
Seri Lepas Rindu: Mantan Misionaris Flores (Bagian I)
Oleh: Stefanus Wolo Itu*
Hari Sabtu, 29 Juni 2024, saya pergi ke Laupheim. Kota kecil berpenduduk 22.863 ribu jiwa itu terletak di negara bagian Baden-WΓΌrttemberg, Jerman Selatan. Jarak Eiken (Swiss) dan Laupheim (Jerman) 205 km dan ditempuh hampir tiga jam dengan mobil atau empat jam dengan kereta.
Laupheim disebut pertama dalam sejarah tahun 778. Kota ini pernah dikuasai beberapa kerajaan berbeda: Hungaria, Waldburg, Habsburg-Austria dan WΓΌrttemberg. Setelah perang dunia kedua sempat dikuasai Perancis. Tahun 1947 secara resmi menjadi wilayah negara bagian Baden-WΓΌrttemberg.
Laupheim juga sejak tahun 1724 dikenal sebagai pusat komunitas Yahudi terbesar (843 orang) di Baden-WΓΌrttemberg. Jumlah mereka terus menurun, terutama ketika Hitler berkuasa. Banyak yang berpindah ke luar negeri. Dan yang tersisa menjadi korban kejahatan kemanusiaan, π»ππππππ’π π‘ tahun 1942.
Saya pergi ke Laupheim untuk mengunjungi “Oma-oma Suster SSpS, mantan misionaris Flores”. Sejak tahun 1966, para suster SSpS Jerman membeli tanah bekas pemukiman Yahudi dan mendirikan rumah misi. Komunitas ini pernah menjadi pusat Provinsialat SSPS Jerman Selatan.
Saat ini hampir tidak ada lagi “panggilan” baru di Jerman. Anggota konggregasi yang tersisa 76 orang. Mayoritas mereka berusia di atas 80-an tahun. Konggregasi bersepakat menjual tanah dan bangunan kepada “illerSENIO” atau Caritas Lembah Iller. IllerSENIO membangun rumah jompo di samping bangunan lama.
Beberapa bangunan tua SSpS sudah dirobohkan. Satu bangunan bertingkat sedang direnovasi. Kapela dibiarkan tetap berdiri, menyatu dengan gedung baru yang sudah ditempati orang-orang jompo. Ketujuhpuluhan “Oma-oma Suster SSpS” juga menyewa dan tinggal di sana. Mereka tinggal di bagian khusus agar tetap menjalankan aktivitas komunitas: doa, ekaristi, penyembahan sakramen, π βπππππ Kitab Suci dan retret pribadi.
Jam 11.52, saya tiba di stasiun kereta api Laupheim Stadt. Dari stasiun saya berjalan kaki delapan menit menuju rumah jompo illerSENIO di Albert-Magg-Strasse 1. Sr. Anna Maria, mantan provinsial SSpS Jerman, menerima dan mengantar saya menuju kamar makan. Kebetulan mereka sedang makan siang.
“Schwester Antonilda und Reginardis, Sie haben einen Besuch, Pfarrer Stefan von Flores. Er ist im Bistum Basel Schweiz tΓ€tig” (Suster Antonilda dan Reginardis, kamu mendapat kunjungan, pastor Stefan dari Flores. Dia bekerja di Keuskupan Basel Swiss), kata Sr. Anna Maria.
Sr. Antonilda dan Reginardis yang kebetulan duduk semeja, berusaha berdiri. Saya berjabat tangan dan memeluk mereka, lalu menyerahkan madu, marmalade dan cokelat Swiss. Mereka sudah mempersiapkan satu kursi kosong, mempersilakan saya duduk. Sr. Anna Maria menyodorkan sup dan makanan utama untuk saya cicipi. Sambil makan, kami berceritera.
Setelah makan mereka mengantar saya menuju kapela. Kami hening, berdoa “Bapa Kami” dan “Salam Maria”. Saya menyanyikan lagu “Mengasih Maria” dan memberikan berkat penutup. Wajah mereka berbinar-binar. Dari kapela, kami menuju pendopo, sambil minum kopi, kami ngobrol santai tentang masa lalu di Flores. Mereka sudah “lupa-lupa” bahasa Indonesia. Karena itu kami ngobrol dalam bahasa Jerman.

Mataloko, Uta Tabha, dan Budaya Matrilineal
Saya mengenal Sr. Antonilda saat kelas empat SD, tahun 1978, di BP. Palang Suci Mataloko. Beberapa kali saya sakit cukup serius. Bapak dan kakak Yohanes mengantar saya ke sana. Saya selalu tertolong. “Suster Antonilda tangan dingin. Dia memberi obat terbaik. Dia selalu tersenyum saat menyuntik pasien. Suntikannya tidak sakit. Saya menderita batu kering hampir dua tahun. Sr. Antonilda memberikan 2000 tablet INH dan sembuh,” demikian kesaksian ayah saya.
