Naturalisasi Bukan Sensasi

Spread the love

Oleh: Muhammad Alkaf*

Seluruh mata dan kepala di rumah tetangga saya yang memiliki parabola mengarah ke satu titik: Stasiun AN TV. Stasiun televisi itu menyiarkan turnamen kelompok umur yang diikuti oleh PSSI Primavera. PSSI Primavera merupakan proyek ambisius federasi saat itu untuk memiliki tim nasional sepak bola yang kuat. Untuk menggapai keinginannya itu, PSSI pun bergerak cepat untuk mencari bibit terbaik di seluruh pelosok negeri.

Saya, saat itu, mengikuti perkembangan proyek PSSI Primavera secara intens melalui Tabloid Gema Olahraga. Tabloid ini merupakan kompetitor sengit Tabloid BOLA yang sudah terlebih dahulu hadir. Tabloid GO melaporkan secara detail kepada pembaca tanah air mengenai perkembangan hari per hari para pesepak bola, yang dibayangkan akan mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia di masa depan.

Laporan itulah yang membuat saya, tentu saja penggemar timnas lainnya, mengenal nama-nama seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Aples Gideon Tecuari, Supriono, Nurhuda, Kurnia Sandy, dan Indrianto Nugroho. Nama-nama yang sepertinya asing bagi Rocky Gerung dan Peter F. Gontha. Keterasingan keduanya dari nama-nama itu bukanlah kesalahan. Keterasingan yang saya maksud itu adalah penjelasan tentang kegagalan mereka untuk menangkap gambar utuh sejarah dan proyeksi tim nasional sepak bola Indonesia. Keduanya seperti tidak mengetahui bagaimana rasa cinta yang membuncah hebat dari para penggemar sepak bola Indonesia terhadap tim nasionalnya, yang selalu berbalas dengan cerita kegagalan.

Perasaan frustasi inilah yang ditunjukkan dengan artikulatif oleh Henri Mulyadi. Dari tribune Stadion GBK, dia melihat tim nasionalnya tampil mengecewakan. Padahal, setiap kali dia melihat tim nasional, pastilah perasaan kecewa menyelinap hadir. Walau demikian, seperti penggemar tim nasional lainnya, tetap memberi dukungan sepenuh hati. Ternyata, di hari itu, hatinya telah penuh dengan kemarahan. Di depan tim tamu, Oman, Timnas Indonesia tidak bisa menendang bola. Karena alasan itu, dari atas tribune, dia berlari ke dalam lapangan, merebut bola, dan membawa ke gawang Oman untuk mencetak gol untuk negaranya. Saya kira, Rocky Gerung dan Peter F. Gontha tidak memahami itu karena terasing dari suasana kebatinan para fan yang sedemikian rupa. Datang ke stadion, menghidupkan televisi, merapal doa, lalu melihat tim nasional sepak bola yang selalu menjadi olokan sepak bola negara lain.

Sampai kemudian, Tuhan membawa Iwan Bule dan Erick Tohir.

Iwan Bule mengawali proses memperbaiki timnas, tetapi kemampuannya terbatas. Lalu, Erick Tohir melanjutkan pekerjaan yang hampir berhenti di tengah jalan. Erick Tohir melakukan apa yang semestinya seorang pemimpin kerjakan. Dia melakukan revolusi dalam tubuh federasi, lalu mengerjakan apa yang didamba oleh seluruh fan sepak bola Indonesia: membangun Tim Nasional.


Erick Tohir berjabat tangan dengan Shin Tae Yong. Jabat tangan yang erat. Keduanya bersepakat untuk menciptakan satu tim nasional yang memiliki harapan. Tim nasional yang mendongakkan kepala ke atas, bukan tim nasional yang kuyu dan layu. Inilah yang hari demi hari kita saksikan. Tim nasional yang selalu mengangkat bendera putih acapkali berjumpa dengan tim-tim dari Asia Barat dan Asia Timur, kini hadir ke lapangan dengan gagahnya. Satu per satu dilibas, satu per satu diberi pelajaran, “…bahwa yang kalian lawan ini adalah King Indo!”

