Alarm, Bunuh Diri Remaja!

Spread the love
Robert Bala (Foto: Doc. RB)

Oleh: Robert Bala*

Kisah bunuh diri sepasang kekasih yang hanya berjarak dua minggu di Flotim setelah kematian salah satunya, sangat menyayat hati. Kematian orang karena bunuh diri selama ini masih berada pada taraf ‘tunggal’. Kini dua orang sepakat melewati jalan yang sama. Pada hari yang sama terjadi kasus bunuh diri remaja di Nagekeo. Hal ini hanya mengingatkan kasus yang sama di Sabu dan Kupang dan entah masih banyak kasus lagi yang menjadi ‘alarm’ bahwa hal ini serius dan perlu ditangani.

Tulisan ini tidak bersifat kasuistik dengan hanya membahas sebuah kasus. Tulisan ini ingin memotret kasus bunuh diri sebagai sebuah alarm alias peringatan, malah bisa disebut sebagai tanda bahaya akan sesuatu yang bisa terjadi semakin kerap ke depannya, bila tidak ditangani secara serius kini.

Sebuah studi yang dilaksanakan oleh Yurika Fauzia Wardhani dkk pada tahun 2023 menghadirkan data yang mengagetkan. Publikasi dengan judul: Unveiling Adolescent Suicide Cases in Indonesia through the Lens of Maslow’s Needs Theory (Mengungkap Kasus Bunuh Diri Remaja di Indonesia Melalui Lensa Teori Kebutuhan Maslow), mereka menemukan beberapa fakta yang perlu mendapatkan perhatian. Penelitian terhadap remaja tersebut ditemukan bahwa , alasan sebagian besar korban melakukan bunuh diri adalah “kebutuhan cinta dan rasa memiliki” yang tidak terpenuhi (41,4 persen), di antaranya adalah masalah romantis merupakan kasus terkini (37,2 persen).

Ada hal yang juga mengagetkan. Dari keseluruhan kasus bunuh diri, 68% adalah laki-laki dan 32% wanita. Hal ini membenarkan beberapa data lain bahwa jumlah pelaku bunuh diri laki-laki hampir 2 kali lebih besar. Di Amerika Serikat bahkan sampai 4 kali lipat. Hal ini akan menjadi pertanyaan menarik sekaligus menjadi bahan refleksi untuk bisa dijawab dalam artikel ini. Dari segi latar belakang pendidikan, pelaku bunuh diri remaja lebih banyak mahasiswa daripada siswa SMA (dan SMP). Tetapi perbedaannya sangat tipis. Pelaku yang masih duduk di bangku SMP-SMA mencapai hampir 47%. Selebihnya 53% adalah mahasiswa. Dari segi usia, maka yang paling rentan adalah remaja yang berusia antara 17 – 25 tahun yang mencapai 72%, sementara itu remaja berusia 12 – 16 tahun mencapai 28%.

Buku karya penulis yang sedang dalam proses terbit (Foto: Doc. RB)

Data-data ini membenarkan bahwa sesungguhnya fakta bunuh diri tidak bisa dilepaskan dari ekspresi verbal yang semakin kerap terdengar. Kadang diungkapkan secara tak sadar waktu orang menghadapi masalah yang sulit. Data menunjukkan bahwa ideasi bunuh diri bahkan mencapai 70%. Data lain menunjukkan bahwa hanya 30% orang yang baru mengungkapkan satu kali. 70% malah sudah mengungkapkan lebih dari sekali. Dari segi frekuensi yang semakin sering dan durasi yang lebih lama, maka lama kelamaan akan membangun kesadaran seakan apa yang sudah lama dipikirkan itu memiliki potensi untuk bisa terwujud.

Persoalannya, bagaimana ide bunuh diri itu bisa diatasi? Pertanyaan ini kelihatan sederhana tetapi bila ditelusuri menjadi masalah yang serius. Banyak orang yang dilanda oleh pikiran bunuh diri justru menutup dirinya terhadap kontak dengan orang lain. Mereka menganggap dirinya bisa menyelesaikan persoalannya sendiri dan memilih untuk menyendiri. Ketertutupan inilah yang semakin membuka ruang untuk bisa mewujudkan ide bunuh diri.

