
Oleh: Drs. G. F. Didinong Say*
Frans Seda pernah mengungkapkan sebuah kalimat yang legendaris di masa lalu di antara kalangan orang Katolik Flores. Ia menyebutkan bahwa hanya gereja dan parpol yang bisa menyatukan orang Flores. Kalimat ini sahih berkenaan dengan propaganda politik identitas, ketika masih ada Partai Katolik sebagai pilihan politik paling proper bagi orang Flores di masa Orla itu . Kini, kehadiran berbagai partai politik justru menimbulkan aneka polarisasi.
Kalimat Seda itu juga terasa pas ketika gereja masih menjadi patron hegemoni yang nyaris mengayomi seluruh kepentingan hidup orang Flores. Ditambah dengan dogma extra ecclesiam nulla salus kala itu, karakter dan mindset orang Flores di masa lalu itu sejatinya adalah cruzadores.
Selanjutnya, kehadiran negara yang semakin signifikan dewasa ini ditambah perkembangan dan kemajuan umat, ternyata telah membentuk keseimbangan baru. Konstelasi sosial politik ekonomi baru yang sekaligus menimbulkan kegamangan bagi gereja. Kehadiran uskup di atas panggung kampanye politik, audiensi politisi bertubi-tubi ke istana uskup, atau hedonisasi dana keuskupan untuk concubinatio, adalah sekadar contoh kegamangan.
Betul bahwa di Flores itu umat masih memadati gereja di hari Minggu. Flores kini menjadi pusat misi baru bagi dunia adalah buah yang tak terbantahkan. Tetapi, apakah yang dicari umat ketika melangkah masuk ke dalam gereja? Apakah kesadaran persatuan sejati dengan Kristus dan sesama itu masih hidup di dalam sanubari umat di Flores?
Bukan rahasia lagi bahwa fenomena katolik label itu sudah marak di antara orang Flores. Umat belakangan ini konon lebih fokus pada euforia pameran pesta pora duniawi daripada penghayatan sakramental pada saat Sambut Baru atau Perkawinan.
Front Pembela
Petrus batu karang disebut sebagai basis eksistensial institusi gereja. Apakah diksi ini verbum Dei ipse atau adendum dari Konsili Yerusalem, entahlah.
Para followers memang perlu bersatu agar bisa menjadi kuat dan bertahan in secula seculorum. Realitas kontras adalah bahwa orang seperti Gandhi itu misalnya mengimani “Khotbah di Bukit” tanpa menjadi anggota Gereja.
Sejarah membuktikan bahwa gereja itu semakin ditekan dan dihambat akan semakin merambat. Testimoni dan darah para martir adalah pupuk yang menyuburkan.
Selepas penderitaan panjang gereja, mulai dari Dekrit Konstantin, berabad kemudian, gereja seolah menjadi pemimpin dunia, pemilik dunia. Caisaropapispe memberikan segala kekuasaan dunia kepada gereja. Argumentum ad baculum kemudian melengahkan, gereja seolah mau mengklaim kebenaran sendirian. Yang melawan akan diekskomunikasi atau diperangi. Perang Salib, Kasus Galileo, dan Kontra Reformasi, adalah contoh sejarah kelam klaim kebenaran yang berujung pecah belah hingga ke masa kini.
Menjadi anggota gereja itu mudah saja tetapi menjadi manusia kristiani tulen itu sungguh tidak mudah. Petrus saja yang sehari-hari menempel kepada Yesus masih bisa menyangkal.
Membela gereja itu sesungguhnya gampang saja. Pakai ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu politik, dll, atau pegang parang macam om Mitak orang Koting Maumere yang menjaga gereja Kramat ketika akan diserbu dulu itu.
Tetapi mempertahankan dan mengamalkan nilai kristianitas itu ternyata harus melalui jalan terjal penuh pengorbanan berdarah-darah seperti para Santo-Santa bahkan Yesus sendiri. Siapa yang mau?

Tentang Nangahale
Kasus rebutan tanah sepotong di Nangahale Maumere ini menjadi runyam karena gereja berhadapan dengan umatnya sendiri head to head. Jalan mediasi telah ditempuh, tetapi nampaknya tidak optimal. Berujung pada pemberangusan properti warga yang disebut liar atau penyerobot.
Praktik kekerasan ini memantik kontroversi pro-kontra. Sedikit banyak bikin malu juga. Masalah wali une labu sako (dalam rumah sendiri) terekspos publik. Strateginya, no viral no justice. Kita masih menduga-duga saja apa motif masyarakat Tana Ai dan pendamping hukumnya. Apakah ini duplikasi cawe-cawe kekinian, bikin masalah-cari masalah biar dapat untung, atau murni soal eksistensi dan keberlanjutan hidup orang Tana Ai? Kita juga masih berspekulasi atas dasar apa korporasi gereja melancarkan aksi kekerasan merobohkan hunian warga yang disebut penyerobot liar itu. Pemberangusan itu praktik lazim di dunia hukum, tetapi di dalam gereja barangkali hanya terjadi di masa lalu.
Sekarang ini zaman android. Berita tentang Nangahale bisa saja sudah sampai ke Vatican. Paus Fransiskus itu dikenal memiliki diskresi pro poor dan kaum lemah. Roma locuta causa finita est (Roma berkata habis perkara). Saya batasi opini ini sampai di sini saja.
*) Diaspora NTT, tinggal di Jakarta.