Hari Kartini dan Budaya Stigmatisasi Perempuan

Spread the love
Frans Dorelagu (Foto: Doc. FD)

Oleh: Frans Dorelagu*

Di era modern, stratifikasi sosial hampir kehilangan makna. Masyarakat modern melihat individu dan masyarakat sebagai lapisan sosial yang sederajat berdasarkan hakikat kemanusiaannya. Pandangan kritis ini telah menunjukkan suatu paradigma berpikir yang berorientasi kepada nilai manusia sebagai suatu kodrat ciptaan yang mulia dan tinggi. Manusia berbeda dengan makluk ciptaan yang lain.

Dalam studi ilmu sosial, salah satu materi kuliah adalah ‘Gender’. Masalah gender sudah sejak lama diperbincangkan di kalangan pemikir ilmu sosial di Eropa, oleh karena itu, masalah gender menjadi isu penting dan dirumuskan dalam kurikulum akademik serta menjadi bidang studi tersendiri yang membahas secara khusus tentang perempuan dan peran perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan sosial manusia.

Konsep penting yang perlu dipahami dalam membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender (sifat). Pemahaman atas perbedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis terhadap persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas.

Dr. Mansour Fakih (Analisis Gender dan Transformasi Sosial – Pustaka Pelajar 1996) mengungkapkan, pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin secara biologis. Misalnya, pada jenis kelamin laki-laki memiliki penis dan memproduksi sperma sedangkan pada perempuan ada reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur dan menyusui. Sementara konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lembut, cantik, sensitif dan keibuan. Sementara laki-laki dikenal kuat, rasional, jantan dan perkasa.

Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun doktrin hukum negara. Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.

Budaya Stigmatisasi Perempuan

Dalam setiap masyarakat, kaum laki-laki dan perempuan memiliki peran gender yang berbeda. Terdapat perbedaan pekerjaan yang dilakukan dalam komunitasnya, juga status dan kekuasaan mereka berbeda pula. Sementara semua masyarakat memiliki pembagian kerja berdasarkan gender (gender division of labor). Beberapa masyarakat seperti masyarakat Bali dan masyarakat Mbuti di Afrika memiliki peran gender yang tumpang tindih. Di kalangan orang kerdil di masyarakat Mbuti, perempuan dilibatkan dalam perburuan bersama kaum laki-laki. Apa yang menjadi pekerjaan kaum lelaki dapat dikerjakan oleh perempuan. Sementara di kalangan orang Amhara, seorang ayah jarang menyentuh anaknya selama dua tahun pertama kehidupan, dan setelah dua tahun menuntut kepatuhan dari anak-anaknya. Laki-laki menjahit baju dan perempuan membangun rumah, sebuah pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh laki-laki namun diambil alih oleh perempuan dan menjadi pekerjaan rutin kaum perempuan.

Di Nusa Tenggara walaupun telah terpolarisasi dengan peradaban modern, namun stigmatisasi budaya masih sangat kuat terhadap perempuan. Perempuan selalu identik dengan kaum kelas dua. Perempuan wajib melayani setiap kebutuhan laki-laki. Dalam pandangan budaya masyarakat, perempuan dapat dieksploitasi untuk kepentingan budaya. Misalnya dalam sistem perkawinan, tidak sedikit kaum perempuan dipertaruhkan derajatnya dengan materi. Semakin banyak materi yang diberikan oleh pihak laki-laki, maka perempuan yang dipinang akan semakin tidak berdaya dalam keluarga laki-laki. Karena ia akan tunduk dan patuh kepada kehendak keluarga laki-laki. Kebebasan perempuan dipasung dan hak-hak sebagai perempuan yang merdeka dirampas. Belum lagi tindakan kekerasan dalam rumah tangga, perempuan tidak memiliki hak untuk memberikan pembelaan, apa yang dialami dan dideritanya ia tetap menerima sebagai konsekuensi dari perkawinan yang ia jalani. Karena memberikan perlawanan adalah pelanggaran terhadap tradisi budaya dan mendapat sanksi sosial adat yang lebih berat. Budaya dan stigmatisasi perempuan semacam ini mestinya sudah berakhir. Era modernisasi adalah era kebebasan. Era di mana kaum perempuan bersama kaum laki-laki akan bahu membahu membangun tatanan kehidupan dan masa depan keluarga, bangsa dan negara. Era kompetitif, era membangun peradaban yang lebih baik, era menyongsong peradaban modern.

RA Kartini (Foto: Ist.)

Hari Kartini

Tanggal 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini. Suatu bentuk penghargaan negara atas jasa-jasa Raden Ajeng Kartini dalam upaya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan Indonesia dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang pendidikan, sebagai gerbang awal kebangkitan kaum perempuan. Hari Kartini adalah momen inspirasi kaum perempuan, di mana dasar kepemimpinan Kartini menjadi lokus perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kesetaraan. Perjuangan Kartini juga tidak semata mencapai kesetaraan, tetapi bagaimana mewujudkan cita-cita kaum perempuan untuk berperan aktif dalam segala bidang pembangunan. Buah dari perjuangan Kartini sebagai peletak fondasi pendidikan kaum perempuan, maka tidak sedikit pada era global dewasa ini kaum perempuan terlibat aktif dalam proses pembangunan dan menjadi ikon pembangunan nasional.

Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja, baik di bidang politik, ekonomi, iptek dan sosial budaya, merupakan indikator bahwa kaum perempuan memiliki kesetaraan dengan kaum laki-laki. Dalam berbagai dimensi kehidupan, perempuan tidak lagi sebagai mitos antara ranjang, dapur dan tempat cuci, tetapi menjadi partner yang setara dengan kaum laki-laki.

Dalam bidang politik, tidak sedikit kaum perempuan terlibat aktif dalam politik praktis, baik di partai politik maupun di lembaga legislatif dan eksekutif. Di dunia kerja juga banyak keterlibatan kaum perempuan dalam berbagai perusahaan dan perkantoran dengan jenjang karir dan klasifikasi pekerjaan yang variatif, dari tingkat yang terendah sampai dengan puncak manajemen (Top Management). Fakta ini menunjukan bahwa peran aktif perempuan dalam berbagai bidang merupakan fenomena keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan nasional Indonesia. Kita berharap bahwa ke depan kaum perempuan menjadi semakin aktif berperan dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

R.A. Kartini adalah sosok inspiratif. Sosok yang membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan kaum perempuan. Sosok yang menggerakan semangat emansipasi kaum perempuan Indonesia. Sosok yang memperjuangkan kesetaraan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Semangat R.A. Kartini kiranya menjadi inspirasi bagi kaum perempuan Indonesia abad ini.

*) Penulis adalah alumnus Universitas IISIP Jakarta & Universitas MH Thamrin Jakarta dan pemerhati pendidikan, masalah sosial-politik dan budaya di NTT.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *