
Oleh: Muhammad Alkaf*
Dengan alasan yang sama, demi tradisi, saya menonton partai final Copa America. Lawan yang saya anggap sepadan dengan Argentina, Uruguay, gagal di semi final. Kolumbia melenggang ke final. Dari rentang jarak yang jauh pula, partai final itu menjadi percakapan virtual saya dengan Khairul Fahmi. Bagi saya, Fahmi dapat membuat saya memahami tentang perkembangan terkini sepak bola, terutama pemain-pemain baru yang muncul. Baginya, Kolumbia tidak peduli tentan Argentina. Sepertinya benar. Tidak hanya timnasnya, juga keadaan suporternya. Partai final sampai ditunda lebih dari satu jam dari jadwal semula. Ada kericuhan di luar stadion. Kericuhan demikian, sepertinya tidak akan terjadi kalau bukan Kolombia di babak final. Di Amerika Serikat, tempat Copa America dilaksanakan, juga menjadi tanah kedua warga Kolombia.
Kolombia memang tidak gentar sedikit pun dengan Argentina. Kepada Fahmi, saya mengatakan bahwa hal itu dipengaruhi oleh kemenangan telak mereka atas Argentina tiga dekade lalu di Buinos Aires. Kekalahan yang akhirnya membuat Diego Maradona, untuk kesekian kalinya, membakar dirinya untuk negaranya itu, demi meloloskan Argentina ke Piala Dunia Amerika 1994.
5 September 1993, udara stadion El Monumental di Buinos Aires semakin dingin. Dari tribune, ada dua pemandangan kontras yang terlihat di lapangan, Valderama, Asprilla, Cordoba dan seluruh tim Kolombia berpesta. Di sudut lainnya, Batistuta seperti tidak percaya. Diego Simoene pemilik nomor 10 Argentina sejak tahun 1991 pun tertunduk lesu. Bagaimana mungkin, pemilik dua gelar Piala Dunia dan pemuncak Copa America 1991-1993, dikalahkan dengan tragis, lima gol tanpa balas.
Setelah pertandingan, seluruh mata memandang satu titik di tribune. Semua mencari satu nama: Maradona. Ada rasa takut yang menyelinap di seluruh pendukung Argentina yang saat itu hadir. Takut hanya menjadi penonton di gelaran Piala Dunia di Amerika Serikat satu tahun berikutnya. Seluruh penonton tahu. Bahkan seluruh warga Argentina sadar, kalau perasaan itu yang hanya dapat disembuhkan oleh satu nama yang telah membawa Argentina menjadi tim elit dunia: Maradona.
Maradona memang hadir di stadion tersebut. Dengan memakai jersey dengan nomor punggung sepuluh, dia memberi dukungan kepada negaranya itu. Walau telah diabaikan.
Selama tiga tahun, Maradona tidak lagi menjadi pilihan di Tim Nasional Argentina. Setelah kasus dopingnya mengemuka di Italia di tahun 1991, Alfio Basile lebih percaya kepada pemain-pemain baru, yang bermain di liga lokal dan beberapa di liga Eropa. Tim baru tersebut didominasi oleh pemain yang tidak terlibat pada piala dunia 1990 di Italia. Di antaranya ada Batistuta, Simeone dan Fernando Redondo.
Eksperimen Basile awalnya terlihat berhasil, sebelum kiamat kecil di El Monumental terjadi. Argentina menjuarai dua gelaran Copa America, setelah sebelumnya gagal di final Piala Dunia di Italia 1990. Namun begitu, Maradona tetap dibutuhkan. Dia tidak menolak setelah tidak dipanggil. Baginya, Argentina adalah tumpah darah. Tidak dapat diganti oleh apapun. Termasuk ketika dengan dingin menendang penalti ke sisi kanan Walter Zenga di semifinal di San Paulo Stadium, markas klubnya, Napoli, 6 Juni 1990.
Pertandingan tersebut paling menguras emosi, tidak hanya bagi Maradona, tetapi juga bagi warga Napoli, yang harus memilih antara nasionalismenya, atau kecintaan mereka kepada pemain yang telah membuat wajah Italia bagian Selatan tegak di hadapan para borjuasi bagian Utara, โ๐๐ข๐ณ๐ข๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐ข, ๐๐ข๐ฑ๐ฐ๐ญ๐ช ๐ต๐ช ๐ข๐ฎ๐ข ๐ฎ๐ข ๐ญ’๐๐ต๐ข๐ญ๐ช๐ข รจ ๐ค๐ข๐ด๐ข ๐ฏ๐ฐ๐ด๐ต๐ณ๐ข (๐๐ข๐ณ๐ข๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐ข, ๐๐ข๐ฑ๐ฐ๐ญ๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ค๐ช๐ฏ๐ต๐ข๐ช๐ฎ๐ถ, ๐ต๐ข๐ฑ๐ช ๐๐ต๐ข๐ญ๐ช๐ข ๐ต๐ข๐ฏ๐ข๐ฉ ๐ข๐ช๐ณ ๐ฌ๐ข๐ฎ๐ช).โ
Maradona lalu dipanggil untuk dibawa ke Sidney, melawan Australia dalam babak ๐๐ญ๐ข๐บ ๐๐ง๐ง untuk menentukan tim terakhir yang akan bermain di Piala Dunia nantinya. Maradona sedikit tambun pada pertandingan itu. Namun, absennya dia selama setahun di liga profesional setelah bermain di Sevilla tidak membuat dia kehilangan sentuhan magisnya. Maradona tidak pernah kehilangan gairahnya dalam bermain bola. Seperti katanya, โJika (Pele) adalah Beethoven, saya adalah Ron Wood, Keith Richards dan Bono dalam sepakbola yang semua digabung menjadi satu. Karena saya adalah sisi sepakbola yang penuh gairah.โ
Maradona berhasil menjadi dewa penyelamat Argentina. Argentina dibawanya terbang ke Amerika Serikat setelah gol sundulan Abel Balbo ke sudut kiri Marc Bonisch yang berawal dari ๐ค๐ณ๐ฐ๐ด๐ด๐ช๐ฏ๐จ ciamik Maradona, setelah merebut bola dari pemain Australia.