Sr. Antonilda SSpS lahir di Hohentengen, Sigmaringen Baden-WΓΌrttemberg, tanggal 7 Agustus 1937. Tahun 1968, Sr. Antonilda menuju tanah misi Flores dan tinggal di Hokeng. Akhir tahun 1968-1975 ia bekerja di rumah sakit St. Elisabeth Lela Maumere. Tahun 1975-1982, ia pindah ke BP. Palang Suci Mataloko.
Tahun 1982-1998, Sr. Antonilda pindah ke RS Kewapante Maumere. Tahun 1998 ia kembali ke Mataloko hingga tahun 2008. Tahun 2008, Sr. Antonilda kembali ke Jerman dan ingin menikmati masa tua di negeri asal. Ia menetap di Laupheim, rumah induk saat pertama diutus ke tanah misi Flores. “Laupheim terletak tidak jauh dari kampung halaman saya, 50-an kilometer. Bila rindu kampung, saya bisa ke sana,” kata Sr. Antonilda.
Saya coba menggali isi hatinya. “Selama 40 tahun Sr. Antonilda berada di Flores, adakah hal berkesan selama di Flores, secara khusus Mataloko?”
Suster Antonilda mulai berkisah penuh semangat. “Mataloko hat angenehmes Klima. Cuaca Mataloko sangat nyaman dan menyenangkan. Suasananya seperti di Eropa. Tanahnya subur, banyak sayur dan buah. Markis, terung Belanda, stroberi, bisa tumbuh dan berbuah di sana. Saya suka pisang bakar dan makan uta tabha, makanan khas orang Mataloko dan Ngada umumnya.”
Makanan uta tabha merupakan campuran jagung, sayur-sayuran, ubi, kestela, kelapa parut, sambal agak pedas, sedikit berair dan makan dalam keadaan panas. “Saya juga ingat Mataloko dengan pohon-pohon albesia yang rindang. Albesia itu datangnya dari Amerika. Kalau tidak salah dibawa oleh misionaris Amerika, P. William Popp, SVD, untuk melindungi tanaman kopi.”
“Orang-orang Mataloko dan sekitarnya rajin misa. Gereja selalu penuh. Mereka menyanyi sambil menari. Terutama pada saat Pesta Tubuh dan Darah Kristus, serta Kristus Raja Semesta Alam. Setelah perayaan ada makan dan minum moke bersama. Beda dengan situasi kita di Eropa. Setiap hari Minggu atau hari raya, hanya sedikit orang yang mengikuti perayaan ekaristi. Bangku-bangku banyak kosong.”

“Saya juga mengagumi budaya matriarkat orang Ngada. Perempuan tidak dibelis. Mereka dihormati dan mempunyai otoritas dalam keluarga. Mereka berwewenang untuk mengambil keputusan penting. Pembagian harta warisan berdasarkan garis keturunan ibu. Saya harap perempuan-perempuan dari budaya matrilineal bisa lebih berperan penting dan strategis dalam ranah publik,” kata Sr. Antonilda, penuh harapan.
Sr. Antonilda berceritera. “Dulu di beberapa wilayah Eropa, peran perempuan di ranah publik sangat terbatas. Mereka bahkan diperlakukan secara tidak adil. Pada masa awal gerakan feminisme di Eropa, banyak wanita memilih masuk biara. Biara menjadi tempat pelarian dan sering tampak seperti penjara. Tapi di sisi lain, biara merupakan tempat pemenuhan sejati agar perempuan bisa membaca, menulis, berhitung, berpendidikan lebih layak dan tampil di ranah publik”.
Saya tak tahu maksud Sr. Antonilda mengisahkan ceritera ini. Yang pasti, ia ingin agar generasi baru, wanita-wanita istimewa bisa terus bermunculan dari kawasan budaya matrilineal yang dia kagumi. Semoga mereka berperan lebih di ranah publik, gereja, politik dan kemasyarakatan.
ππππππ πππ πβ ππ. π΄ππ‘ππππππ ππ‘ππ πππππ’πππππ ππππ’β π π’πππππ‘π. ππππππ πππ πβ ππ‘ππ πππ πππ’ ππππππππ’π π‘πππβ πππ π πΉπππππ . πΈπππππ’ πππππβ πππππππ ππππππ ππππ πππ π¦ππππππ‘, ππ’πππ¦π πππ ππβπππ’πππ ππππ. πππ¦π ππππ πππ‘πππ ππππ ππ πΏππ’πβπππ πππ πππππππ’π‘πππ πππππ‘πππ ππππβ π‘πππ‘πππ π»πππππ, πΏπππ, πΎππ€πππππ‘π, πππ‘πππππ. ππ, π‘πππ‘πππ πΉπππππ , ππ’π π π΅π’πππ.
*) Penulis adalah Imam Projo Keuskupan Agung Ende. Misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel-Swiss. Ditulis di Eiken AG Swiss, Minggu Malam Menjelang 1 Juli 2024.