SUGA

Spread the love
Petrus Kanisius Siga Tage (Foto: Doc. IWC)

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage*

BTS, sebagai entitas budaya global, sering kali diasosiasikan dengan figur yang paling menonjol, yakni RM (Kim Nam-joon), yang memegang peran sebagai pemimpin grup dan rapper utama.

Dalam konteks ini, RM sering kali menjadi wajah publik BTS, dengan fungsinya sebagai juru bicara yang menjawab setiap pertanyaan publik dan mewakili suara kolektif grup dalam berbagai kesempatan. Hal ini membentuk kesan bahwa RM adalah pusat gravitasi BTS, sementara anggota lainnya, termasuk Suga (Min Yoon-gi), mungkin terlihat sebagai sekadar pelengkap dalam dinamika grup.

Namun, jika kita menggali lebih dalam, terutama dari perspektif teoritik dan filosofis, kita akan menemukan bahwa Suga adalah pusat kreatif yang tidak hanya berperan sebagai salah satu rapper utama, tetapi juga sebagai otak dan fondasi musikal grup ini.

Dalam ranah teori musik dan produksi, Suga menempati posisi sebagai penulis lagu, produser, dan aransemen yang sangat dominan dalam BTS. Secara praktis, Suga terlibat langsung dalam hampir setiap aspek penciptaan lagu BTS, baik dalam penulisan lirik maupun dalam aspek produksi musik. Ini berfungsi sebagai indikasi bahwa kontribusinya lebih luas dari sekadar performa di atas panggung; ia adalah penggerak utama di balik penciptaan karya-karya yang penuh makna dalam diskografi grup.

Dari sudut pandang teori komunikasi dan studi budaya, Suga berperan sebagai seorang “kreator teks” yang memproduksi bukan hanya materi musik, tetapi juga narasi-narasi emosional yang bisa membangun hubungan antara karya dan audiensnya.

Dalam konteks teori psikologi, Suga dapat dilihat sebagai sosok yang menggali lebih dalam psikologi manusia melalui lirik-lirik yang ia tulis. Ia mengaku terinspirasi oleh psikologi freudian dan teori psikologi kesehatan mental, yang menunjukkan bahwa karya-karyanya tidak sekadar berbicara tentang pengalaman pribadi, tetapi juga tentang pengalaman universal manusia.

Dalam hal ini, lirik-lirik Suga sering kali berfokus pada tema-tema seperti ketegangan antara individu dan masyarakat, perjuangan batin, serta pencarian identitas yang konstan. Hal ini berhubungan erat dengan teori-teori psikologi eksistensialis, seperti yang dikemukakan oleh Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning, yang berbicara tentang pencarian makna dalam penderitaan dan ketidakpastian eksistensial. Lirik-lirik Suga berfungsi sebagai medium untuk mengkomunikasikan pencarian tersebut kepada audiens, memberikan ruang bagi pendengar untuk menemukan resonansi pribadi mereka dengan tema-tema tersebut.

Dalam karya-karya solonya, terutama dalam album Agust D (2016) dan D-2 (2020), Suga memanfaatkan persona Agust D untuk mengungkapkan sisi lebih gelap dari dirinya yang mungkin tidak sepenuhnya terlihat dalam konteks grup BTS.

Suga (Foto: Ist.)

Dalam Agust D, ia berfokus pada narasi yang sangat pribadi tentang perjuangan melawan depresi, kecemasan, dan ketidakpastian yang ia alami, menciptakan semacam ruang untuk terapi melalui seni. Dalam perspektif teori psikoanalitik Lacanian, kita dapat melihat Suga sebagai individu yang terus-menerus bernegosiasi dengan “Simbolik”—yaitu dunia yang dibentuk oleh bahasa dan norma-norma sosial—dan “Imaginari”, yaitu identitas yang ia bangun untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, Suga menggunakan musik untuk menjembatani kedua dunia ini, mengungkapkan konflik internal antara “diri sejati” dan persona yang harus ia tampilkan di hadapan publik.

Album D-2, dengan lagu-lagu seperti Daechwita dan People, menunjukkan perkembangan lebih lanjut dari Agust D sebagai individu yang mulai menerima dan merayakan dualitas dirinya: antara individu yang terperangkap dalam ekspektasi eksternal dan individu yang bebas dalam penciptaan seni.

Dalam konteks teori budaya, ini mencerminkan fenomena double consciousness yang dicetuskan oleh W.E.B. Du Bois, di mana individu terjebak dalam konflik antara identitas pribadi dan identitas yang dikonstruksi oleh masyarakat. Suga dalam D-2 berbicara tentang keterbatasan dan kebebasan, tentang penerimaan diri yang datang setelah proses panjang pengakuan terhadap kelemahan dan kekuatan pribadi.

Jika kita merujuk pada teori komunikasi massa, khususnya teori Uses and Gratifications, kita dapat melihat bagaimana karya-karya Suga, baik dalam BTS maupun solonya, memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis para pendengarnya. Suga tidak hanya mengkomunikasikan emosi pribadinya, tetapi juga menciptakan “koneksi sosial” melalui musik, yang memungkinkan pendengarnya untuk merasakan resonansi pribadi dengan lirik-liriknya. Lirik-lirik Suga tidak hanya berbicara kepada pendengarnya, tetapi juga membangun sebuah bentuk interaksi sosial di mana pendengar merasa terhubung dan dimengerti. Dengan cara ini, karya Suga berfungsi sebagai alat untuk sense-making bagi individu-individu yang merasa teralienasi atau tidak terwakili dalam narasi-narasi mainstream.

Lebih lanjut, jika kita meninjau karya Suga melalui lensa teori eksistensialisme, kita dapat melihat bagaimana dia berusaha menemukan makna melalui penciptaan dan ekspresi diri. Seperti halnya pemikiran Jean-Paul Sartre tentang kebebasan dan tanggung jawab individu dalam menciptakan makna hidupnya sendiri, Suga dalam karya-karyanya menciptakan ruang untuk merenungkan eksistensinya dalam dunia yang penuh tekanan. Dalam hal ini, Suga mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai siapa dia sebenarnya di luar dari persona yang dibentuk oleh dunia luar.

Musiknya menjadi medium untuk pencarian makna ini, sebuah usaha untuk mengatasi nihilisme yang dapat muncul dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan kesulitan emosional.

Secara keseluruhan, Suga—baik dalam perannya sebagai bagian dari BTS maupun dalam karya-karya solonya—dapat dipandang sebagai seorang filsuf kontemporer yang menggunakan musik sebagai bentuk ekspresi dari pencarian identitas dan makna. Dia mengajak kita untuk tidak hanya mendengarkan musik, tetapi juga untuk merenungkan dan mengakui kompleksitas emosi dan pengalaman kita sendiri sebagai manusia.

Melalui karya-karyanya, Suga menciptakan jembatan antara teori psikologi, teori komunikasi, dan seni musik, menghasilkan karya yang tidak hanya berbicara kepada kita di level emosional, tetapi juga mengajak kita untuk berpikir lebih dalam tentang diri kita dan dunia di sekitar kita. Min Yoon-gi, A.K.A Suga, A.K.A Agust D—seorang jenius yang, melalui musiknya, mengundang kita untuk merenung dan memahami lebih dalam makna dari eksistensi kita sendiri.

*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Kupang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *