Menjejak Bumi

Spread the love

Oleh: Muhammad Alkaf*

Ada perasaan campur aduk setelah Timnas Sepak Bola Indonesia melalui lima pertandingan di ronde ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026. Campur aduk yang dimaksud adalah beragamnya situasi kebatinan pendukung timnas dari seluruh penjuru bumi.

Perasaan pertama adalah keterpanaan setelah mampu menahan imbang Arab Saudi dan Australia. Dalam benak pendukung timnas sepak bola, melawan dua negara langganan Piala Dunia itu ibarat berjumpa raksasa. Tidak kalah dengan skor besar, sudah senangnya bukan kepalang, apalagi, mampu membawa dua poin.

Hasil itu, lalu membuat kita, terbang ke langit. Sepertinya, pintu menuju Piala Dunia sudah dibuka lebar-lebar untuk Indonesia. Kita terjebak ke dalam ilusi. Karena jebakan itu, lolos langsung ke Piala Dunia, bersama Jepang, sudah dihitung dengan optimis. Otomatis, kita mulai melupakan datang dari situasi apa sepak bola Indonesia ini.

Para pendukung, mungkin juga orang-orang di federasi, menuntut poin penuh dalam laga away melawan Bahrain dan Cina. Tidak ada lagi perasaan gentar menghadapi dua negara itu. Benar saja, kita melihat energi di lapangan.

Tanpa bantuan wasit, Bahrain sudah pasti kalah. Tetapi, gol di akhir pertandingan yang tidak masuk akal itu membuyarkan tiga poin yang sudah di depan mata.

Indonesia meradang. Marah.

Kemarahan Indonesia terhadap Bahrain, wasit, dan AFC adahlah peristiwa kebudayaan. Sebelumnya, kita tidak pernah berada di level itu. Level sepak bola kita adalah ratapan panjang yang tak berkesudahan. Peristiwa kebudayaan itu pun berlanjut dengan melihat seluruh pemain Timnas Sepak Bola Cina bersorak kegirangan setelah mengalahkan Indonesia. Artinya, kita telah melihat sesuatu yang kita impikan sejak lama dalam sepak bola Indonesia: maruah dan rasa hormat dari lawan.

Tetapi, sebagai peristiwa kebudayaan, Timnas Sepak Bola Indonesia harus menjejak tanah. Begitu juga untuk kita, para pendukungnya, setelah Jepang menunjukkan tentang sepak bola yang sesungguhnya.

Saya menonton pertandingan Indonesia melawan Jepang sampai selesai. Begitu juga dengan teman saya, Syawaluddin Ismail. Tanpa bersepakat, kami berada dalam kondisi yang sama, menerima dengan dada yang lapang kekalahan mencolok Indonesia dari Jepang di GBK. Sepanjang pertandingan, kami penasaran dengan sepak bola Jepang yang kini tanpa ampun mengalahkan negara-negara juara Piala Dunia.

Tidak ada perasaan terpuruk dengan hasil empat gol tanpa balas itu. Setelah pertandingan usai, kami pun bercakap-cakap seperti tidak ada peristiwa besar yang baru saja terjadi. Hal yang tidak kita temui setelah pertandingan melawan Bahrain dan Cina.

Kini, pintu menuju Piala Dunia semakin kecil. Peluang semakin sempit. Hanya ada kursi playoff yang tersedia. Itu pun dengan syarat bisa menyapu minimal tiga kemenangan. Tanpa itu, kita harus melihat perjalanan Indonesia meraih panggung Piala Dunia harus berhenti.

Kalaupun harus berhenti, apa yang harus disesalkan? Sampai di titik ini saja merupakan pencapaian yang mencengangkan. Berarti, obat yang paling ampuh dalam melihat Timnas Sepak Bola Indonesia hanya dua: menikmati setiap pertandingannya dan mengingat dengan penuh keinsafan dari mana sepak bola kita bermula.

*) Penulis adalah penggemar sepak bola, pecinta Diego Maradona, dan Timnas Indonesia. Tinggal di Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *