Apa yang Hilang dari Hiphop NTT?

Spread the love

Oleh: Bas Woda*

Bas Woda (Foto: Doc. BW)

(Diclaimer: ini semua cuma opini pribadi saya sebagai pemerhati Hiphop di Nusa Tenggara Timur).

Saya akan ajak Anda sekalian berkunjung ke dekade dua ribuan, tepatnya paruh kedua dua ribuan yaitu tahun 2005 sampai 2010. Dalam pandangan saya, itulah masa Renaissance-nya Hiphop NTT. Michael Angelo, Donatello, Rafael, hingga Leonardo Da Vinci, mereka semua meletakkan dasar intelektual yang sangat kuat dalam setiap karya-karya mereka. Mereka di Italia, kita sedang membicarakan NTT, dan yang lebih penting, saya bukan sedang me-review film Kura-Kura Ninja.

Sebut saja Louz Don dan Lipooz, dua punggawa utama Renaissance di sisi timur dan barat NTT. Idealisme, intelektualitas, pencerahan, agresif, dan frontal. Kira-kira, itu kesimpulan yang saya dapat dari mendengar setiap karya-karya lama mereka. Bukan mengesampingkan Rapper NTT lain yang seangkatan, maaf-maaf saja, sekali lagi ini cuma opini pribadi saya dan saya mengambil sampel dua tokoh ini, karena hampir semua karya mereka berdua sudah saya lahap habis.

Setelah dua tokoh ini mengguncang dunia per-Hiphop-an, maka bertumbuh suburlah komunitas-komunitas Hiphop di berbagai kota di NTT. Kefa, Soe, Kupang, Kalabahi, Lewoleba, Larantuka, Ende, Bajawa, dan Ruteng. Itu kira-kira dalam pengetahuan saya, kota-kota di NTT yang pertama kali bermunculan komunitas Hiphop-nya. Atambua dan Maumere mungkin ada, tapi saya yang kurang punya info soal ini, dan yang mau komplain dipersilakan.

Ada persoalan klasik tentang siapa yang pertama membawa Hiphop ke NTT dan itu sangat fundamental dalam dunia per-Hiphop-an NTT, karena itu adalah sebuah hal yang menjadi dasar perseteruan beberapa komunitas Hiphop di NTT. Saya pada saat menulis ini pun terbersit pikiran, “jang sampe ini tulisan jadi hal lagi?” (Jangan sampai tulisan ini menjadi persoalan baru, red). Tapi, whatever-lah, saya cuma ingin menulis dan menyampaikan opini saya saja, oke peace.

Jadi, kalau kita perhatikan, pola penyebaran awal Hiphop di NTT itu, mayoritas terjadi di wilayah utara. Kecuali Kefa, Soe dan Kupang. Dengan disiplin ilmu cocoklogi, saya bilang ini ada kaitannya dengan watak orang-orang pantai utara yang cenderung suka berkelahi, sehingga Hiphop lebih mudah dicerna. Intinya, di zaman itu tu anana rep uji-ujian siapa yang paling jahat lah kira-kira begitu (di masa itu, para Rapper saling berlomba siapa yang paling ‘jahat’, red).

Tapi, ibarat kata-kata mutiara yang mengatakan “kemajuan itu berawal dari sebuah ledakan keras,” contohnya, kalau api dari busi tidak bertemu dengan bensin dari tangki dan meledak dalam mesin, maka motor tidak akan berjalan. Ledakan demi ledakan, pertikaian dan perseteruan dalam dunia per-Hiphop-an di NTT itulah yang mendorong kemajuan dunia Hiphop di NTT itu sendiri.

Mereka-mereka yang bertikai, termasuk saya juga waktu itu, saling berlomba-lomba meningkatkan kemampuan ber-Hiphop-nya, baik dalam hal teknis maupun non teknis. Akhirnya area-area baru mulai dijangkau, eksplorasi meningkat pesat, gear diperbaharui, audiens diburu, dan sebagainya. Pokoknya yang penting bisa kasih kalah rapper saingan bosku, mantul.

Bas Woda, dalam salah satu penampilan panggungnya (Foto: Doc. BW)

Ada sebuah hal menarik yang saya temui dari era Renaissance ini, yaitu mayoritas Rapper Renaissance memiliki akar idealisme yang sangat kuat. Ini sedikit berbeda dengan (minta maaf) generasi setelahnya yang sangat sedikit ide. Sebagai tolok ukur, coba kita putar lagu-lagu Rap NTT zaman Renaissance dan zaman medsos ini, lalu kita bandingkan. Bukan satu lagu, tapi banyak lagu dari Rapper yang berbeda. Perbedaan utamanya itu, menurut saya, lagu sekarang seperti satu pattern, entah itu dipandang dari segi musikalitas ataupun lirikal. Seperti Mie Instan yang cuma di gambar depannya saja bilang rasa soto, rasa bakso, ayam Bawang lah, Korea lah, Thailand lah, tapi ketika dimakan rasanya sama saja, mie-mie juga. Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Siapa saya yang berhak men-judge hasil karya orang. Tapi sebagai pemerhati, berhak juga dong saya memberi opini, sekali lagi yang mau komplain, monggo silakan.

Tahun 2009, kami di Kalabahi yang hobi-hobi Rap berkumpul dan membuat satu komunitas kecil, aman-damai, kami eksplor lagu-lagu daerah, mengangkat budaya lokal, bagus, positif, tapi seperti ada yang hilang tiap kali kami tampil di panggung. Apa yang hilang? Entah! Saya dan teman-teman juga bingung apa yang hilang waktu itu. Sampai suatu saat, entah berawal dari mana, kami harus bertikai dengan beberapa komunitas di luar Alor. Mulailah kami rilis lagu-lagu diss. Ada yang eksplisit dan ada yang bentuknya anthem saja sebagai benteng pertahanan.

Coba tebak, begitu anthem itu, yang kami bawa ramai-ramai di panggung, Oh Tuhan, dia pu aura lain bestie. Semangat, progresif, gila-ganas. Aih, susah digambarkan dengan kata-kata. Apakah ini yang disebut Hiphop? Entahlah, saya tidak terlalu memahami. Yang saya paham, itu perasaan sangatlah indah.

Oke, saya paham bahwa mayoritas penonton tidak mengerti dengan apa yang kami sampaikan. Kebanyakan mereka seperti tidak notis, tapi sebenarnya mereka juga terbawa. Yang lebih unik lagi, sepuluh tahun sejak itu, ternyata momen itulah yang paling saya rindukan. Saya tanya ke teman-teman lain, ternyata sama. Hahaha.

Apakah semua orang harus bikin anthem, bikin disstrack? Ah, tidak juga. Bukan begitu maksud saya. Hanya saja saya melihat Hiphop NTT zaman ini makin kehilangan jiwa ‘bakalai‘-nya. Anggap saja ini cuma curhatan seorang penyuka Hiphop yang merasa kehilangan sesuatu, anggap begitu saja.

Pada akhirnya, saya berharap bahwa semangat bertarung dari para pendahulu bisa diwariskan kepada para penerusnya. Semoga dari setiap pertarungan ide bisa melahirkan talenta-talenta baru Hiphop NTT yang mendunia, kasi kalah orang-orang dari negara lain. Terima kasih sudah baca saya punya opini tidak jelas ini.

*) Penulis adalah anak NTT, salah seorang pelaku Hiphop di masa ‘Renaissance’ Hiphop NTT. Tinggal di Kalabahi, Alor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *