobatkan atau mengkristenkan orang, maka disebut khotbah kerigmatis. Bila ditujukan bagi orang-orang untuk menjadi Kristen yang lebih baik, maka disebut khotbah kataketis. Selanjutnya bisa ditujukan untuk meneguhkan dan menghibur iman umat berhadapan dengan aneka ajaran sesat, maka disebut khotbah paranetis. Dan terakhir, bila dilaksanakan dalam perayaan ekaristi untuk membantu pendengar merayakan imannya maka disebut khotbah homiletis atau homili.
Sesuai dengan pemahaman ini maka ‘lucu-lucuan’ hingga membuat orang tertawa ‘terpingkal-pingkal’ itu tidak salah. Namun ia harus ditempatkan dalam konteks paranetis atau kateketik yang berarti terjadi di luar perayaan ekaristi. Uskup Malang, Mgr Pidyato, O’Cam, memiliki cuplikan seruan yang disampaikan kepada umat, para imam, yang berisi seruan menggelitik. Tetapi itu tidak disampaikan dalam perayaan ekaristi. Uskup memiliki momen pendalaman iman di luar ekaristi, melaluinya disampaikan hal-hal tersebut.
Demikian imam yang menitipkan cerita lucu (kadang tidak ada hubungan dengan bacaan) sekadar ‘kelakar’ membicarakan ‘kelakuan’ sahabat yang tentu saja penuh gelak tawa, akan menarik kalau disampaikan di luar perayaan ekaristi. Ia lebih cocok disampaikan sebagai kata sambutan di akhir perayaan ekaristi. Di sana akan menarik kalau dibuat seperti ‘stand up comedy’ sehingga bisa menyaingi acara-acara selevel di TV. ‘Sang pelawak’ akan memukau hadirin dan mereka akan dengarkan. Sebaliknya kalau tidak menarik, mereka akan lakukan aktivitas lain tanpa ‘pusing-peduli’. Hal ini berbeda kalau dalam perayaan ekaristi. Umat sudah ‘dari sononya’ akan diam selama perayaan, terlepas apakah menarik atau tidak.

Jadi apa kesimpulannya? Pertama, homili bukan kesempatan untuk ‘lucu-lucuan’ atau sekadar ‘ganggu teman’. Homili adalah momen di mana pewarta fokus pada tema tertentu (kalau boleh satu pikiran pokok) yang direfleksikan secara menarik, berpijak pada masalah aktual untuk membantu umat dapat merayakan imannya ‘di sini dan kini’. Hal ini sejalan dengan pewahyuan Tuhan yang selalu terjadi secara progresif yakni dimulai di masa lalu, mengalami pemenuhan kini dan akan sempurna di masa yang akan datang.
Lalu apakah pewahyuan itu terjadi lewat hal yang ‘lucu-lucu’, yang sekadar dicomot tidak tahu dari mana asalnya dan kemudian dipaksakan dalam homili? Yang jadi fokus adalah sapaan Tuhan yang dijawab dengan rasa gembira dan menjadi alasan untuk dirayakan dalam ekaristi. Di sinilah posisi homili yang antara Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi yang menjadi seperti ‘engsel jendela’ untuk membuka dan menutup, menutup dan membuka.
Kedua, cerita lucu, apapun motivasinya, tidak boleh dipaksakan dalam homili. Ini adalah satu persoalan bagi pengkhotbah yang karena lebih mengedepankan ‘viral’, mereka mencomot cerita apa saja. Mereka akhirnya lebih besemangat berkisah dengan gaya ‘stand up comedy’ yang membuat orang tertawa. Lebih memprihatinkan lagi, cerita lucu itu kemudian dipaksakan untuk dihubung (-hubungkan), dengan bacaan Kitab Suci.
Di sinilah terjadi ‘penyembahberhalaan cerita’, hal mana banyak terjadi. Anehnya lagi, sejalan dengan tuntutan ‘viral’, maka yang dibuat cuplikan hanyalah bagian kecil yang tidak ada kaitan dengan keseluruhan homili. Di sinilah terjadi pengalihan maksud yang menjadikan homili hanya sekadar ‘lucu-lucuan’.
Bila homili seperti ini, maka akan membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh John Hines, Uskup dari Gereja Episkopal. Pembawa homili bukannya mewartakan tentang Tuhan, tetapi dirinya sendiri. Menurutnya, khotbah itu efektif selama pengkhotbah mengharapkan sesuatu terjadi-bukan karena khotbahnya, bukan karena pengkhotbahnya, tetapi karena Tuhan.
Dalam cerita viral (yang dipaksakan) justru terjadi yang sebaliknya, karena lebih mementingkan apa yang diinginkan pengkhotbah (untuk menjadi viral) dan bukan karena Tuhan.
*) Penulis buku: Homili yang Membumi (Penerbit Kanisius), Homili Inspiratif (Penerbit Kanisius, 2023), Homili yang Memikat (Penerbit Ledalero, 2024), Mengiringi Kematian (73 Renungan untuk Ibadat Kematian, 2024).