Pertandingan pertama memang berakhir imbang, tetapi di Buenos Aires, gol tunggal Batistuta sudah cukup membawa Argentina lolos dari fase itu.
Di Amerika Serikat, Argentina yakin akan menjuarai turnamen Piala Dunia edisi ke 15 itu. Kali ini, skuad diisi oleh pemain yang lebih komplit dan kuat. Perpaduan kematangan dari generasi 1986 yang diwakili oleh Maradona, Rugerri dan Luis Islas. Lalu, beberapa pemain yang hadir di piala dunia empat tahun sebelumnya masih juga ada, seperti Sergio Goychocea, Sensini, Basualdo dan Abel Balbo. Serta, pemain-pemain yang lebih muda yang mememangkan dua Copa America, seperti Bastistua, Simeone dan Redondo.
Dua pertandingan dilalui dengan dua kemenangan. Maradona mencetak satu gol apik, melawan Yunani, hasil dari kerja sama satu dua dengan Batistuta. Namun, setelah kemenangan meyakinkan melawan Nigeria, musibah itu pun datang. Maradona gagal dalam tes doping. Dia dihukum. Tidak hanya dia, Argentina yang dihukum! Satu foto yang paling dikenang, ketika salah seorang petugas Kesehatan mendampingi Maradona menuju tempat hukuman mati.
Maradona memang dihukum mati oleh FIFA, dia dilarang melanjutkan perjalanan di Piala Dunia yang dia perjuangkan itu. Tanpanya, Argentina kehilangan ketajaman. Di pertandinagn terakhir fase grup, tim itu dikalahkan oleh Bulgaria, 1-2. Setelah pertandingan, Redondo mendatangi Maradona, lalu mengatakan dengan masygul, โKami tidak menemukanmu di lapangan.”
Mimpi yang lebih buruk akhirnya tiba. Tanpa Maradona, Argentina dikalahkan oleh tiga gol Rumania. Dua dari Ilie Dumitrescu, satu dari Gheorge Hagi, yang dijuluki Maradona dari Balkan. Ironisnya, Maradona yang sebenarnya, hanya mampu menyaksikan dari tibune stadion Rose Bowl dengan air mata yang tertumpah.

Di Final Copa America 2024, Kolombia yang saya saksikan bukanlah Koluombia eranya Valderama itu. Setelah habis-habisan di semifinal, Kolombia seperti kehabisan nafas. Pemainnya kesulitan untuk berlari. Apalagi pertandingan berjalan sampai 120 menit.
Saya, yang semalam menyaksikan final Piala Eropa, bergumam dalam hati, “Sedemikian merosotkah kualitas sepak bola Amerika Selatan hari ini?”
Tentu masih segar dalam ingatan, bagaimana ketatnya pertandingan final Piala Eropa antara Spanyol melawan Inggris. Walau kita sama-sama mengetahui bahwa sepak bola yang ditunjukkan oleh Timnas Inggris terkadang kocak dan menjemukan. Tetapi kualitas pertandingan antara dua final itu jauh berbeda.
Di Stadion Hard Rock, tempat final Copa America dilaksanakan, pertandingan melambat. Para pemain Argentina seperti sengaja menampilkan cara demikian untuk membuat Messi nyaman. Di sisi lain, Kolombia seperti belum yakin telah tiba di babak final. Mata pemain mereka seperti mewaspadai Messi yang tidak lagi sanggup berlari di lapangan. Akibat itu, Messi pun harus pergi meninggalkan lapangan. “Pemain Kolombia tidak mengenal Messi,” titah Fahmi.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan sepak bola Amerika Selatan hari ini? Mengapa Argentina semakin tampak Eropa, mengapa pula Brasil kehilangan talenta individunya secara bersamaan? Atau, dengan pertanyaan yang lebih teoritik, apa yang hilang dari Amerika Selatan?
Apakah karena modal berputar di negara Eropa sehingga membuat talenta muda mereka meninggalkan kampung halaman lebih awal sehingga membunuh sepak bola Amerika Selatan lebih awal? Atau, memang, perkembangan teknologi dan pergerakan manusia yang lebih mudah saat ini membuat Eropa yang terisolir di abad lalu dari talenta hebat, kini mulai memetik masa panen.
Kalau hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Afrika dan Asia akan melampaui Amerika Selatan di jagat sepak bola. Bisa jadi, dalam lima puluh tahun atau seratus tahun ke depan — kalau sepak bola masih ada — laga final Piala Asia akan lebih bergengsi daripada Copa America. Kalau masa itu tiba, segala keagungan sepak bola dari tanah Latin akan menjadi artefak; yang dikagumi karena keindahannya dari masa lalu, sekaligus mati di masa depan.
*) Penulis adalah penggemar bola, pecinta Diego Maradona dan Timnas Indonesia. Tinggal di Aceh.