Pendidikan untuk Mencari Ilmu Pengetahuan, Bukan untuk Mencari Pekerjaan

Spread the love
Nurani Soyomukti (Foto: Ist.)

Oleh: Nurani Soyomukti*

Saat saya sekolah dulu, obsesi awalnya memang membayangkan setelah sekolah lalu bisa sukses dengan bayangan sukses itu adalah punya penghasilan yang bagus. Setidaknya obsesi ini muncul saat SMP.

Lucunya, saya terobsesi jadi tentara atau polisi, sebuah obsesi umum dari banyak remaja laki-laki dalam masyarakat kita yang feodalistik-maskulinistik. Obsesi ini memotivasi saya untuk lari-lari pagi agar tubuh saya terbentuk bagus. Ikut pencak silat, dan lain-lain.

Tapi, pada saat masuk SMA, kaki saya patah gara-gara main sepak bola di sawah yang jadi arena bermain di musim kering yang panjang. Saya masuk sekolah pertama kali secara terlambat, dan masuk awal pun masih pakai jagang. Maka, karena awal masa SMA saya tak bisa banyak bergerak karena dalam proses penyembuhan, di kos saya coba baca buku-buku yang saya pinjam dari perpustakaan. Ketertarikan saya membaca buku-buku memang sudah terbangun sejak saya SMP.

Saya juga masih ingat betul, seorang teman bernama Ahmad Khorib meminjami saya buku Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat yang saya baca sampai saya jarang keluar kamar. Buku inilah yang membuat saya tertarik pada dunia sosial-politik. Dan inilah yang kemudian membuat saya kagum dengan proklamator itu.

Intinya, sejak itu, keinginan saya untuk sekolah lagi itu dimotivasi bukan untuk cita-cita kesuksesan pribadi semata, tapi memang karena saya jatuh cinta pada dunia buku, dunia ilmu pengetahuan. Memang motif kesuksesan pribadi itu tidak hilang, karena itu pastilah naluriah. Tapi masih tertutup oleh kesukaan akan dunia pemikiran dan keinginan untuk menulis. Obsesi sukses mungkin adalah gini: bagaimana saya nulis dan tulisan saya dibaca orang. Untuk yang lain tidak begitu kepikiran.

Umumnya, bayangan seorang laki-laki sukses itu biasanya begini: sekolah setinggi mungkin, lalu dapat pekerjaan bagus, pendapatan tinggi, menikah dengan seorang istri yang cantik, lalu membangun rumah tangga dan keluarga bahagia berbasis ketercukupan materi dan hidup nyaman karena itu.

Cita-cita seperti itu hilang dari pikiran saya saat kuliah, terutama pada saat saya dan teman-teman yang mendeklarasikan diri sebagai kaum pergerakan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan wajib diabdikan untuk mengubah masyarakat agar menjadi lebih baik. Ilmu pengetahuan haruslah mengabdi pada Revolusi. Maka kegiatan saya waktu itu adalah berorganisasi, menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengorganisir gerakan mahasiswa lewat diskusi, menulis, dan aksi. Dan saya menemukan jalan bertahan hidup dengan menulis.

Menulis di koran-koran dan mendapatkan honor untuk bisa makan, bayar kosan, kencan dengan pacar di waktu senggang, adalah tujuan minimalis agar sekadar tidak minta kiriman uang lagi dari orang yang biasa membiayai hidup saya selama kuliah (Mbok saya yang hanya penjual ikan panggang dan Mbak saya yang bekerja di luar pulau bersama suaminya). Gimana caranya bertahan hidup dan bergerak lewat organisasi, diskusi, membaca, menulis, menyadarkan orang tentang adanya rezim yang menindas rakyatnya dan membangun wadah-wadah perlawanan.

Meski praktiknya juga tidak mudah. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran saya (kami). Bagaimana saya terus membaca dan diskusi serta menambah ilmu tentang masyarakat, negara, perubahan sosial, pokoknya tentang manusia. Diiringi dengan kutipan seorang novelis Pramoedya Ananta Toer yang kalimatnya sering kami kutip: “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya.”

Kutipan dalam novel Tetralogi Bumi Manusia itu begitu terkenal di kalangan aktivis gerakan rakyat dan mahasiswa, terutama aktivis Kiri di mana memang Pramoedya Ananta Toer sendiri adalah seorang tokoh (sastrawan) Kiri. Sudah sangat jelas bahwa obsesi kesuksesan pribadi itu sudah lama hilang sejak mahasiswa. Skripsi tidak saya kerjakan hampir dua tahun. Kalau tidak dimarahi orang rumah atau dirayu dengan nada mengiba, mungkin kuliah saya juga tidak lulus. Akhirnya, dengan rasa belas kasihan atas yang membiayai kuliah saya, saya pun lulus kuliah di semester 13. Artinya saya kuliah selama 6,5 tahun. Artinya, untung saya masih punya ijasah.

Tapi alhamdulillah, saya sudah berproses lebih dari cukup. Ya, saya adalah salah satu orang yang bisa dikatakan kuliah bukan untuk sebuah ijasah, tapi kuliah adalah untuk mencari ilmu pengetahuan. Dan tambahan pemahaman yang tertancap di pikiran kami: ilmu pengetahuan harus digunakan untuk membebaskan manusia dari penindasan dan ketidaktahuan. Ilmu pengetahuan harus digunakan untuk menciptakan perbaikan masyarakat, untuk mengubah masyarakat.

Lalu sejarah terus bergerak. Tentu dengan ijasah, ternyata juga ada manfaatnya. Pertama-tama, ilmu pengetahuan yang kita miliki harus kita praktikkan untuk membangun penyadaran dan mengubah keadaan masyarakat. Pada sisi lainnya, kita juga bisa bertahan hidup mencari pekerjaan dengan memanfaatkan ijasah, sebab posisi dan peran tertentu hanya bisa didapat dengan persyaratan punya ijasah.

Singkatnya, untuk bisa mengaplikasikan ilmu sekaligus membuat ilmu pengetahuan bermanfaat bagi masyarakat banyak, khususnya menyadarkan masyarakat dan menularkan progresif untuk mewarnai dinamika gerak masyarakat, kita perlu tuntas dulu dalam persoalan bertahan hidup. Agar kalau mau berperan dan bersuara, tidak merepotkan orang lain atau disebut ‘parasit’ atau ‘wong golek-golek’. Kita harus membangun basis ekonomi pada batas minimal, lalu bisa bersuara bebas dan keras, karena kita punya pikiran untuk disuarakan sekaligus tidak terbebani dengan kesulitan hidup.

Jadi, kalau kita sudah sukses menjamin diri kita sendiri bertahan hidup, hal itu akan jadi basis kekuatan dan pertahanan agar kita bisa terus bergerak dalam menjadikan ilmu pengetahuan bermanfaat. Agar dalam memerankan diri kita tidak terjebak untuk hanya sekadar mencari cara oportunis, sibuk mengakumulasi uang untuk kepentingan diri, yang jika berposisi pada ranah negara malah akan melakukan korupsi!

Mengamalkan ilmu untuk membangun basis pertahanan diri (secara ekonomi) untuk bisa independen bersuara dan bergerak itu adalah satu kesatuan. Bukankah itu juga yang menjadi inti dari Gerpolek-nya Tan Malaka? Bukankah itu juga ada singgungan konsep Desa Mengepung Kota-nya Mao?

*) Penulis, aktivis sosial, dan saat ini tinggal di Trenggalek – Jawa Timur.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *