
(Catatan reflektif untuk sebuah peziarahan hidup di rantauan)
Oleh: Marselus Natar*
Selama merantau (sebagai guru magang) di Nunukan, Kalimantan Utara, saya menemukan filosofi: rumah itu bukan cuma tempat di Global Positioning System (GPS), yang dengan akurat menentukan lokasi, tetapi kondisi batin di mana hati kita berlabuh dalam kedamaian, ketenangan, ketenteraman dan krasan/betah. Kita semua mencari ‘rumah’ dalam arti yang lebih dalam, tempat di mana kita bisa jadi diri sendiri tanpa takut dicap aneh, tempat berbagi cinta dan kehangatan dengan mereka yang mengerti tentang perjalanan kita.
Di perantauan, saya sadar, bahwasanya rumah itu tidak hanya dimaknai secara sempit; tempat di mana pertama kali kita membuka mata, belajar bicara dan merangkak, tetapi rumah memiliki makna yang sangat luas, tempat di mana kita diterima apa adanya, saling melengkapi dalam kekurangan, saling support, serta saling berkontribusi satu sama lain, baik secara moril maupun materiil; kendati tidak lahir dari rahim ibu yang sama (saudara walaupun tak sedarah).
Istilah manusia adalah makhluk yang berjalan atau Homo Viator, barangkali relevan dengan konteks hidup di rantauan, manusia yang ‘berjalan’ (bermigrasi) untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik atau alasan lain yang menyertainya. Bahwasanya, setiap individu manusia senantiasa bergerak maju dari satu titik perjalanan hidup yang satu menuju titik perjalanan hidup yang lain. Tidak ada yang tetap bertahan dengan keadaannya. Manusia akan terus berjalan seiring perjalanan waktu dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun.
Di Nunukan, terdapat sebuah gang atau lorong, namanya Ile Ape. Bagi masyarakat Flores, teristimewa bagian timur; Ile Ape bukan sesuatu yang asing bagi telinga. Sebuah kata yang sudah cukup familiar. Ile Ape, setidaknya merujuk pada dua hal berikut ini; pertama, Ile Ape adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur; kedua, nama sebuah gunung berapi yang terletak di bagian utara Pulau Lembata (gunung Lewotolo, juga disebut dalam bahasa setempat ‘bahasa Lamaholot’ sebagai Ili/Ile Lewotolok atau Ile Ape). Ile Ape sendiri dipahami atau diartikan sebagai gunung api/berapi. Lantas, mengapa Ile Ape ‘nyasar’ dan dijadikan sebagai nama sebuah gang atau lorong di Nunukan? Bukankah nama menunjukkan pribadi atau identitas tertentu yang identik (Nomen Est Omen)?
Konon pemberian nama Ile Ape terhadap gang atau lorong tersebut ternyata diinisiasi oleh almarhum bapak Lukas Lodan. Beliau adalah warga Ile Ape Lembata, yang merantau ke Nunukan Kalimantan Utara di tahun-tahun yang silam. Pemberian nama Ile Ape terhadap gang atau lorong itu dengan alasan bahwa konon mayoritas masyarakat di tempat tersebut berasal dari Ile Ape Lembata. Namun seiring berjalannya waktu, mereka enggan untuk bertahan hidup di rantauan dan memilih untuk pulang ke kampung halaman yaitu Lembata. Lahan dan rumah yang mereka tinggal selama di rantauan, dijual ke orang-orang yang saat ini tinggal atau menetap di kompleks tersebut.

Namun demikian, beberapa perantau yang berasal dari Ile Ape masih bertahan hidup di sini. Salah satu di antaranya adalah saudara Aster Hoaratan. Rumahnya yang terletak di gang Ile Ape itu, saya menemukan filosofi tentang rumah.
Sebelum saya menginjakkan kaki di tanah perantauan, kepala dan hati saya dijejali oleh macam-macam perasaan dan pikiran. Di antaranya adalah tentang bagaimana saya harus bergaul, harus membangun relasi dengan orang lain di tanah asing (perantauan), apa yang mesti dilakukan agar diterima oleh orang lain, dan lain sebagainya. Ketika tiba di perantauan, saya menjumpai beberapa orang yang berasal dari NTT, sebut saja kraeng tu’a Frid (Manggarai Timur), mo’at Juan (Maumere), ka’e Jonter dan Iskanto (Ende), ka’e Ignas (Nagekeo), ama Vinsen, Lorens, Bruno, Aster, Teo (Lembata). Orang-orang inilah yang membuat saya krasan/betah di perantauan. Tak ayal, persaudaraan di antara kami bak sedarah, tak ada yang dirahasiakan dalam kebersamaan, saling menegur, meneguhkan satu sama lain, kompak dalam segala urusan. Saya menganggap mereka sebagai kakak, rumah mereka bukan sesuatu yang asing bagi saya. Mereka adalah saudara saya, kendati bukan lahir dari rahim seorang ibu yang sama.
Seiring berjalannya waktu, jadwal magang saya pun harus berakhir. Saya harus kembali ke Ende, Flores-NTT. Jelang pulang, hati dan pikiran saya terus terusik dengan mozaik-mozaik kenangan saban waktu di gang Ile Ape. Gang Ile Ape, di sebuah teras rumah yang cukup sederhana tersirat kekayaan melimpah, tentang kekeluargaan, persaudaraan, kekerabatan yang pelik terungkap kata.
Di teras rumah yang sederhana itu, dengan mudah mendapatkan secangkir kopi sesuai selera, singkong rebus, jagung titi, ikan kering, tuak, dan hal lainnya sebagaimana saya rasakan dan alami di rumah sendiri. Hal serupa juga dapat ditemukan di jalan TVRI (rumah ka’e Jonter), di jalan Fatahillah (kampung Tator, rumah kraeng tu’a Frid), di Persemaian (rumah ama Bruno), di Pasir Putih (rumah ama Lorens) serta di tempat lain, di mana para kerabat dan saudara di perantauan tinggal.
Untuk semuanya itu, mengalir deras dalam hati dan pikiran saya. Pengalaman-pengalaman itu senantiasa terkenang, menawan ingatan. Saya sadar rindu itu bukan hanya pada tempat, tetapi juga pada kenangan dan orang-orang yang memberi warna pada perjalanan hidup ini. Kenangan itu adalah pelajaran tentang membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara pengalaman dan tantangan yang akan datang. Semuanya, tertata dengan rapi dalam ingatan. Keping-keping kenangan yang hidup dan senantiasa diingat untuk dikisahkan di kemudian hari.
*) Penulis adalah seorang guru magang di Nunukan, Kalimantan Utara.