
Oleh: Stefanus Wolo Itu*
Menulis Jejak Cinta
Hari Selasa, 19 November 2024, umat Keuskupan Agung Ende (KAE) mengenang setahun meninggalnya Mgr. Vincentius Sensi Potokota. Apa yang hendak kita kenang dari mendiang Uskup Sensi? Albert Schweitzer, teolog, filsuf dan musikus Jerman (1875-1965) menulis: “Das einzig Wichtige im Leben sind die Spรผren von Liebe, die wir hinterlassen, wenn wir weggehen” (Satu-satunya hal penting dalam hidup yang kita tinggalkan ketika kita pergi adalah jejak-jejak cinta, kita mengenang jejak-jejak kasih).
Pertama, mengenang sesuai tradisi gereja katolik. Kita berziarah ke makam dan memasang lilin. Saya terkesan dengan kata-kata bahasa Jerman di sekitar perkuburan. Jalan menuju kuburan disebut ‘Friedweg’ atau jalan damai. Kompleks perkuburan disebut ‘Friedhof’ atau tempat damai. Pada batu-batu nisan tertulis “Ruhe in Frieden” (beristirahatlah dalam damai). Kita mengenang Uskup Sensi dengan doa dan ekaristi agar jiwanya beristirahat dalam damai Tuhan. Kita yang masih bernafas diharapkan hidup dalam kasih persaudaraan.
Kedua, menulis dan menerbitkan biografi Uskup Sensi. Kita tidak hanya mengingat dan menceriterakan jejak-jejak cinta, hidup dan karya Uskup Sensi. Kita harus menulis buku. Buku adalah media terbaik untuk mewariskan sejarah hidupnya. Uskup Sensi pernah hidup dalam sebuah ruang peradaban. Kehadirannya mempengaruhi kemajuan dalam membangun iman umat Keuskupan Agung Ende (KAE). Pengalaman hidupnya akan menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi generasi berikutnya.
Gagasan penulisan biografi Uskup Sensi sebenarnya telah muncul beberapa saat setelah kematiannya. Sayangnya ide itu hilang ditelan waktu. Gagasan itu kembali menguat dan mengerucut setelah acara peluncuran buku Menyambut Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, Caritas Fraternitatis Maneat In Vobis – Peliharalah Kasih Persaudaraan, pada Minggu, 18 Agustus 2024, di STIPAR Ende. RD. Fery Dhae bersama teman-teman seksi publikasi tahbisan berencana menulis buku kedua Uskup Budi. Kami memercayakan dua dosen STIPAR Ende, Dr. Ansel Doro Wohe Atasoge dan RD. Laurentius Y. Rota, sebagai penanggung jawab.
Kami juga menyepakati penulisan biografi Uskup Sensi. Kita mewariskan sesuatu yang berharga untuk generasi berikut. RD. Dr. Rofinus Neto Wuli, RD. Silverius Betu dan RD. Petrus Sina mengorganisir rencana ini. Mereka menghubungi para penulis, mengetuk hati para donatur dan semua pihak terkait.
Kami menyepakati judul buku: Praedica Verbum Opportune Importune (Wartakanlah Firman Baik Atau Tidak Baik Waktunya). Judul ini diambil dari motto episkopal Uskup Sensi. Pesannya jelas. Beliau boleh meninggal, tapi kita harus tetap melanjutkan karya pewartaan iman. Buku menjadi satu sarana pewartaan yang tak pernah lekang oleh waktu. Saya sendiri menulis artikel “Uskup Sensi: Pendamping Spiritual dan Jembatan Fidei Donum”.

(Foto: Ist.)
Merawat Tradisi Intelektual
Penulisan, penerbitan dan launching buku adalah sebuah aktivitas intelektual. Aktivitas ini memotivasi semua pihak. Para pelajar terdorong untuk terus belajar dan mencintai ilmu. Mereka mengembangkan bakat-bakat yang terpendam. Para mahasiswa/i, pendidik, imam, kaum religius dan umat beriman diajak untuk merawat dan mewariskan tradisi intelektual secara turun-temurun.
Bagi saya pribadi, tradisi intelektual selalu positif. Sebuah tradisi, seperti kata sosiolog Amerika, Edward Albert Shils (1910-1995), tidak hanya mewariskan budaya. Tradisi intelektual selalu bersentuhan dengan kebiasaan membaca dan berdiskusi, merawat proses berpikir, komitmen membuat penelitian dan budaya menulis. Tradisi itu sifatnya konstruktif. Ia bisa membangun dan menghasilkan sesuatu yang baru.
Uskup Sensi adalah pemimpin umat, bapak spiritual dan gembala jiwa-jiwa. Beliau pernah menjadi dosen konseling di STFK (Sekolah Tinggi Filsafat Katolik) Ledalero. Ia pernah menahkodai Pusat Pastoral KAE sebelum terpilih menjadi Uskup Maumere. Puspas adalah think tank atau dapur pemikiran pastoral KAE. Bersama team Puspas, beliau membantu Uskup dan fungsionaris pastoral mengatur strategi untuk menjawab persoalan-persoalan pastoral.
Uskup Sensi adalah seorang intelektual. Seperti para uskup lain, beliau merupakan pimpinan sekaligus jembatan tertinggi para fungsionaris pastoral. Karena itu, bagi saya, sangat urgen kita memulai penulisan sejarah para uskup dan karya-karya mereka. Kita akan seperti pohon tanpa akar bila tidak mengetahui sejarah para Uskup dan karya-karya hebat mereka.
Buku ini merupakan hasil olah pikir dan refleksi para penulis tentang pemikiran, kebajikan hidup dan karya Uskup Sensi. Para penulis memiliki latar belakang yang berbeda. Ada mantan murid, rekan imam, biarawan/wati, rekan kerja pastoral, rekan Uskup dan umat beriman. Mereka pernah menerima bekal intelektual dari Uskup Sensi. Mereka adalah para intelektual yang turut berpikir dan mendorong perubahan di tengah umat. Mereka semua mengenal Uskup Sensi. Tapi mereka berbeda dalam pengalaman kebersamaan, sudut dan cara pandang tentang figur dan kepribadian Uskup Sensi. Mereka diperkaya oleh perbedaan-perbedaan itu. Itulah kekhasan sekaligus kekuatan sebuah biografi.
Penulisan biografi Uskup Sensi adalah sebuah upaya pewarisan budaya intelektual. Bila ingin melestarikan budaya intelektual, kita harus terus menciptakannya. Jika ingin mewariskan tradisi-tradisi intelektual, kita harus menciptakan karya intelektual. Saat ini kita masih menikmati kontribusi intelektual masa lalu. Ada banyak brosur, buku hasil tulisan atau terjemahan masa lalu. Kita harus terus menulis dan menerjemahkannya ke bahasa-bahasa asing. Tanpa langkah itu, kualitas intelektual kita diremehkan dunia internasional.
Saya suka memperhatikan aliran air sungai Rhein. Saya membayangkan ilmu pengatahuan mengalir bagaikan air sungai Rhein. Kita memang akan mati seperti Uskup Sensi. Raga kita akan hancur dikandung tanah. Tapi apa yang kita tulis akan selalu mengalir sepanjang masa. Tulisan selalu dikenang dan bersifat abadi. Ketika penulis menyelesaikan tulisannya, ia tidak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi.
Saya punya satu harapan. Semoga peluncuran biografi Uskup Sensi besok Sabtu, 23 November 2024, di SMAK Regina Pacis Bajawa, memperkokoh komitmen kita agar terus menulis. Ya, menulis apa saja! Mulai saja dari hal yang paling gampang. Menulis catatan ringan, silsilah dan riwayat hidup pribadi. Atau menulis ceritera-ceritera sederhana.
Kita di Flores dan NTT memiliki lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Dua diantaranya milik Keuskupan Agung Ende: STIPAR (Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa) Ende dan STIPER FB (Sekolah Tinggi Pertanian Flores Bajawa). STIPAR Ende merupakan tempat peluncuran buku tentang Uskup Budi, pada Minggu 18 Agustus 2024. Sementara STIPER FB menjadi salah satu sponsor penerbitan biografi Uskup Sensi.
Kedua lembaga ini dihuni para intelektual tamatan luar dan dalam negeri. Kita berharap agar mereka secara teratur melahirkan karya-karya intelektual. Kita harus menulis karya-karya baru. Dengan menulis kita merawat jejak-jejak kasih dan menghidupkan kembali tradisi intelektual. Kata orang Swiss, “Ohne Dokumente, keine Geschichte. Ohne Schrift, kein wertvolles Erbe” (Tanpa dokumen, tanpa sejarah. Tanpa tulisan, tak ada warisan berharga). Bila tidak menulis, semua kehebatan intelektual kita akan menjadi dongeng.
*) Penulis adalah Imam Projo Keuskupan Agung Ende. Misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel-Swiss. Ditulis di Eiken AG Swiss, Jumat Malam 22 November 2024.