Dari segi keterbukaan untuk mengungkapkan persoalan yang dihadapi dapat menjadi penjelasan mengapa lebih banyak lelaki remaja yang bunuh diri daripada wanita. Lelaki dalam banyak budaya atau tidak mengatakan hampir semuanya, diajarkan sejak awal untuk tidak menangis. Emosi ditekan hanya karena menjadi lelaki dan tidak diungkapkan. Kalau pun terungkap akan ditanggapi sebagai sikap cengeng. Hal ini akan menjadi pemicu bahwa remaja yang memiliki ide bunuh diri tidak akan semudah wanita membicarakan dengan orang lain.

Sistem Keyakinan (Belief System)

Apa yang menjadi penjelasan terdalam sebab bunuh diri dan tawaran paling pas yang sebenarnya sangat diharapkan?

Sekilas banyak orang mengira bahwa situasi, orang, atau benda menjadi penyebab. Karena ada kejadian (diputus pacar) atau dimarahi orang tua (orang tua yang telalu membatasi ruang gerak remaja) atau guru, maka remaja mengambil keputusan untuk bunuh diri. Ada persoalan yang jauh lebih kompleks seperti pacar sudah hamil. Persoalan lain seperti mengalami pelecehan, dan sebagainya. Ada juga masalah seperti ‘bullying’ yang terjadi dan sangat menggoncangkan remaja. Persoalan covid-19 juga dianggap sebagai penyebab.

Sesungguhnya situasi, orang, atau benda tidak bisa dianggap sebagai penyebab. Yang jauh lebih mendasar adalah sistem keyakinan yang sudah ada lebih dulu dalam diri remaja. Sistem keyakinan atau belief system adalah kerangka pemikiran yang membentuk cara kita memandang dunia, memahami diri kita sendiri, dan berinteraksi dengan orang lain. Keyakinan ini terbentuk dari berbagai sumber, seperti budaya, agama, pengalaman pribadi, serta ajaran sosial. Dalam banyak hal, belief system menjadi landasan untuk bertindak dan mengambil keputusan dalam hidup.

Stop Suicide (Foto: rsjrw.id)

Sebuah masalah bisa mendapatkan tanggapan berbeda dari orang dan jalan keluar yang ditawarkan akan disesuaikan dengan pemaknaan pribadi. Bila orang memiliki sistem keyakinan yang rasional, maka dalam menghadapi persoalan, orang akan mudah mencari alternatif dan tidak terkungkung pada jalan keluar satu-satunya (seperti bunuh diri). Tetapi bagi orang yang memiliki sistem yang irasional, hanya akan fokus pada satu jalan keluar. Di sini pula akan menjadi penjelasan bahwa orang yang sedang dilanda pemikiran untuk bunuh diri, karena hanya fokus pada satu kemungkinan, maka ketika tidak terwujud, ia akan mengalami ‘hopeless’ atau tanpa harapan. Ketika sampai pada kondisi ini maka bunuh diri sering terjadi.

Pemahaman seperti ini mestinya menjadi kesadaran internal bagi remaja untuk membangun sistem keyakinan yang lebih rasional. Kalau terasa bahwa mereka sedang mengalami kehilangan harapan, maka perlu segera membuka diri dan mencari pertolongan. Minimal mereka mengalami yang disebut ‘crying for help’ atau teriakan minta tolong agar ia bisa diselamatkan. Periode ini lebih mudah akan dialami wanita yang dengan cepat mengekspresikannya keluar, hal mana berbeda dengan remaja pria. Mereka akan lebih memilih menyendiri, berdiam diri, bersikap emosional tanpa sebab, dan ingin menyelesaikan sendiri tanpa bantuan orang lain. Ketika remaja menunjukkan ciri-ciri seperti ini, semestinya orang terdekat (orang tua, guru, kerabat) bisa mempertanyakan perubahan sikap tersebut.

Kalau Ralph Waldo Emerson (1803-1882) masih hidup, maka ia pasti bisa membahasakan kegalauan yang sedang kita alami dengan remaja (di NTT) yang memilih bunuh diri. Bagi penulis esay, dosen, dan penyair ini, apa yang dialami sekarang terasa sebagai kegelapan. Namun justru kegelapan yang paling gelap ini memungkinkan kita dapat melihat cahaya: “When it is darkest, we can see the stars”. Semoga kegelapan remaja NTT yang memilih jalan bunuh diri dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk melihat bintang. Di sinilah semua pihak: orang tua, guru, termasuk pemuka agama perlu bersama membuka mata untuk melihat cahaya di balik kegelapan ini.

*) Penulis buku SEBELUM BUNUH DIRI (Dalam Proses Terbit).

One thought on “Alarm, Bunuh Diri Remaja!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *