Dramaturgi di Ruang Sidang: Ketika Advokat Lupa Peran dan Etika

Spread the love
Gregorius Upi Dheo (Foto: Doc. GUD)

Oleh: Gregorius Upi Dheo, S.H., M.H.*

Insiden yang melibatkan Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjadi tontonan yang memalukan bagi profesi advokat. Firdaus yang melompat ke atas meja sidang bukan hanya menunjukkan sikap tidak profesional, tetapi juga merusak kredibilitas advokat sebagai penjaga keadilan.

Namun, masalahnya bukan sekadar tindakan individu. Fenomena advokat “sensasional” yang lebih suka mencari perhatian ketimbang membela keadilan kini semakin marak. Persoalannya bukan hanya di tingkat personal, tetapi juga menyangkut lemahnya mekanisme pengawasan dalam dunia advokat.

Banyak Organisasi, Minim Kode Etik yang Ditegakkan

    Indonesia memiliki banyak organisasi advokat, seperti PERADI, KAI, AAI, PPKHI, dan lainnya. Sayangnya, keberagaman ini justru membuat standar kode etik menjadi longgar. Tidak ada mekanisme tunggal yang bisa benar-benar mengawasi advokat secara efektif.

    Dampaknya? Siapa saja bisa menyebut dirinya “advokat” tanpa pembinaan yang ketat. Padahal, menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), seorang advokat harus diangkat oleh organisasi advokat yang sah. Namun, dengan banyaknya organisasi yang tidak memiliki standar etika yang ketat, kode etik advokat menjadi sekadar formalitas.

    Lebih lanjut, Pasal 26 ayat (1) UU Advokat menyebutkan bahwa pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Tetapi jika organisasi itu sendiri lebih sibuk bersaing secara politis daripada membina anggotanya, bagaimana mungkin kode etik bisa ditegakkan?

    Kasus Firdaus dan Razman hanyalah salah satu contoh dari longgarnya pengawasan terhadap advokat di Indonesia.

    Advokat atau Selebriti? Ketika Sensasi Lebih Penting dari Substansi

      Beberapa advokat di Indonesia lebih sibuk mengejar popularitas ketimbang membangun kredibilitas. Mereka tampil di media dengan berbagai kontroversi, berteriak di ruang sidang, dan bahkan melakukan aksi teatrikal yang tidak ada hubungannya dengan hukum.

      Padahal, Pasal 6 huruf c UU Advokat dengan tegas melarang advokat melakukan perbuatan atau sikap yang merendahkan profesi advokat atau bertentangan dengan kehormatan atau martabat profesi.

      Namun, apa yang kita lihat hari ini? Ada advokat yang lebih sering tampil di media dengan jargon sensasional daripada berargumen dengan hukum.

      Jika model advokat seperti ini terus dibiarkan, masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap profesi hukum. Advokat seharusnya dikenal karena kepiawaiannya dalam menyusun argumen hukum, bukan karena aksi panggung yang memalukan.

      Langkah MA dan KAI Sudah Tepat, tapi Apakah Cukup?

        Mahkamah Agung (MA) telah membekukan sumpah advokat Razman dan Firdaus, sementara KAI memecat Firdaus dari organisasi. Ini langkah yang bagus, tetapi tidak akan cukup jika tidak ada reformasi sistemik dalam dunia advokat.

        Perlu diingat, Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat mengatur bahwa seorang advokat dapat diberhentikan secara tidak hormat jika melanggar kode etik advokat. Jika organisasi advokat hanya menjadi “klub eksklusif” tanpa pengawasan ketat, maka kasus serupa akan terus berulang.

        Yang dibutuhkan bukan sekadar hukuman bagi individu, tetapi pembaruan total dalam pengawasan dan pendidikan advokat. Organisasi advokat harus lebih aktif dalam membina, mengawasi, dan menindak anggota yang melanggar kode etik.

        (Ilustrasi Foto: es.vecteezy.com)

        Kembalikan Martabat Advokat!

        Profesi advokat adalah officium nobile, profesi yang seharusnya mulia. Namun, jika para advokat lebih sibuk membuat drama di ruang sidang daripada menegakkan keadilan, maka kehormatan profesi ini akan semakin luntur.

        Saatnya organisasi advokat berhenti saling berebut pengaruh dan mulai serius dalam menegakkan standar etika yang ketat. Jika tidak, advokat hanya akan dipandang sebagai pemain sandiwara hukum, bukan pembela keadilan.

        Karena advokat sejati menang dengan argumen hukum, bukan dengan aksi lompat ke atas meja.

        *) Penulis adalah orang muda Ngada, praktisi dan pemerhati masalah hukum. Saat ini berdomisili di Jakarta.

        Leave a Reply

        Your email address will not be published. Required fields are marked *