Pilkada dan Basa-Basi Debat Kandidat

Spread the love
Ilustrasi Foto HGD (Foto: HD)

Oleh: Hancel Goru Dolu*

Pilkada (pemilihan kepala daerah) sedang dan seringkali menjadi ‘trending topic’. Di mana-mana di seluruh Indonesia. Pilkada serentak, di tengah plus-minus yang melatarinya, telah membangkitkan euforia publik. Pilkada, arena pertarungan antar elit yang selalu saja sukses memobilisasi emosi dan tindakan warga negara. Paket-paket yang maju bertarung telah turut menyeret histeria massa ke dalam dikotomi kubu-kubu.

Dikotomi antar kubu itu, alih-alih karena faktor kedekatan ideologis atau pertarungan gagasan, malah sesungguhnya, salah satunya, ditanamkan melalui prosesi-prosesi seremonial. Negara, yang diwakili melalui lembaganya seperti KPU (komisi pemilihan umum) ataupun KPUD (komisi pemilihan umum daerah), sangat berperan atas berbagai formalisme basa-basi berkala ini. Kegiatan-kegiatan seperti prosesi Kampanye dan Debat Publik misalnya, telah menunjukkan pada kita semua bahwa elit-elit tersebut sebenarnya berjarak dari rakyat yang akan memilih mereka.

Kegiatan seperti prosesi Kampanye dan Debat Publik adalah pertanda bahwa elit-elit tersebut tak dikenal rakyat berikut rekam jejaknya. Ataupun jika telah terkenal, forum semacam itu tak ubahnya sebagai media untuk ‘caper’ (cari perhatian) rakyat. KPUD lalu hadir sebagai panggung instan tempat para kandidat mempromosikan diri, sekaligus memohon untuk dipilih. Histeria massa diwadahi dalam bunyi yel-yel, rombongan kampanye, sentimen politik identitas, hingga daur ulang sejarah dan romantisme kultural.

Debat Publik lalu hanya menyisakan dua hal. Arena para elit bermain drama penuh basa basi. Atau tempat para khalayak memaknai debat sebagai, meminjam istilah Rocky Gerung, arena sabung ayam. Menanti jagoan lawan keok lalu bersorak. Tukar-menukar ejekan hingga saling mencaci-maki. Dalam banyak kasus, hubungan perkawanan atau kekerabatan bahkan putus oleh karena banalitas politik yang seperti itu.

Pada situasi ini, entah disadari ataupun tidak, sesungguhnya massa sedang ‘dipaksa’ untuk mesti memilih satu di antara berbagai paket yang bertarung. Rakyat dikondisikan untuk menghadapi kenyataan, antara memilih yang terbaik dari yang baik. Atau bahkan memilih yang buruk dari yang terburuk. Seruan-seruan jangan golput selalu berkumandang. Sasaran pada ‘swing voters’ ataupun ‘silent majority’ makin masif. Ilusi-ilusi menjamur secara sistematis. Seolah-olah rakyat tak punya pilihan lain, selain yang telah disodorkan.

Mirip marketing yang menjajakan barang dagangan. Rakyat diklasifikasikan dalam segmen-segmen layaknya konsumen. Dan memang, dalam makna yang sebenarnya, rangkaian Kampanye maupun arena Debat Kandidat adalah tempat berjualan dan tukar tambah janji-janji. Medium para elit memoles citra. Arena mendulang simpati melalui demagogi. Tebaran slogan-slogan dan hipokrisi.

Peluru-peluru gincu (Foto: Ist.)

Prosesi-prosesi (maaf), yang tampaknya, tak penting seperti itu, sesungguhnya jauh dari semangat efisiensi penyelenggaraan pemilu. Dan itu berlangsung dari dekade ke dekade. Era demi era. Padahal, pemimpin yang sejati tak membutuhkan panggung instan tempat ber-demagog seperti itu. Mereka harus menciptakan ‘panggung’ sendiri. Panggung itu adalah keberpihakan dan konsistensi perjuangan bersama massa rakyat. Terutama sekali massa rakyat miskin dan marjinal tertindas. Panggung pedagogis, yang membebaskan.

Mendatangi pondok-pondok, pabrik-pabrik, rumah-rumah, kampung-kampung, dan semua pelosok wilayah. Menyibak semua tipu daya rezim yang semena-mena. Mendengarkan suara-suara dari kaum tak bersuara. Belajar bersama massa. Lalu mengubah kemauan massa menjadi tindakan massa. Sejak jauh-jauh hari sebelum masa perhelatan Pilkada dimulai. Melalui organisasi rakyat. Pergerakan rakyat. Hingga media publikasi rakyat. Di sanalah segala ide-ide tentang perubahan dibahas dan dimaterialkan.

Sehingga, ketika menghadapi arena forum Debat Publik, mestinya para kandidat secara tegas menolaknya. Karena itu adalah forum yang berjarak dengan massa. Juga para intelektual yang sadar dan maju, mestinya, tak ikut-ikutan menaikkan popularitas diri sendiri lewat panggung-panggung instan seperti itu. Apalagi kalau dalam menjalankannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan atau perdebatan-perdebatan normatif. Atau sekadar seruan-seruan khotbah ritmis dan plastis.

Pada akhirnya, harus ada yang berani memulai. Menjelaskan pada publik bahwa Debat Kandidat bukanlah indikator determinan keberhasilan pelaksanaan demokrasi dan gambaran kemampuan seseorang dalam memimpin. Itu tidak lebih dari sekadar basa-basi elit yang telah menjadi tradisi. Pun warga negara tak boleh habis terbagi ke kubu-kubu yang bertarung dalam Pilkada.

Ini bukan tentang apatisme. Juga bukan tentang netralitas. Tetapi sebagai pengingat bahwa selalu ada jarak antara harapan dan para pembuatnya. Agar selalu ada yang berdiri di luar lingkaran penuh basa-basi, di tiap pagelaran Pilkada.

*) Ditulis pada September 2015. Penulis adalah orang Ngada, founder & pengelola HorizonDipantara.com, dan suka menonton pertandingan dari belakang gawang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *