
Oleh: Muhammad Alkaf*
Ketika foto ini dikirim ke grup WA keluarga, kakak saya, Ema, tidak memberi keterangan apapun. Hanya kirim. Blas. Akibatnya, ramai-ramai, kami harus memberi respon atas foto tanpa keterangan itu.
Anak kecil yang berjersei serba hitam itu bernama Ziyaad. Ketika dia lahir, kami memanggilnya dengan nama, Ayi. Ada sejarahnya. Ayi merupakan nama paling singkat yang dapat diucap oleh abangnya, Fawwaz. Abangnya itu kesulitan melafal nama adiknya tersebut. Jalan pintas, adiknya disapa dengan nama “Adik Bayi.” Ternyata, itu pun tidak gampang. Lalu, Fawwas mengambil keputusan untuk menyebutnya sebagai “Ayi” saja. Lalu, semuanya, ikut menyapa Ziyaad dengan Ayi, termasuk saya, bahkan sampai dengan sekarang. Bukan tanpa alasan, saya juga kesulitan untuk merapal nama-nama anak era gen Z ini.
Ziyaad, atau Ayi, merupakan generasi ketiga dalam keluarga besar kami. Dia, seperti sepupunya yang lain, tumbuh dengan bugar dan sehat. Dia memiliki rangka otot yang menjanjikan sebagai laki-laki. Ziyaad memang tidak menyembunyikan potensi maskulinitasnya itu. Atas alasan itu, sepertinya, dia terobsesi dengan olahraga, salah satunya bela diri.
Bersama sepupunya yang lain, dia giat berlatih kempo sedari kecil. Ziyaad memiliki bakat untuk menguasai seni beladiri itu, bahkan sampai ke tulang sumsumnya. Nyalinya semakin terpupuk.
Satu kali, dia menghebohkan keluarga besar karena terlibat dalam “perkelahian kecil” di sekolah. Saya menyebutnya sebagai kehebohan karena tindakan demikian tidak pernah ada sejarah para pamannya. Paman-pamannya, sejak dini, lebih memilih jalan damai untuk menyelesaikan permasalah yang ada. Tetapi, tidak bagi Ziyaad.
Salah satu kakak saya mengatakan, nyali dan energi keberanian Ziyaad turun dari ibunya. Sepertinya, benar. Perkelahian kecil itu akhirnya diselesaikan secara damai. Perdamaian ditunjukkan dengan jabat tangan erat antara Ziyaad dengan teman yang menjadi lawannya itu. Uniknya, karena kempo sudah masuk ke dalam dirinya, jabat tangannya pun disertai dengan posisi kuda-kuda yang kokoh.
Saya pernah menyarankan kepada ibunya untuk memasukkan Ziyaad ke sasana tinju, rupanya saran itu ditolak mentah-mentah, “Untuk apa, biar dia kena tinju?” katanya tegas.
Selain kempo, Ziyaad menyukai sepak bola. Memang sudah seharusnya. Dia tumbuh sebagai penikmat sepak bola dengan melihat Manchester City berjaya di bawah kepelatihan Pep Guardiola. Menyukai Manchester City, otomatis, dia mengidolakan Erling Haaland. Di fotonya yang lain, dia mengenakan jersei utama Manchester City dengan nomor punggung sembilan yang bertuliskan namanya.
***
Saya memandang lekat-lekat foto di atas.
Saya mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan oleh Ziyaad ketika berada dalam situasi demikian. Perhatikan eskspresi wajahnya yang seratus persen untuk memenangkan duel. Ziyaad, betapa pun, lawannya berusaha merebut bola, dia tidak membiarkan hal itu terlepas. Ada energi besar dalam dirinya untuk memenangkan pertarungan itu.
“Ziyaad lebih mirip Justin Hubner,” kata adik saya, Humaira.
Awalnya, saya mem-posting foto itu di WA Story dengan deskripsi singkat, “Pemain berbaju hitam adalah Jay Idzes Aceh.” Setelah saya lihat lagi, memang benar: lebih mirip Justin Hubner, bek Timnas Indonesia yang trengginas dan sangar.
Melihat fotonya lagi dengan perangkat sepak bola yang sedemikian lengkap: jersei seragam, sepatu, dan kaos kaki, membuat saya melayangkan ingatan di masa kanak-kanak, di usianya Ziyaad sekarang.
Apa yang dia kenakan, begitu juga oleh teman-temannya, bagi generasi kami adalah kemewahan. Sepatu bola, termasuk juga jersei, saat itu, hanyalah kepunyaan orang dewasa yang bertanding di stadion atau lapangan amatir. Tidak untuk kami.
Bagi kami, bermain sepak bola dengan bertelanjang kaki. Bahkan ada sebutannya untuk itu: kaki ayam, disingkat kiyam. Saking populernya pertandingan sepak bola tanpa sepatu, pernah ada turnamen sepak bola di lingkungan tempat keluarga kami tinggal yang diberi judul dengan lugas, “Turnamen Sepak Bola Kiyam.” Tidak boleh satu pun tim diizinkan memakai sepatu.
Di generasi Ziyaad, bermain sepak bola sedemikian rapi dan terstruktur, tidak bagi generasi kami. Tidak ada ceritanya ada gawang sedemikian anggun, seperti yang terlihat pada foto di atas. Yang ada tumpukan sandal, terkadang batu atau kayu, untuk menandakan lebar gawang. Mistar? Boro-boro! Gol tidak dihitung, jika kiper tidak bisa menjangkau bola. Lalu, tentu saja, tidak ada wasit pertandingan, yang, celakanya, saya berasumsi pertandingan yang Ziyaad lakukan dipimpin oleh seorang wasit!
Belum lagi, lapangan yang menjadi tempat pertandingan sepak bola diadakan saban sore. Sebenarnya, bukan lapangan yang dipahami secara benar, lebih tepatnya, sawah yang sedang terbengkalai atau yang belum masa tanam padi. Lapangan, jika masih boleh disebut demikian, akan semakin rata, jika semakin rajin diinjak dengan kaki telanjang itu. Jangan pernah membayangkan rumput sintetis, seperti lapangan tempat Ziyaad beraksi.
Bisa dibayangkan, betapa jauhnya gap antar generasi dalam merasakan pengalaman tentang sepak bola. Olahraga yang tidak pernah mati. Walaupun pengalaman yang datang tidaklah serupa, tetapi memiliki satu persamaan: bahagia ketika menendang dan mengejar si kulit bundar.
*) Penulis adalah penggemar sepak bola, pecinta Diego Maradona, dan Timnas Indonesia. Tinggal di Aceh.