
Oleh: Efran Meno*
Mendung menggantung berat di langit Mataloko, Kabupaten Ngada, NTT. Hujan nyaris tumpah sesaat lagi, terlihat dari pekatnya awan gelap pagi itu, Minggu, 10 Maret 2024.
Penulis berkesempatan mengunjungi sebuah kampung di Desa Takatunga, Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada, NTT. Perjalanan menuju Desa Takatunga menghabiskan waktu sekitar satu jam.
Perjalanan terasa menyenangkan. Hamparan perbukitan yang berjejer rapi dan jalan berkelok-kelok menyambut kehadiran penulis. Udara sejuk berkabut yang datang dari balik rerimbun pepohonan pun sungguh memberi kenyamanan tersendiri bagi penulis.
Setelah menempuh perjalanan sejauh dua kilometer, penulis berbelok ke arah timur menuju ke kampung tujuan. Penulis mendapati sebuah papan nama bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Adat Ngorabolo”. Jarak dari papan nama tersebut menuju pusat kampung kurang lebih 50 meter.
Dari kejauhan tampak beberapa anak kecil berlarian di tengah kampung. Warga lainnya sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Terdengar pula senandung lagu Pra Paskah yang bergema dari rumah-rumah warga.
Penulis mengarahkan langkah kaki menuju sebuah rumah yang terletak di atas sebuah bukit kecil di kampung tersebut. Di depan teras rumah itu terlihat seorang pria tua berbalut kain adat Nagekeo. Ia sedang asyik bercerita dengan dua orang pria tua lain. Sosok tua itu bernama Mateus Betu (74) yang adalah ketua adat di kampung tersebut.
Ketiganya dengan antusias menyambut kedatangan penulis. “Selamat pagi, Nak. Mari Nak, mari masuk,” sambut Mateus, seraya bangun dari duduknya. Sembari menikmati teh hangat dan sepiring kue kembang goyang, Mateus mulai bercerita tentang asal mula Kampung Ngorabo dan kerukunan yang membalut kehidupan masyarakatnya.
Asal Mula Kampung Ngorabo
“Kami awalnya berasal dari satu kampung induk, yaitu ‘Kampung Taka’ yang terletak di atas bukit tinggi. Namun, banyaknya masalah, seperti kekurangan air dan banyak warga yang sakit-sakitan, akhirnya mendorong leluhur kami turun bukit, lalu membentuk beberapa kampung kecil. Ada lima kampung yang berhasil dibentuk, yaitu, Kuruladu, Tada, Ngorabo, Hedhapoma, dan Za’a,” jelas Mateus, mulai membuka sejarah di balik lahirnya kampung Ngorabo.
Mateus berkisah bahwa terdapat dua tokoh yang diminta untuk meramal: apakah bisa membangun kampung atau tidak? Dua tokoh itu bernama Ema Watu Dangi dan Nai Ngoni.
Ramalan ini dilakukan dengan mengisi air di dalam botol, lalu memasukkannya ke dalam tanah. Jika airnya tetap penuh, maka dapat dibangun kampung. Sebaliknya, jika airnya berkurang, maka kampung tidak bisa dibentuk. “Ramalan berakhir baik sehingga para leluhur mulai turun dari bukit dan membentuk kampung baru,” tambah Mateus.
Mereka berjuang mendapatkan tempat yang aman dan strategis untuk dihuni oleh warga kampung. “Nenek moyang kami tiba di sebuah hamparan kebun yang begitu luas. Kebun itu diyakini milik Ine Bo sehingga dinamai Ngorabo. ‘Ngora’ artinya ‘bekas kebun’ dan ‘Bo’ adalah nama dari pemilik kebun, yakni Ine Bo,” ungkap Mateus, dengan raut wajah yang serius. “Kemudian, dalam perkembangan zaman yang beri pengaruh juga pada bahasa, nama Ngorabo berubah menjadi Ngorabolo seperti yang kita kenal sekarang ini. Namun, aslinya Ngorabo,” urai Mateus.
Mateus juga mengatakan bahwa nenek moyang mereka hidup dalam dua kebudayaan, yaitu kebudayaan Ngada dan kebudayaan Nagekeo. Walaupun demikian, mereka tetap hidup dalam bingkai kerukunan tanpa adanya perpecahan.

Kerukunan ala Orang Ngorabo
Menjaga kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dengan dua budaya yang berbeda adalah suatu hal yang cukup pelik. Namun, tidak demikian dengan masyarakat di Kampung Ngorabo. Mereka mampu menjaga keharmonisan walau hidup dengan dua budaya, Ngada dan Nagekeo. “Kami orang Ngorabo telah memaknai kerukunan dalam kampung sebagai suatu hal yang diturunkan oleh nenek moyang,” ujar Mateus.
