Mudik, Mobil Dinas dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Spread the love
Unta tunggangan (Foto: Ist.)

Lebaran telah tiba. Seperti biasa, mudik setia mewarnai. Arus lalu lintas orang dan kendaran tumpah ruah. Darat, laut dan udara. Tiket berbagai moda transportasi jauh-jauh hari laku terjual. Bahkan dengan harga yang teramat mahal. Pun di dalamnya menjamur berbagai macam jenis calo.

Lebaran adalah hari suci. Setidak-tidaknya begitulah menurut seorang komikus Stand Up Comedy bernama Arie Keriting. Menurutnya, Holiday berasal dari 2 kata: Holi yang artinya suci dan Day yang artinya hari. Jadi, secara etimologis (sekali lagi, ini menurut teorinya Arie, yang tak perlu dipertanggungjawabkan), Holiday artinya Lebaran (hari suci).

Lebaran memang identik dengan liburan (holiday). Di Indonesia, setiap hari suci (atau peringatan yang dianggap sakral) memang selalu diliburkan. Para karyawan larut dalam penantian janji pemberian Tunjangan Hari Raya (THR). Para siswa bengal sedih campur kecewa, tak perlu susah-susah membolos dari sekolah. Para pejabat bergembira, bisa terus menikmati tunjangan dan fasilitas negara kala liburan.

Suatu saat, seandainya hari sakral di Indonesia telah mencapai angka 365, maka hari kerja dan masuknya kendaraan dinas ke kantor mungkin hanya berlaku sehari di tahun kabisat. Tentang kendaraan dinas sendiri, secara khusus mobil dinas, selalu menjadi persoalan menarik di hari libur. Terutama sekali di masa libur Lebaran.

Sejak beberapa tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menginisiasi ‘pengandangan’ mobil dinas di masa liburan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bahkan kemudian mengikatnya sebagai aturan. Tahun ini ada sanksi tegas: mulai dari teguran sampai pada tahap penurunan pangkat ataupun pencopotan jabatan. Tapi tetap saja tak mempan.

Memang agak ironis. Atau, mungkin itulah pradoks kehidupan. Sebab perilaku koruptif seperti itu justru dilakukan di momen yang dianggap suci. Sekiranya boleh, biarlah memori akal sehat atau iman di hati mengenang kembali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ada banyak kisah kejujuran yang menginspirasi dari Khalifah di era Bani Umayyah ini.

Salah satu yang mungkin paling terkenal, sekaligus kontekstual dengan kisal mobil dinas adalah Umar menolak ‘kendaraan’ dinas. Cicit dari Umar bin Khaththab ini memilih menggunakan binatang tunggangan miliknya sendiri.

Al-Hakam bin Umar mengisahkan, ”Saya menyaksikan para pengawal datang dengan kendaraan khusus kekhalifahan kepada Umar bin Abdul Aziz sesaat dia diangkat menjadi Khalifah. Waktu itu Umar berkata, ’Bawa kendaraan itu ke pasar dan juallah, lalu hasil penjualan itu simpan di Baitul Maal. Saya cukup naik kendaran ini saja (hewan tunggangan).’”

Selain itu, masih ada kisah yang diriwayatkan oleh Amr bin Muhajir. Suatu saat Umar bin Abdul Aziz ingin makan apel, kemudian salah seorang anggota keluarganya memberi apel yang diinginkan. Lalu Umar berkata, ”Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai.” Umar menolak (potensi) suap/sogok.

Dan masih banyak kisah lainnya tentang kesederhanaan dari seorang Umar. Tulisan singkat ini tak bermaksud meminta para pejabat untuk mengandangkan sama sekali mobil-mobil dinas tersebut. Tapi paling tidak, dalam keengganan melepas fasilitas rakyat tersebut, ingatlah kepada Umar.

Lebih daripada itu, bukan sekedar ingat. Dan bukan pula lalu memakai isu pengandangan mobil dinas sebagai medium memainkan citra populisme pribadi. Namun, sangat penting untuk kembali menggali ataupun terus melanjutkan ketauladanan ala Umar: pemerintahan yang efektif-efisien, rasional dan anti korupsi.

Agar amanat konstitusi dan nilai-nilai luhur yang digariskan para ‘Founding Parents’ bangsa ini tak menjadi utopia belaka. Semoga!

*Hancel Goru Dolu, 3 Juli 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *