Miyamoto Musashi versus Sasaki Kojirō

Spread the love
Josef H. Wenas (Foto: YouTube JHW)

Oleh: Josef H. Wenas*

Miyamoto Musashi tahu skill Sasaki Kojirō itu levelnya sangat mungkin berada di atasnya. Artinya, Musashi sadar kemungkinan dirinya tewas ditebas oleh Kojirō itu 50:50, kalau lagi untung. Bahkan mungkin 40:60 kalau dia lagi buntung.

Kalau saat itu ada TikTok, barangkali teknik ‘Tsubame Gaeshi’ khas Sasaki Kojirō sudah viral ke mana-mana. Ini adalah tebasan ciptaan Kojirō yang diinspirasikan dari gaya burung Walet berbalik. Pedang ‘Monohoshizao’ yang seperti tiang jemuran saking panjangnya, juga belum ada yang pakai saat itu. Pedang itu sangat ditakuti, sebab Kojirō mampu menggunakannya dengan cepat dan tepat sasaran.

Saat peristiwa di Pulau Ganryū-jima pada 13 April 1612 itu, Sasaki Kojirō memiliki beban besar di pundaknya. Dia adalah seorang Samurai dengan nama besar yang mengabdi kepada seorang Daimyo, Hosokawa Tadaoki. Jadi, dia seorang terhormat.

Sedangkan Miyamoto Musashi hanya seorang Ronin tanpa Daimyo, atau sosok Samurai tanpa tuan, thus less honorable. Walaupun namanya saat itu sangat disegani diantara para warriors.

Dalam suasana feodal Jepang saat itu, peran para warriors ini sangat menentukan wibawa para Daimyo untuk mempertahankan dominasinya. Jadi, Kojirō itu adalah nama besar yang merepresentasikan kalangan elite, kaum ‘the establishment’, para ‘wong gede’. Sedangkan Musashi adalah representasi ‘wong cilik’.

Dan adalah wajib secara politik kalau ‘wong gede’ perlu selalu menegaskan dominasinya, menegaskan wibawanya, di atas wong cilik’. Inilah latar belakang politik terjadinya duel fenomenal antara Musashi vs Kojirō di Ganryū-jima. Duel maut itu memang diatur oleh para ‘wong gede’.

Musashi memang akhirnya membelah batok kepala Kojirō. Tetapi itu bukan karena skill-nya lebih mumpuni dari korbannya. Tetapi karena kecerdikannya. Kecerdikan Musashi ini bisa dilihat dalam dua dimensi: sebelum dan pada saat duel terjadi.

Sebelum duel maut itu dimulai, Miyamoto Musashi sebetulnya sudah menghantam ‘inner side’ Kojirō dengan datang sangat terlambat. Terlambatnya engga kira-kira, 3 jam!

Saat Musashi baru turun dari perahunya, Kojirō langsung berlari ke arahnya sambil memaki-maki. Dia langsung mencabut pedangnya, tetapi tanpa sadar sarung pedangnya dilempar ke laut.

Ada semacam kode etik duel di antara para Samurai. Sarung pedang wajib menempel di tubuh, kecuali Anda memang mau berpisah dari pedang Anda. Pedang Anda adalah jalan hidup Anda. Dan Musashi menyindir Kojirō soal ini. Tambah ngamuk lah Kojirō, dan inilah hantaman kedua terhadap ‘inner side’-nya.

Miyamoto Musashi versus Sasaki Kojirō (Foto: Doc. JHW)

Hantaman ‘inner side’ yang ketiga adalah ketika Kojirō melihat Musashi hanya membawa pedang kayu— mana kasar lagi bikinannya— yang memang baru dibuat oleh Musashi dari dayung perahu yang ditumpanginya dalam perjalanan ke Pulau Ganryū-jima.

Ini kan sama saja dengan penghinaan terhadap pedang ‘Monohoshizao’ milik Kojirō yang panjang, berkilau, dan fully decorated. Dalam bahasa Betawi: “Jadi lu ngadepin pedang gue cuma pake dayung doang?”

Pada saat duel maut dimulai, Miyamoto Musashi segera mengambil posisi membelakangi matahari. Ini manuver cerdik.

Tidak ada suara dentingan pedang saling beradu, yang artinya tidak ada fase jajal jurus, seperti biasanya terjadi dalam suatu duel. Ternyata Musashi langsung melakukan serangan pamungkas yang mematikan. Dia langsung melompat tinggi ke arah Kojirō dan melakukan hantaman ke titik mematikan, di batok kepalanya.

Fakta bahwa duel itu berlangsung sangat cepat, in just one stroke, menunjukkan bahwa skill hebat Musashi juga dibantu oleh silaunya sinar matahari yang menghujam retina Kojirō.

Itu pun disertai fakta bahwa ikat kepala Musashi terlepas dan jidatnya sobek mengalirkan darah. Kalau tidak ada silau sinar matahari, barangkali batok kepalanya ikut pecah juga. Kojirō terlambat hanya sepersekian detik saja.

Hari ini, saya melihat ada gejala yang mirip di balik drama soal debat untuk keperluan kampanye Pemilu 2024. Ada budayawan-budayawan palsu— karena sikapnya sama sekali tidak cocok dengan branding-nya— yang sedang terjebak oleh kecerdikan ala Musashi ini. Budayawan itu beda dengan ‘buzzer’, dan saya tidak perlu menjelaskan di mana bedanya. Anda sudah paham.

Kalau mereka saat ini sedang mengganggap enteng seseorang, memandangnya dengan sebelah mata, bahkan meyakini bahwa orang ini sosok ‘loser’, kiranya bisa direnungkan kembali kecerdikan Miyamoto Musashi di Pulau Ganryū-jima pada 13 April 1612 itu.

*) Penulis adalah rakyat jelata, pensiunan tua, dan pengasuh kanal Analisis Intelijen. Tinggal di Jogjakarta. Goresan kisah di atas, ditulis pada 9 Desember 2023.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *