
Oleh: Marselus Natar*
Dunia perkomedian Indonesia sudah barang tentu tidak asing lagi mendengar nama Haji Bolot. Sebagaimana dilansir dari laman Tribunnews Palembang (http://palembang.tribunnews.com), Haji Bolot yang mempunyai nama asli Muhammad Sulaeman Harsono tersebut, merupakan pria kelahiran Bogor, pada 5 Maret 1942. Bolot adalah seorang komedian yang mempunyai ciri khas berpura-pura tidak mendengar (budek), karena itu dalam setiap percakapan atau dialog saat berperan di atas panggung, ia selalu gagal paham tentang substansi pembicaraan, selalu memberikan respon atau tanggapan yang salah, keliru dan sama sekali tidak relevan dengan topik pembicaraan.
Nama Bolot sendiri ternyata berasal dari nama yang diberikan neneknya sendiri. Konon, sang nenek selalu memperingatkan Sulaeman agar tidak bermain di tengah hujan, namun Sulaeman kecil tidak mengindahkan peringatan dari neneknya. Dalam konteks bahasa Betawi, bolot berarti budek atau tuli, sedangkan dalam bahasa Jawa, bolot berarti kotoran yang menempel pada tubuh manusia. Hal ini tentu sangat relevan untuk konteks Sulaeman kecil yang keras kepala dan tentu konsekuensi logis jika bermain di tengah hujan adalah tubuh akan menjadi kotor. Saat itulah, banyak keluarga dan rekan yang memanggilnya dengan sebutan Bolot. Lalu ketika masuk ke dunia lawak pun, ia menggunakan nama Bolot sebagai nama panggungnya. Menarik bahwa di atas panggung, komedian dan pemain Lenong Betawi ini dalam setiap penampilannya, mempertontonkan karaktersistik unik dan khas, yaitu gayanya yang bodoh dan tuli atau budek.
Dirinya hanya akan ‘sembuh’ dari sakitnya ini jika masalah yang dibicarakan adalah uang atau wanita. Bolot hanya berperan sebagai tokoh si tuli, tetapi sebenarnya tidak tuli. Adegan yang diperankan Bolot bukanlah fakta sungguhan melainkan sebuah realitas lawakan. Bagaimana seorang Bolot merespon setiap pernyataan dan pertanyaan dari lawan dialognya? Kita semua sepakat bahwasannya tidak dapat disangkal, Bolot hampir senantiasa melenceng dari konteks dialog atau pun komunikasi yang sedang terjadi.
Bolot akan menyambung pembicaraan secara baik dan benar manakala lawan bicaranya adalah wanita dan orang yang memiliki uang. Bolot barangkali sedang menyindir, karena di negeri ini banyak orang yang mempunyai telinga tetapi tidak sanggup mendengarkan, banyak orang yang memiliki pikiran dan perasaan namun kehilangan empati dan simpati. Bolot mengenalkan fenomene tuli-tulian, pura-pura tuli. Itulah substansi lawakan Bolot. Komunikasi model Bolot itu mungkin tidak ada salahnya kalau disebut sebagai fenomena “Bolotisme”.
Martin Buber, seorang ahli komunikasi berpendapat bahwa seorang tunarungu atau orang yang tidak dapat mendengar, hanya berbicara sendiri (monolog), berdasarkan apa yang dipikirkannya. Sejatinya, ia memang tidak mendengar suara sahabatnya, tetapi ia tidak mengakui. Si Tuli mencoba membangun kesan demokratis, egaliter, dialogis, familiar, dan apresiatif. Tetapi karena ia hanya mendengarkan dan meyakini jalan pikirannya sendiri, sesungguhnya ia telah melakukan menipulasi.
Di negeri ini, telah banyak kasus terkait manupulasi. Kita sering menonton atau pun membaca berita tentang kasus manipulasi, seperti manipulasi data, manipulasi harga, manipulasi suara, yang dilakukan orang atau sekolompok orang untuk kepentingan diri atau kelompok. Jika Bolotisme ini muncul dalam setting komunitas yang lebih luas, seperti hubungan antar-elite, negara-warga, pemimpin-rakyat, dan lain-lain, tentu bisa dibayangkan.
Bagaimana rasa keadilan rakyat yang sudah tertindas, diperlakukan secara semena-mena, bagaimana situasi hati dan pikiran para pencari dan pejuang keadilan yang aspirasi, keringat, segala upaya dan pengabdian mereka diabaikan, sedangkan ketimpangan terhadap rasa kemanusiaan dan keadilan terdapat dan terjadi di mana-mana, seperti para pejabat negara atau siapa pun yang melakukan korupsi, melakukan pelanggaran hak asasi manusia, penistaan agama, ujaran kebencian dan rasisme, dibiarkan berkeliaran tanpa dijatuhi hukuman yang setimpal atau mendapatkan hukuman yang sungguh irasional.
Kita merasa tidak puas dengan hukuman yang berlaku. Kita berharap agar eksistensi hukum atau undang-undang yang berlaku dan diakui oleh negara benar-benar diterapkan tanpa pandang bulu, sehingga tidak seorang pun yang kebal terhadap hukum. Dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, kita kerap kali menyaksikan berbagai persoalan yang penyelesaiannya terkesan tanpa ada kepastian hukum. Kerap kali, yang muncul hanyalah pernyataan sejumlah elite yang berusaha melakukan pembenaran atas apa yang terjadi.
Sesungguhnya, apa yang ditampilkan Bolot di atas panggung komedi adalah pantulan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang mana senatiasa diwarnai oleh berbagai problem korupsi, manipulasi, penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia, penistaan agama, ujaran kebencian dan rasisme yang terkesan tidak melalui mekanisme hukum yang berlaku. Sebagaimana Bolot, uang adalah penyembuh. Dengan uang, Bolot yang sedianya tuli, kini menjelma sebagai pribadi yang tidak mengalami gangguan pendengaran. Bolot sanggup membangun komunikasi yang intens, benar dan tepat dengan lawan bicaranya.
Fenomena Bolotisme inilah yang juga terjadi di era kapitalisme seperti sekarang. Era yang dengan angkuh mengagungkan golongan yang punya modal (uang). Siapa yang punya uang dia yang berkuasa. Siapa saja yang punya uang, dia pasti menang. Siapa saja yang punya uang, dia dapat bersafari. Siapa saja yang punya uang, dia bisa keluar-masuk penjara. Tidaklah berlebihan jika mengatakan bahwa hukum dan pasal-pasal sekalipun dapat diuangkan. Itulah Bolotisme!
*) Penulis adalah seorang guru magang di perbatasan Indonesia-Malaysia. Beberapa cerpennya pernah dipublikasikan di Surat Kabar Harrian Pos Kupang, Warta Flobamora dan Majalah OIKOS.