
Oleh: Marselus Natar*
Kisah sengsara dan wafat Tuhan Yesus tercatat dalam keempat Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes). Kisah itu dapat kita baca di Injil Matius 26:36-27:56, Markus 14:32-15:41, Lukas 22:39-23:49, dan Yohanes 18:1-19:30. Secara garis besar, kisah sengsara itu dimulai dengan; berdoa di taman Getsemani – ditangkap di taman Getsemani – dibawa ke hadapan orang-orang yang berpengaruh/memegang kekuasaan – disesah/disiksa – dijatuhi hukuman mati – memanggul salib – disalibkan di Bukit Golgota – menyerahkan nyawa pada Bapa, kemudian wafat.
Setiap tahun, Gereja Katolik merayakan atau mengenang kisah sengsara dan wafat Tuhan Yesus dalam perayaan Jumat Agung. Menariknya, perayaan tersebut tidak hanya terjadi di dalam Gereja sebagai upacara agung (hanya ibadat/tanpa Ekaristi) karena fokus pada sengsara dan wafat Tuhan yang membawa keselamatan bagi umat-Nya, namun juga divisualisasikan di luar Gereja dalam bentuk dramatisasi. Visualisasi kisah sengsara Tuhan atau kita sebut sebagai Tablo, kerap kali menjadi lebih mengesankan ketimbang ritus yang berlangsung di dalam Gereja.
Tablo sendiri merupakan jenis drama yang mengutamakan gerak, para pemainnya tidak terlalu mengucapkan dialog atau malah tidak mengucapkan dialog, tetapi hanya melakukan gerakan-gerakan tentang lakonan pentas yang menggambarkan sesuatu objek atau peristiwa. Substansi dari Tablo adalah gerakan yang menjembatani isi atau pesan yang terdapat dalam objek atau peristiwa tertentu kepada penonton.
Dalam konteks Gereja Katolik, Tablo kisah sengsara dan wafat Tuhan Yesus dipandang sebagai sebuah devosi umat, bagian dari penghayatan akan kisah sengsara dan juga iman akan kemanusiaan Yesus (sengsara dan wafat/rela menderita). Tablo sengsara dan wafat Tuhan Yesus merupakan jenis drama bergenre tragedi yaitu drama yang menceritakan kisah yang menyedihkan. Ungkapan kesedihan tersebut tidak hanya tampak dalam aksi keji nan bengis para Algojo lewat cemeti/cambukan, ludah, sepakan, tikaman tombak, namun juga tampak dalam perkataan Yesus sendiri ketika sedang berada di taman Getsemani: “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.”
Belakangan, viral di media sosial beberapa cuplikan video Tablo yang mempertontonkan hal yang tidak menunjukkan Tablo yang berkesan dan devosional. Problem itu pada umumnya muncul dari tokoh yang berperan sebagai Yesus, algojo dan penjaga di pengadilan. Cuplikan video Tablo yang mempertontonkan tokoh Yesus yang membalas (dendam) sepakan ataupun tendangan para algojo merupakan hal yang tentunya terjadi di luar dugaan sutradara atau pendamping serta penonton yang hadir. Tidaklah heran jika kemudian Tablo tersebut menjadi viral dan menjadi bahan tertawaan warganet. Tablo yang idealnya adalah tentang kesedihan malah menjadi konten dagelan, hinaan dan kecaman orang di dunia maya.
Kasus lainnya adalah tentang unsur kekerasan sebagaimana dalam cuplikan salah satu video yang sedang beredar. Hal tersebut terjadi dalam adegan Yesus menjawab pertanyaan Imam Besar. Penjaga pengadilan merasa bahwa Yesus tidak menjawab substansi pertanyaan Imam Besar dan tidak sopan di hadapan Imam Besar. Karena itu, penjaga pengadilan menampar pipi Yesus dengan keras. Demikianlah adegan tersebut diperankan kembali dalam video yang sedang beredar kini, mempertontonkan kekerasan yang dilakukan oleh ‘penjaga pengadilan’ terhadap ‘Yesus’ di dalam sebuah Gereja. Video tersebut menjadi viral justru karena aksi kekerasan berupa tamparan yang sangat keras diarahkan ke pipi ‘Yesus’ oleh ‘penjaga pengadilan’. Pemeran Yesus dalam video tersebut tampak sempoyongan, hampir jatuh akibat terkena tamparan keras yang dilakukan oleh pemeran penjaga pengadilan. Peristiwa tersebut tentu amat sangat disayangkan terjadi.
Tablo, sebagaimana drama pada umumnya, tentu ditukangi oleh sutradara atau pendamping. Jika saja Tablo menjadi drama dagelan dan menampilkan atau mempertontonkan kekerasan sungguhan, maka Tablo akan kehilangan maknanya. Umat yang hadir tentu kehilangan konsentrasi berdevosi jika Tablo yang ditampilkan justru diwarnai dengan aksi dagelan dan kekerasan sungguhan.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya peristiwa yang tidak terduga atau di luar narasi sengsara dan wafat Tuhan Yesus, maka seorang sutradara atau pendamping wajib memberikan arahan berkaitan dengan pemahaman yang benar tentang Tablo terhadap semua pemeran, menyampaikan dampak negatif jika saja Tablo yang ditampilkan tidak menunjukkan eksistensi dan hakikat Tablo sesungguhnya. Sebab dalam batasan-batasan tertentu, Tablo hanyalah rekaan semata, semacam mengulangi kembali kisah sengsara dan wafat Tuhan Yesus agar lebih berkesan, menyentuh ranah afektif dan kognitif penonton. Tablo tidak mesti ditampilkan dengan berdarah-darah, sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh tragis, namun demikian; juga tidak ditampilkan sebagai lawakan!
*) Penulis merupakan guru magang di perbatasan Indonesia-Malaysia.