Menurut Mateus, Ngorabo menjadi sebuah kampung dengan jumlah penduduk lebih banyak dibandingkan dengan beberapa kampung lain di Desa Takatunga. “Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, walau kami terpisah oleh jarak, kami tetap menjaga kerukunan lewat pepatah adat ‘U eke watu eko tunga bae’ yang telah menjadi filosofi pemersatu. Pepatah itu memiliki arti bahwa walau kampung ada di kepala dan di ekor, kami tetap satu badan yang berasal dari satu kampung utama, yaitu Kampung Taka tadi,” tegas Mateus.
“Kami, masyarakat Ngorabo percaya bahwa kami memiliki hubungan darah daging antara satu dengan yang lain, seperti bunyi syair, ‘Kami ana dhe sa ine, ine dhe sa susu mite, kami rue dhe sa ame, ame dhe sa au toro’. Itu artinya, seluruh warga Kampung Ngorabo berasal dari satu bapak dan satu mama,” tambah Mateus.
Pada dasarnya, masyarakat Ngorabo memiliki dua ritual adat sebagai jembatan penghubung antara dua budaya yang tak seiras itu. “Kami punya dua ritual adat yang selalu kami junjung tinggi, yaitu reba du’a atau uwi ngura yang merupakan ciri budaya Ngada dan reba sudu atau uwi waja yang berasal dari kebudayaan orang Nagekeo,” terang Mateus.
Dalam menjaga keutuhan dan kerukunan masyarakat Ngorabo, pemerintah melalui desa turut berperan menghadirkan Lembaga Pemangku Adat (LPA). Mateus menerangkan bahwa LPA bertugas untuk mengontrol segala kondisi dan situasi yang terjadi di tengah masyarakat.
Selain itu, semangat kerja sama yang kokoh antar masyarakat dan partisipasi LPA yang intensif menciptakan akar kerukunan yang sulit tercabut. Meski demikian, terkadang timbul pula konflik antar warga. Menurut Mateus, keluarga menjadi tempat lahirnya konflik itu.
“Konflik kadang terjadi. Itu biasanya terjadi di dalam keluarga yang memperebutkan hak warisan. Kalau konflik sudah terjadi, LPA biasanya akan turun tangan mencari akar masalah dan memberi solusi untuk menciptakan kedamaian,” jelas Mateus.
Mateus juga menjelaskan bahwa masyarakat Ngorabo menciptakan kerukunan lewat kerja sama, saling menghormati, dan saling percaya. Kerja sama dilakukan saat mereka menanam dan memanen padi.
Selain itu, bagi Mateus, rasa saling percaya dengan saling membantu di antara masyarakat Ngorabo juga sangat kuat. Jika salah satu dari mereka mengalami kesusahan, maka yang lain tidak sungkan untuk membantu.
Harapan
Mateus berharap dua kebudayaan yang terdapat di kampung Ngorabo, terus dijaga dan senantiasa terjalin kerja sama. Selain itu, ia berharap kepada kaum muda untuk selalu memiliki motivasi dalam menghidupkan tradisi dan ritual adat di Kampung Ngorabo. Ia juga mengungkapkan harapannya kepada masyarakat Ngorabo, agar tetap mempertahankan hubungan baik dengan pemerintah guna memperkuat semangat kerukunan.
Harapan serupa disampaikan pula oleh Kepala Desa Takatunga, Nikolaus Nago (55). Nikolaus berharap semangat keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Ngorabo dapat terus diwariskan kepada anak cucu.
“Kita punya LPA yang selalu adakan pertemuan setiap bulan di desa. Semoga kerja sama antara adat dan pemerintah ini tetap terjaga. Semuanya untuk kepentingan menjaga keharmonisan di desa dan kampung ini hingga anak cucu kita nantinya,” ungkap Nikolaus.
Hal itu dipertegas lebih jauh pula oleh Mikhael Dua (63) yang merupakan seorang tokoh adat di Kampung Ngorabo. “Melihat perkembangan zaman yang kian berkembang, saya berharap semoga keharmonisan dua budaya yang ada di kampung ini, senantiasa bertahan di tengah goncangan teknologi yang semakin marak,” ungkap Mikhael.
Di akhir perjumpaan kami hari itu, Mateus membeberkan cara dirinya sebagai ketua adat dalam mempertahankan kerukunan di Kampung Ngorabo. “Yang penting apabila terjadi konflik, jangan pernah memihak kepada salah satu kelompok, tetapi jadikan diri kita sebagai sosok yang hadir untuk melerai dan selalu mencari solusi yang baik”, pungkas Mateus.
*) Siswa Kelas XII SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko