
Oleh: Makinuddin Samin*
David R. Hawkins adalah seorang pelaku jalan batin dan guru spiritual. Pada umur tiga tahun telah dikaruniai kesadaran tentang eksistensi, sebuah pemahaman yang tak bisa dijelaskan secara verbal. Di usia remaja, sepulang mengantarkan koran kepada pelanggannya, ilmuwan pada disiplin psikiatri ini mengalami kecelakaan; tubuhnya digulung badai salju, hingga mengalami kejadian luar biasa. Tubuh fisiknya memudar, kesadarannya menyatu dengan semesta. Akal pikiran menjadi sunyi; pikiranya berhenti. Hanya ada kehadiran tanpa batas, yang melampaui waktu dan penjelasan (Letting Go: David R. Hawkins hlm. 404-405).
Alih-alih menjelaskan pengalaman spiritualnya untuk menggambarkan fenomena yang dialaminya begitu saja. Hawkins justru melakukan penelitian untuk menguji pengalaman tersebut dengan metodologi yang bisa diterima ilmu pengetahuan (science). Mantan prajurit penyapu ranjau pada Perang Dunia II itu melakukan penelitian selama 20 tahun dengan ribuan subjek uji agar pengalaman batinnya bisa diterima banyak pihak dan bermanfaat untuk dunia. Buku berjudul Power vs Force ini adalah hasil penelitian yang sedang kita bicarakan.
Buku ini bukan hanya menggambarkan Peta Skala Kesadaran seperti yang pernah dimuat dalam Healing and Recovery karya David R. Hawkins (hlm. 459), juga menjelaskan secara rinci metodologi penelitian dan gambaran tentang subjek ujinya. Hasilnya sungguh luar biasa! Misalnya, jika selama ini kita mengenal dark power (kekuatan gelap), hasil penelitian Hawkins tidak mengenal konsep kekuatan gelap, yang ada adalah force. Force digambarkan sebagai sifat kasar manusia. Force adalah kekuatan yang tak stabil, selalu bergerak. Sebaliknya, power adalah kekuatan yang stabil, sebuah medan yang tak bergerak; seperti gravitasi, menggerakkan semua objek pada medannya, tapi dia sendiri tidak bergerak (hlm.151-154).
Garis batas power dan force adalah level kesadaran dengan kalibrasi 200. Force berada di bawah level 200 yang bersifat destruktif, sedangkan power berada pada level 200 ke atas, yang bersifat konstruktif (hlm. 93). Level di bawah 200 meliputi: 20= rasa malu, 30= rasa bersalah, 50= apati, 75= dukacita, 100= ketakutan, 125= hasrat, 150= amarah, dan 175= kebanggaan. Hasil riset ini menunjukkan bahwa 85 % umat manusia berada pada level kalibrasi 200. Jauh di bawah Koko, seekor gorilla penghuni Primate Research Institute yang telah dilatih beberapa tahun dengan integritas kalibrasi 250; perasa, cerdas, dan dapat dipercaya.
Buku Power vs Force juga menjelaskan bagaimana power digunakan untuk membangun sikap hidup, dalam kehidupan politik, perdagangan, olahraga dan kebugaran, kejeniusan, seni, kreativitas, dan termasuk pencapaian spiritual. Tentu saja bagian ini bukan sekadar penjelasan, tapi hasil dari uji coba selama puluhan tahun.
Namun dari semua uraian buku ini, yang paling menarik adalah penjelasan level 500, level cinta. Level ini digambarkan sangat takzim secara emosional, pandangan hidupnya lembut, Tuhanya bersifat selalu mencintai, dan sedang dalam proses penyingkapan (revelation). Seseorang dengan level ini ke atas, dari mana pun asalnya, patut untuk didengarkan, sebab manusia dengan level 500 ke atas, harta benda dan kenikmatan duniawi sudah tak relevan lagi, tak lagi menghasrati perolehan material. Baginya tak ada yang patut membuat orang lain merasa bersalah, tak perlu ada orang lain yang disalahkan; tak ada siapa pun untuk dibenci, meskipun ada beberapa hal yang patut dihindari (hlm.147).
Sekarang coba bandingkan dengan guru spiritualmu; yang selalu berbicara tentang keheningan, tentang Ketuhanan, tentang penyatuan dengan alam semesta dan Sang Sumber, dan tentang lepasnya kemelekataan, apakah dia masih menghasratri kemewahan dan kenikmatan badani? Kalau guru spiritualmu masih menghasrati kenikmatan badani dan perolehan materi, mulai sekarang mungkin perlu dipikirkan ulang.
Lihat juga level kalibrasi agamamu, pada Bab 23: Pencarian Kebenaran Hawkins menjelaskan level kebenaran agama-agama, termasuk agama yang sekarang kalian anut. Apakah kebenaran agamamu masih pada level tertinggi, yaitu 1000 yang disebut sebagai level pencerahan? Apakah kebenaran agamamu sudah jatuh pada level 150= amarah, yang memandang/menggambarkan Tuhan sebagai pendendam, atau level 125= hasrat yang melihat Tuhan sebagai penyangkalan?
*) Penulis novel dan cerpen, peminat sejarah dan budaya. Tinggal di Tuban, Jawa Timur.