Di bawah kendali manajemen Erick Tohir dan STY, tim Indonesia U-23 nyaris ke Olimpiade. Dahulu, Olimpiade hanya kita dengar sayup-sayup. Ceritanya datang dari abad lampau, di saat Uni Soviet dibuat kewalahan melawan Indonesia. Cerita yang hampir terkubur dalam sejarah di saat tim-tim lain mulai beranjak dari dipannya. Lalu, di tangan STY, Olimpiade nyaris di tangan.

Prestasi ini membuat kita lupa sejenak akan hiruk pikuk negeri. Apalagi kini, bayangan untuk tampil di Piala Dunia dua tahun mendatang bukan lagi mimpi di siang bolong. Bisa kita bayangkan, bagaimana lonjakan emosional para fan Timnas Indonesia saat ini. Padahal, lima tahun yang lalu, mengandaikan untuk mengangkat trofi AFF saja tidak berani; membayangkan untuk menjuarai cabang sepak bola Sea Games saja seperti tidak tahu diri. Kini, kita sudah berani menghitung poin demi poin yang bisa diraup selama babak kualifikasi Piala Dunia ini. Euforia pun membuncah. Langit Indonesia terang benderang oleh gairah warganya.


Timnas Indonesia pada laga kualifikasi Piala Dunia menghadapi Australia di Stadion GBK (Foto: Ist.)

Tetapi, sergah beberapa orang yang mendadak peduli sepak bola Indonesia, pencapaian ini karena naturalisasi. Bukankah hampir seluruhnya yang berada di lapangan tidak datang dari pembibitan di Indonesia. Suara-suara itu tiba-tiba menyeruak ke dalam kegembiraan yang telah lama dinanti. Salah satunya dari Rocky Gerung.

Penjelasannya tentang naturalisasi tidak hanya lemah secara argumen, tetapi juga tidak beranjak dari peristiwa faktual. Rocky tidak mampu membedakan program naturalisasi ala El Loco Gonzales, dengan memanggil pulang pesepak bola Indonesia yang tumbuh di luar negeri. Selain itu, dengan pongahnya, dia memberi nasihat untuk menggunakan pengetahuan mutakhir dalam pembinaan pesepak bola Indonesia. Apakah dia berpikir orang-orang yang kini membangun tim nasional tidak mengerti apa pun tentang pekerjaannya. Jangan-jangan, dia tidak tahu, atau tidak mau tahu, kalau tim nasional kelompok umur yang dilatih oleh Indra Sjafri baru saja menjadi juara di Asia Tenggara.

Rocky harus dijewer telinganya untuk mengetahui kalau pesepak bola yang ada di atas lapangan, baik saat melawan Arab Saudi maupun Australia seluruhnya Indonesia. Keseluruhan dari mereka tidak datang ke lapangan sebagai pekerja pabrik; mereka datang untuk membawa tinggi nama Garuda. Karena hasrat itulah, mereka kembali ke tanah leluhurnya. Mereka mencari asal-usulnya, seperti Calvin Verdonk. Mereka juga menunaikan wasiat orang tuanya, seperti Shayne Pattynama. Mereka juga menunggu bertahun-tahun untuk dapat membela merah putih, seperti Shandy Walsh.

Sekarang, Garuda sedang terbang tinggi. Berilah dukungan. Jangan ganggu. Apalagi dengan dengan gangguan yang tidak produktif. Panjatkan pula doa setinggi-tingginya, agar kita dapat menyaksikan lagu Indonesia Raya diperdengarkan di di bawah panji-panji Piala Dunia dua tahun mendatang. Satu peristiwa yang kelak, tidak hanya mengubah wajah sepak bola kita, tetapi juga wajah negara di mata dunia.

*) Penulis adalah penggemar sepak bola, pecinta Diego Maradona, dan Timnas Indonesia. Tinggal di Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *